Menuju konten utama

Pembunuhan Lyra McKee di Antara Konflik Etnopolitik Irlandia Utara

Konflik sektarian yang tak berujung di Irlandia Utara menyebabkan teror terus berlanjut.

Pembunuhan Lyra McKee di Antara Konflik Etnopolitik Irlandia Utara
Tentara Negara Bebas diperlihatkan maju di seluruh negeri untuk mengalahkan Republik di Bunduff, 1 Oktober 1922, Irlandia. FOTO/AP

tirto.id - Pada Kamis (18/04/2019), seorang jurnalis perempuan di Irlandia Utara bernama Lyra McKee, tewas ditembak saat kerusuhan berlangsung di Londonderry. McKee (29) dibunuh tak lama usai mengunggah sebuah foto di Twitter terkait peristiwa yang ia gambarkan "benar-benar gila" tersebut.

Kematian McKee dengan segera makin mengguncang stabilitas nasional. McKee saat ini tengah menulis buku soal anak-anak muda yang hilang selama tiga dasawarsa konflik antar-kelompok di Irlandia Utara. Ia juga pernah dinobatkan oleh Sky News sebagai Wartawan Muda Sky News Terbaik tahun 2006. Oleh penerbit Faber, McKee turut digambarkan sebagai bintang jurnalisme investigatif yang sedang naik daun. Ia juga telah membuat banyak tulisan soal perjuangannya tumbuh dewasa sebagai seorang gay.

Seorang jurnalis lokal yang juga berada di lokasi kejadian, Leona O'Neill, menyebut di di akun Twitter pribadinya bahwa setelah McKee terkena tembakan, ia terjatuh di samping mobil Land Rover milik polisi. Petugas pun sempat berhasil membawanya ke rumah sakit Altnagelvin yang terdekat dari lokasi kejadian, namun nyawanya kadung tidak bisa diselamatkan.

Pihak kepolisian setempat mengatakan bahwa biang keladi kerusuhan di Londonderry amat mungkin dilakukan oleh kelompok militan nasional yang selama ini menentang kesepakatan perdamaian Good Friday Agreement (Jumat Agung) tahun 1988. Pasalnya, pusat kerusuhan di daerah Creggan selama ini memang banyak ditinggali kalangan nasionalis.

Ketika kerusuhan berlangsung, kepolisian setempat segera melakukan penyisiran dan penggerebekan. Mereka pun menemukan setidaknya ada 50 bom bensin yang dilemparkan dan dua mobil dibakar dalam kerusuhan tersebut. Namun, setelah itu, muncul sesosok pria yang melakukan perlawanan terhadap polisi.

"Sayangnya pada jam 11 malam, seorang pria bersenjata muncul dan menembakkan sejumlah tembakan ke arah polisi, dan seorang wanita muda, Lyra McKee, 29 tahun, terluka dan kemudian meninggal,” kata Wakil Kepala Polisi setempat, Mark Hamilton, sebagaimana dilansir BBC.

“Kami percaya ini adalah tindakan teroris. Kami percaya ini telah dilakukan oleh republikan pembangkang dengan kekerasan,” tambahnya.

Berselang tiga hari kemudian, kelompok militan Real Irish Republican Army (Tentara Republik Irlandia-Baru) atau New IRA menyatakan bertanggung jawab dan meminta maaf atas kematian McKee. Mereka mengakui bahwa salah satu anggotanya memang terlibat dalam insiden tersebut.

"Kami telah menginstruksikan sukarelawan kami untuk lebih berhati-hati di waktu selanjutnya ketika terlibat bentrok dengan musuh, dan melakukan langkah-langkah demi membantu memastikan hal ini,” demikian rilis mereka sebagaimana dilansir Irish News.

Pada akhir Januari 2019 lalu, kepolisian Irlandia Utara juga sempat menangkap empat lelaki yang terlibat dalam ledakan bom mobil di Londonderry. Mereka diduga kuat merupakan anggota New IRA

"Kami menyelidiki kegiatan New IRA. Kelompok ini sama seperti halnya sempalan pendukung Republik lainnya di Irlandia Utara. Jumlahnya kecil, tidak mewakili keseluruhan dan hanya ingin menyeret orang-orang ke dalam pusaran konflik masa lalu," demikian keterangan Hamilton seperti dikutip dari The Guardian.

Konflik Sektarian dan Munculnya New IRA

Untuk memahami siapa New IRA dan bagaimana perannya dalam konflik yang terjadi di Irlandia Utara, penting untuk melihat kembali bagaimana fase perang Inggris-Irlandia sepanjang 1920-1922. Kala itu, Inggris memberlakukan kebijakan kepada seluruh daratan Irlandia untuk tidak membentuk suatu pemerintahan mandiri. Tentara Republik Irlandia (IRA) pun merespons dengan seruan gerilya melawan Inggris.

Namun demikian, Inggris paham jika IRA tak dapat dikalahkan melalui cara-cara militer. Oleh karenanya, pemerintah Inggris yang kala itu masih dipimpin oleh PM Llyod George memutuskan menggunakan taktik pecah belah, yakni mendukung sebuah faksi konservatif untuk mendirikan Free State: suatu rezim klien yang dipersenjatai dan diongkosi Inggris dalam perangnya melawan tentara Irlandia. Inggris pun berhasil memenangkan pertarungan secara menyeluruh.

Kekalahan IRA di wilayah selatan yang diwakili komunitas Katolik mampu dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok loyalis guna mengonsolidasikan dominasi atas pihak minoritas. Mereka kemudian membentuk Negara Irlandia Baru yang dilengkapi dengan basis kekuatan dari kepolisian untuk mengintimidasi minoritas serta membiarkan segala macam penindasan terhadap oposisi.

Selama lebih dari 50 tahun sejak kemenangan loyalis di Irlandia Utara tak ada perlawanan berarti yang dilakukan. Di tengah kebencian yang menyasar mereka, kelompok minoritas memang tidak bisa melakukan apa-apa. Di saat yang sama, kelompok loyalis justru mendapatkan dukungan dari komunitas Protestan dan Inggris. Kendati demikian, pihak IRA tetap menyerukan perlawanan di awal 1940 dan akhir 1950, sekalipun usaha mereka berujung sia-sia.

Menjelang akhir 1960, perlawanan lebih keras kembali menyasar pemerintahan mayoritas yang kemudian memicu perubahan besar-besaran dalam tatanan sosial-politik di Irlandia Utara. Puncaknya terjadi pada Januari 1967, di mana kelompok nasionalis menyerukan tuntutan reformasi menyeluruh dan menyebabkan gelombang demonstrasi terus berlangsung nyaris setiap hari.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Inggris pun turun tangan dan pada tahun 1969, mereka mengirim pasukan pasukan untuk membantu memulihkan ketertiban. Tiga tahun berselang, intervensi yang dilakukan semakin masif. Melihat kondisi semakin tidak terkendali, pemerintah Inggris menangguhkan status parlemen Irlandia Utara dan memerintah langsung dari London.

Sebagaimana penjelasan BBC, 'The Troubles' merupakan konflik etnopolitik dua kelompok identitas yang berebut klaim teritorial. Kelompok loyalis didukung sejumlah kekuatan paramiliter yang terdiri dari Ulster Defense Association (UDA) dan Ulster Volunteer Force (UVF) dan bertujuan menghentikan IRA. Namun, dalam kenyataannya tak jarang mereka menyasar warga sipil Katolik sebagai target operasi.

Pihak nasionalis sendiri didukung IRA dan Sinn Fein (partai sayap kiri terbesar di Irlandia Utara). Namun, memasuki tahun 1972, kekuatan mereka sedikit goyah setelah IRA mengumumkan gencatan senjata. Dua tahun berselang, sebagian anggota IRA memutuskan untuk berpisah dan mendirikan Irish National Liberation Army (Tentara Pembebasan Irlandia Utara) atau INLA.

Episode klimaks 'The Troubles' yang dikenal dengan istilah ‘Bloody Sunday’ terjadi pada Minggu 30 Januari 1972. Kala itu, pasukan militer Inggris yang semula diturunkan untuk meredam kekacauan di Londonderry justru menembaki kerumunan hingga menewaskan 14 demonstran. Menurut laporanThe Guardian, seluruh korban adalah laki-laki yang berusia 17 sampai 41 tahun, serta seorang pria berusia 59 tahun yang meninggal beberapa bulan kemudian.

Infografik New Irish Republican Army

undefined

Memasuki tahun 1994, IRA mengumumkan gencatan senjata. Sikap ini kemudian diikuti oleh partai pemberontak Sinn Fein dengan membuka perundingan dengan pihak Inggris. Dua tahun kemudian, perundingan yang lebih serius kembali digulirkan. Amerika Serikat pun turut terlibat dengan menunjuk senator veteran George Mitchell sebagai ketua perundingan. Hasilnya: Kesepakatan Good Friday Agreement yang mulai berlaku pada Desember 1998.

Kesepakatan ini menandai pergeseran lanskap politik Irlandia Utara di mana kedua kubu yang diwakili Partai Persatuan Ulster (UUP) dan Partai Buruh dan Sosial-Demokratik (SDLP) menyetujui pembagian kekuasaan serta mengakhiri konflik The Troubles. Perdana Menteri David Cameron kala itu pun bersedia mendengarkan tuntutan pihak korban penembakan Londonderry 1972 dan meminta maaf secara terbuka pada 2010.

Namun demikian, apakah ancaman gerakan kemerdekaan Irlandia Utara yang menolak tunduk pada Inggris sudah sepenuhnya lenyap? Tidak.

Menurut catatan statistik Dinas Kepolisian Irlandia Utara yang dilansir Guardian, dalam 12 bulan terakhir sepanjang 2015-2016, telah terjadi 52 serangan bom dan teror di kawasan Irlandia Utara. Angka tersebut melonjak dibandingkan 36 serangan pada 2014-2015. Sebelumnya, pihak kepolisian juga menggerebek sejumlah toko senjata yang diduga mengedarkan semtex: bahan peledak yang kerap digunakan kelompok separatis dalam melancarkan aksinya.

Ketika Brexit kian ramai dibicarakan, kelompok-kelompok pro-kemerdekaan semakin gencar mengkampanyekan referendum dan unifikasi Irlandia tak bisa dihalangi. Oleh sebab itu, pada Juni 2016, Perdana Menteri Inggris sekarang, Theresa May, juga menaikkan tingkat ancaman Irlandia Utara ke level waspada.

New IRA terbentuk tak lama usai perundingan Good Friday Agreement. Mereka kemudian bergabung dengan Republican Action Against Drugs (RAAD) dan berupaya merebut kembali panji IRA dalam pembagian kekuasaan. Kepada The Guardian, organisasi baru itu mengklaim telah membentuk “struktur terpadu di bawah satu kepemimpinan” dan akan “tunduk pada konstitusi Tentara Republik Irlandia.”

Dalam perkembangannya, beberapa ratus kombatan—termasuk di antaranya mantan anggota IRA—telah bergabung ke dalam kelompok ini. Mereka berencana mengintensifkan serangan teror terhadap aparat keamanan dan target-target lain yang diasosiasikan dengan pemerintah Inggris. Dan sebagaimana diketahui, teror tersebut turut menewaskan seorang jurnalis yang tengah bekerja untuk kemanusiaan: Lyra McKee.

Baca juga artikel terkait IRLANDIA UTARA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono