Menuju konten utama

Pemecatan Jurnalis Top Skor dan Regulasi Pemecatan Menurut UU

Pemecatan terhadap Zulfikar dilatari cuitannya di akun pribadi yang mengomentari penolakan Hongkong terhadap Ustaz Abdul Somad.

Pemecatan Jurnalis Top Skor dan Regulasi Pemecatan Menurut UU
Sejumlah pengunjung Car Free Day menandatangani dukungan "Tolak PHK Sepihak" Koran Sindo di Kambang Iwak Park, Palembang, Sumatra Selatan, Minggu (13/8). ANTARA FOTO/Feny Selly

tirto.id - Zulfikar Akbar harus gantung pena setelah mendapat pemutusan hubungan kerja dari tempatnya bekerja di Harian Topskor, Selasa 26 Desember 2017. Pemecatan terhadap Zulfikar dilatari cuitannya di akun pribadi yang mengomentari penolakan Hongkong terhadap Ustaz Abdul Somad.

Pemecatan ini diumumkan lewat akun twitter resmi mereka dan akun pemimpin redaksinya, Muhammad Yusuf Kurniawan. Yusuf menjelaskan pemecatan dilakukan Selasa, 26 Desember 2017.

"Terhitung mulai hari ini, Selasa (26/12), manajemen TopSkor telah memutuskan hubungan kerja dengan Zulfikar Akbar @zoelfick. Maka sjk saat ini segala aktivitas yg dilakukan oleh sdr Zulfikar bukan lagi jadi tgg jwb institusi TopSkor. Wassalam," ucap Yusuf.

Pernyataan ini mendapat reaksi dari Forum Pekerja Media yang menyesalkan keputusan tersebut. Forum juga meminta Kementerian Tenaga Kerja terlibat dalam perlindungan terhadap pekerja media yang dilanggar hak-hak pekerjanya karena aktivitas mereka di media sosial.

“Kami mendengar kasus serupa juga pernah terjadi di beberapa media lain, namun belum terungkap ke publik,” kata Forum dalam keterangan tertulis.

Soal pemecatan ini, Kementerian Tenaga Kerja sudah mengaturnya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasal terkait pemecatan dituliskan dalam Bab XII tentang PHK yang meliputi Pasal 150 hingga Pasal 172.

Mekanisme Pemecatan

Pasal 151 Ayat 1 UU tersebut menuliskan, perusahaan dianjurkan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja kepada karyawannya. Bila PHK tidak dapat dihindari, Pasal 151 Ayat 2 mengharuskan PHK wajib dirundingkan pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja tersebut apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja.

Jika perundingan ini deadlock Pasal 151 Ayat 3 memberi solusi yakni pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Mekanisme lebih rinci ihwal penyelesaian dengan lembaga perselisihan ini diatur dalam Pasal 152.

Mekanisme penetapan pemecatan seperti diatur dalam Pasal 151 ini bisa dinafikan dengan merujuk ke Pasal 154. Pasal ini menyebutkan, penetapan pemecatan bisa dilakukan bila pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya, pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri, pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau pekerja/buruh meninggal dunia.

Alasan Pemecatan

Dalam pemecatan ini, pengusaha atau perusahaan harus punya alasan jelas dan tidak bertentangan dengan Pasal 153. Pasal 153 disebutkan pengusaha tak boleh memecat dengan alasan pekerja sakit, pekerja menjalankan kewajiban kepada negara, pekerja menjalankan ibadah, pekerja menikah, hamil, punya ikatan darah dengan pekerja lain, serta karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

Pemecatan hanya bisa dilakukan sesuai dengan Pasal 158 yang mensyaratkan karyawan tersebut kesalahan berat seperti: menipu, mencuri, memberikan keterangan palsu, mengedarkan narkotika di lingkungan kerja, melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja, menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja, atau membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Alasan pemecatan seperti tertuang alam Pasal 158, harus disertai bukti pendukung seperti pekerja/buruh tertangkap tangan, ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Alasan lain yang bisa digunakan adalah Pasal 160 dan 161. Pasal 160 menyebutkan, PHK bisa dilakukan jika buruh tidak melakukan pekerjaan selama enam bulan. Sedangkan Pasal 161 menyebutkan, pemecatan bisa dilakukan setelah perusahaan memberikan surat peringatan satu hingga tiga secara berturut-turut dengan jangka waktu paling lama enam bulan.

Selain itu, pemecatan dimungkinkan jika perusahaan mengalami perubahasan status karena peleburan atau karena pailit alias dinyatakan tutup seperti tertuang dalam Pasal 163, 164, 165, 167, 168, dan 169.

Pesangon, Gugatan, dan Pembatalan PHK

Pemecatan terhadap karyawan juga harus disertai dengan pemberian pesangon atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima seperti diatur dalam Pasal 156 dan 157. Besaran pemberian uang ini disesuaikan dengan masa kerja yang dimulai dari kurang satu tahun hingga lebih dari delapan tahun.

Meski begitu, bukan berarti pemecatan ini tidak bisa digugat. UU ini memberikan jalan buat pekerja menggugat putusan PHK dari perusahaan seperti diatur dalam Pasal 159 dan 171. Ada pun terkait pembatalan PHK diatur dalam Pasal 170, yang menuliskan PHK batal demi hukum jika tidak memenuhi Pasal 151 Ayat 3, dan Pasal 168.

Konteks Pemecatan Zulfikar

Dalam konteks kasus yang menimpa Zulfikar, pemecatan diputuskan dalam rapat yang dihadiri Pemred, Wakil Pemred, serta seluruh Redaktur Topskor. Manajemen TopSkor menilai cuitannya membuat suasana kerja tidak nyaman.

"Saat rapat itu ya dibahas bagaimana teror diarahkan ke TopSkor, sekaligus judge bahwa saya bersalah. Jadi dari sana diambil keputusan mereka cut saya," ujar Zulfikar, Rabu (27/12/2017).

Keterangan berbeda disampaikan Pemred TopSkor. Menurut Yusuf, dirinya tak memecat Zulfikar. Hubungan kerja Zulfikar dengan TopSkor berakhir lantaran wartawan tersebut mengundurkan diri secara sukarela.

Keterangan Zulfikar dibantah Yusuf Kurniawan selaku Pemimpin Redaksi Topskor. Yusuf bilang, Zulfikar mengundurkan diri bukan dipecat.

"Dia memahami secara sadar konsekuensi dan dampak yang akan diterima Topskor secara institusi jika dia mempertahankan posisinya saat ini. TopSkor media olahraga yang independen dan tidak berafiliasi dengan pihak manapun. Kami hanya berbicara soal olahraga. Tapi aktivitas Zul di sosmed telah mengundang kegaduhan di ranah publik. Kami tidak ingin hal itu berlarut-larut," kata Yusuf.

Merujuk pada latar pemecatan ini, Harian Topskor diduga menggunakan Pasal 158 Ayat 1 huruf h sebagai dalih. Meski begitu, penggunaan pasal tersebut perlu dikaji lagi mengingat Zulfikar memberikan komentar dengan latar pendapat pribadi.

Kepala Divisi Riset dan Publikasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin berkata, manajemen TopSkor telah berbuat sewenang-wenang dengan memutus hubungan kerja karena perilaku karyawannya di medsos.

"Zul nge-twit itu dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan warga negara yang hak kebebasan berekspresinya dijamin oleh konstitusi, bukan dalam kapasitasnya sebagai jurnalis atau dalam sebuah liputan karya jurnalistik. Seharusnya managemen bisa melihat itu secara jernih,” ucap Ade.

Sementara untuk mencegah terulangnya peristiwa yang dialami Zulfikar di masa depan, AJI Indonesia meminta perusahaan media mulai membuat panduan bermedsos untuk wartawannya. Panduan medsos untuk pewarta sudah banyak dilakukan perusahaan media di luar negeri.

"The Guardian memberikan panduan, misalnya, kalau ngetwit jangan hanya me-retweet berita tanpa memberikan komentar, karena dengan meretweet kita dianggap punya posisi sama. Atau menghindari twit isu-isu kontroversial karena bisa menimbulkan pertanyaan soal independensi dia," kata Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan.

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih