tirto.id - “Gimana ya? Mau berhenti atau dilanjutkan, setelah baca ini kok jadi ragu, bulan ini pun sudah jatuh tempo,” kata Runta.
“Ini beneran enggak sih? Mana saya baru ikut polis pendidikan di Bumiputera, gimana nih?” tanya Rozik Abhim.
“Parah, aku baru ikut dua tahun ini, solusinya gimana nih?” ujar Dnaenang Donnie Pradita.
Komentar-komentar itu tertulis di antara 105 komentar lainnya di tautan yang dibagikan Tirto.id di laman Facebook pekan lalu. Tautan itu berisi tulisan tentang skandal-skandal yang dilakukan orang dalam Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera hingga membuat perusahaan itu hancur. (Baca: Hal-hal yang Membuat Bumiputera “Babak Belur”)
Tak hanya Runta, Rozik, dan Donnie yang kebingungan. Pemegang polis Bumiputera yang jumlahnya menyentuh angka enam juta dan mengetahui persoalan ini tentu juga bertanya-tanya. Apa yang harus mereka lakukan?
Hal pertama yang paling penting harus dilakukan adalah mengetahui dan mempelajari tentang kondisi Bumiputera saat ini. Bumiputera berbadan hukum mutual atau usaha bersama, ia berbeda dengan perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan terbatas yang dimiliki segelintir orang bernama pemegang saham. Pemilik Bumiputera adalah para pemegang polisnya, kecuali pemegang polis produk syariah dan unit linked. Anggaran dasar Bumiputera adalah dokumen yang wajib dibaca dan dipahami.
Fakta ini yang selama ini sering dikaburkan sehingga hanya segelintir pemegang polis yang memahami bahwa dirinya adalah juga pemegang saham. Juli lalu, tim Tirto.id mewawancarai selusin pemegang polis AJB Bumiputera secara acak. Dari selusin itu, hanya satu orang yang benar-benar tahu badan hukum Bumiputera dan mengerti bahwa ia juga pemegang saham. Itu pun karena ia bekas wartawan asuransi. Jadi pengetahuan itu tidak didapatnya karena ia pemegang polis, tetapi karena ia wartawan di bidang finansial.
Selebihnya, mereka tak tahu apa-apa. Agen-agen yang menawarkan asuransi kepada mereka, tak pernah memberi tahu fakta itu. Bahkan dua orang agen yang sempat kami wawancarai pun tak tahu-menahu tentang badan hukum Bumiputera. (Baca: Bumiputera Punya Siapa?)
Ketidaktahuan pemegang polis ini sebenarnya berbahaya. Mereka tak akan memiliki rasa memiliki sehingga ketika mengetahui perusahaan sedang sakit, yang mereka lakukan adalah menebus polis dan kabur. Mereka tak akan bertahan demi menyelamatkan perusahaan milik mereka.
Ketika pemegang polis mengetahui bahwa mereka juga pemilik perusahaan, maka mereka akan hati-hati, dan seharusnya memang lebih hati-hati. Jika para pemegang polis melakukan penebusan polis secara massal, perusahaan tentu akan semakin hancur, dan itu tentu bukan solusi. Sebab akan merugikan banyak pihak, pemegang polis itu sendiri, dan ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan.
Sebagai sebuah perusahaan asuransi jiwa yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka dan memiliki jutaan pemegang polis di penjuru negeri, Bumiputera tentu pantas diselamatkan. Dan sebagai pemilik perusahaan, pemegang polis bisa berperan dalam proses penyelamatan itu.
Pemegang polis, bisa meminta Pengelola Statuter yang saat ini mengelola Bumiputera untuk transparan dengan kondisi keuangan Bumiputera. Berapa dan apa saja asetnya, berapa utangnya, berapa dana yang dibutuhkan untuk menyelamatkan, dan bagaimana langkah yang akan diambil untuk menyelamatkan Bumiputera.
Permintaan itu tentu tak bisa diajukan langsung, sebaiknya diajukan melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika pengajuan itu dilakukan secara bersamaan dan dalam jumlah suara yang besar, OJK tentu akan lebih mempertimbangkan. Jika tak paham prosedur surat-menyurat dengan OJK, datang saja ramai-ramai ke kantornya, seperti yang sering dilakukan nasabah PT Asuransi Bumi Asih Jaya tiga tahun lalu.
Pemegang polis juga bisa menuntut perbaikan pengelolaan Bumiputera, agar orang-orang “kotor” tak lagi diberi jabatan untuk mengelola perusahaan itu. Sebab jika perusahaan ini bangkrut, pemegang polis akan ikut menanggung kerugian. Sebaliknya, jika perusahaan untung, mereka juga berhak meraup keuntungan, layaknya pemegang saham.
Irvan Rahardjo, mantan komisaris Bumiputera yang juga pemegang polis mengatakan, apapun yang akan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas industri keuangan terhadap Bumiputera, termasuk upaya pembubaran ataupun demutualisasi, harus atas sepengetahuan dan seizin para pemegang polis. Hal ini sesuai anggaran dasar Bumiputera.
Irvan juga memaparkan, pemegang polis tak perlu khawatir. Menurutnya, kalaupun tidak diselamatkan, Bumiputera tidak akan bangkrut tahun ini. "Kalaupun semuanya menebus polis tahun ini, uangnya masih cukup kok," katanya.
Selisih antara liabilitas dan aset Bumiputera memang menyentuh angka Rp10 triliun, tetapi instrumen yang dihitung dalam liabilitas itu termasuk uang pertanggungan. Sementara, jika semua pemegang polis menebus polis tahun ini, tidak mungkin semuanya menerima pembayaran sesuai uang pertanggungan. "Kan tidak semuanya jatuh tempo tahun ini?" imbuh Irvan. Jika tak ada polis baru, Uang pertanggungan yang menjadi kewajiban Bumiputera itu baru selesai sekitar tahun 2070.
Saat ini, bisa dibilang sudah terlambat bagi para pemegang polis untuk mengetahui bahwa mereka adalah pemegang saham. Sebagai konsumen, mereka memang seharusnya diberitahu di awal, sebab hal itu tentu akan jadi pertimbangan mereka dalam memilih perusahaan asuransi.
Tetapi bukan berarti para pemegang polis ini bisa dibiarkan terus tidak tahu apa-apa. Mereka harus diberi tahu kondisi sebenarnya, karena mereka berhak tahu. Dan jika sudah tahu, harus memahami konsekuensi dari langkah yang diambil. Jika masih ingin Bumiputera tetap ada, maka jangan gegabah untuk menebus polis.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti