tirto.id -
"Sebetulnya butuh 15 ribu Ha aja cukup untuk dalam negeri karena tujuannya ada untuk ekspor, makanya disediakan lahan 40 ribu Ha," ujar Direktur Operasional PT Garam (Persero), Hartono di Jakarta pada Jumat (2/2/2018).
Saat ini, kebutuhan industri terhadap garam masih hampir sepenuhnya dari impor. Kementerian Perindustrian mencatat selama 2017, produksi garam dalam negeri ada 950 ribu ton. Sedangkan kebutuhan nasional 4,504 juta ton.
Kebutuhannya terdiri dari kebutuhan konsumsi 800 ribu ton dan kebutuhan industri 3,654 juta ton. Impor dilakukan saat itu sebesar 2,589 juta Ha untuk industri.
Hartono menyebutkan total lahan garam di Indonesia yang dimiliki oleh petani atau petambak garam rakyat dan PT Garam ada kurang lebih 30 ribu Ha. Kapasitas produksi sekitar 3 juta ton dengan asumsi per Ha bisa berproduksi sekitar 100 ton.
"Paling banyak di Jawa (lahan garam). Berproduksi 3 juta ton 'dalam iklim normal' di sana," terangnya.
Jika iklimnya sedang sering hujan, maka kapasitas produksi dalam negeri buruknya bisa hanya sekitar 30 ribu ton. PT Garam yang biasanya dapat memproduksi 400 ribu ton, hanya dapat memproduksi 5 ribu ton. Petambak garam rakyat biasanya 2-2,5 juta ton hanya dapat berproduksi 26 ribu ton.
Sehingga, adanya ekstensifikasi lahan garam 40 ribu Ha diperhitungkan dapat menghasilkan garam maksimal 3,6 juta ton per tahun, saat iklim normal.
Asumsinya ekstensifikasi lahan garam yang dikelola PT Garam ada di Bipolo, Kabupaten Kupang seluas 400 Ha dalam kondisi normal, dapat berproduksi 30-36 ribu ton per tahun. Namun, saat uji coba dengan kondisi iklim hujan, bisa produksi 4 ribu ton.
Selain mengelola 400 Ha yang saat ini telah berproduksi, PT Garam juga telah diberi tambahan 225 Ha lahan ekstensifikasi di Bipolo untuk dikelola. Saat ini sedang dalam tahap clean and clear lahan.
"Di Bipolo dulu, perusahaan-perusahaan lain enggak memandang Kupang itu. Tapi akhirnya kita memberanikan diri 400 Ha, kita bertemu dengan pemegang tanah hak ulayat, difasilitasi Pemerintah Kabupaten, Bupati. Ternyata jalan," jelasnya.
Ekstensifikasi lahan garam di wilayah timur Indonesia, hambatan yang muncul terkait tahap clean end clear (CnC) karena mayoritas lahan adalah tanah ulayat atau tanah adat masyarakat setempat. Untuk menyelesaikan itu butuh pendekatan yang tidak singkat.
"Ini yang menjadi permasalahan sosial di sana. Tapi, mungkin pemerintah akan melakukan pendekatan untuk bisa dicari titik temu," ucapnya.
Sementara Hartono mengungkapkan PT Garam telah cukup berhasil melakukan pendekatan dengan cara bagi hasil di kawasan lahan garam Bipolo, Kupang, NTT, yaitu dengan menyerap tenaga kerja lokal 160 orang dengan penghasilan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Rp55 ribu per hari per orang.
"Apalagi untuk mempercepat produksi kita ada borongan. Dalam borongan ada tim 4-5 orang. Satu tim bisa 1 keluarga. Sehari 1 orang bisa Rp100 ribu tergantung hasil yang didapat," jelasnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan ekstensifikasi adalah mandat diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi. Pemerintah memberikan kesempatan baik BUMN atau pun swasta untuk mengelolanya.
Potensi produksi garam industri dengan kadar NaCl yang tinggi sekitar 97 persen dikatakan Brahmantya terdapat di daerah timur, seperti NTT dan NTB. Salinitas (kadar garam) air laut wilayah timur disebutkannya sekitar 4-6 persen. Dibandingkan di Jawa dan Madura, salinitasnya lebih rendah, yaitu hanya sebesar 2-3 persen.
"Di NTT dan NTB juga memiliki kriteria iklim yang baik, yakni musim kering berlangsung selama 6-8 bulan, sedangkan di Jawa dan Madura hanya sebesar 4-6 bulan," sebut Brahmantya kepada Tirto.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri