tirto.id - Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT FH UGM) menilai, kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan belum menemukan titik terang.
Peneliti Pukat UGM Oce Madril menyatakan, dua tahun bergulir publik tak kunjung mendapatkan informasi siapa pelaku di balik perbuatan keji tersebut.
"Penegak hukum Indonesia sudah memiliki sederet prestasi dalam mengungkap kasus dengan kerumitan tinggi seperti terorisme. Sedangkan kasus Novel Baswedan tergolong kasus sederhana. Apakah negara tidak mampu?" kata Oce dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (11/4/2019).
Padahal, kata dia, ada banyak alat bukti seperti rekaman CCTV, sidik jari, berderet keterangan saksi, dan lain-lain. Bahkan sebuah surat kabar nasional merilis sketsa wajah terduga pelaku.
"Mengapa setelah dua tahun tidak terungkap? Kasus ini melibatkan kepentingan yang sangat besar sehingga Presiden pun tidak mampu berbuat banyak," tanyanya lagi.
Oce mengatakan, proses pengusutan kasus Novel hanya jalan di tempat meskipun telah dibentuk Tim Gabungan Penyidikan pada awal tahun lalu. Hingga kini, belum ada temuan penting yang diinformasikan ke publik terhadap perkembangan kasus tersebut.
Menurutnya ada dua faktor utama yang menyebabkan tim gabungan yang telah dibentuk ini tidak efektif dalam mengusut kasus novel. Pertama, pembentukan Tim Gabungan Penyidikan tidak dibentuk oleh Presiden, sehingga tidak bertanggung jawab kepada Presiden.
"Tim ini dibentuk oleh Kapolri. Berbeda dengan tim pencari fakta yang sebelumnya pernah dibuat misalnya Tim Pencari Fakta kasus Munir dan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, keduanya dibentuk langsung oleh Presiden. Tim yang dibentuk Presiden dapat mengatasi hambatan di tingkat institusi penegak hukum," jelasnya.
Kedua, lanjutnya, anggota tim Gabungan Penyidikan didominasi oleh kepolisian. Padahal selama ini diketahui, hampir dua tahun kasus ini tidak terdapat kemajuan di kepolisian.
"Seharusnya, tim gabungan lebih banyak melibatkan tokoh di luar kepolisian yang bebas kepentingan," ucapnya.
Namun, dalam kasus penyiraman terhadap Novel, proses perkara tidak kunjung menemukan titik terang. Presiden belum menunjukan keseriusan untuk membentuk tim pencari fakta independen yang bekerja langsung di bawah Presiden.
"Begitu juga jika melihat janji politik pasangan calon Presiden pada pemilu 2019. Kedua paslon sama-sama berjanji untuk memperkuat institusi penegak hukum, terutama KPK. Namun, kedua paslon tidak menyinggung penuntasan kasus Novel. Seharusnya, kedua paslon juga menyinggung soal jaminan keamanan personel penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Kasus Novel yang tidak terungkap akan menjadi catatan buruk sejarah pemberantasan korupsi dan penegakan hukum," terang dia.
Oce mengatakan, teror terhadap Novel adalah serangan balik koruptor kepada upaya pemberantasan korupsi. Teror tersebut ingin memberi pesan buruk kepada siapa saja yang ingin melawan para tikus negara. Tapi, tampaknya teror tersebut tidak berhasil membuat takut. Justru semangat melawan korupsi semakin membara.
"Fenomena corruptor fight back kerap terjadi dalam berbagai bentuk. Selain serangan fisik seperti yang beberapa kali dialami oleh penyidik KPK, serangan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi juga dalam bentuk kriminalisasi pimpinan KPK, penghilangan barang bukti, hingga usaha mempreteli kewenangan KPK melalui upaya revisi undang-undang," kata dia.
Berdasarkan itu, tambah OCE, PUKAT pun meminta presiden untuk melakukan dua hal, yakni, membuat TGPF sendiri yang bertugas mengungkap kebenaran kasus Novel Baswedan dan memberi batas waktu kepada Kapolri untuk mengungkap kasus Novel Baswedan.
"PUKAT juga mendorong pimpinan KPK melakukan upaya semaksimal mungkin agar kasus Novel Baswedan bisa terungkap," pungkasnya.
Penulis: Dewi Adhitya S. Koesno
Editor: Maya Saputri