tirto.id - Api masih melahap enam rumah dan satu Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan Cabang Lembantongoa di Dusun Lewonu, ketika Pendeta Arnianto Mpapa tiba. Dia menempuh tujuh kilometer dari rumahnya untuk mengecek kabar dari aparat keamanan ihwal pembunuhan di kampung itu, Jumat (27/11), sekira pukul 10.30.
Ia melihat tubuh empat laki-laki di depan rumah tersebut, pendeta itu mengenali mereka sebagai jemaat dari gereja yang ia pimpin. Yasa mati karena dipenggal, sementara Naka, Pedi dan Pinus digorok lehernya. Namun, Pedi juga dibakar oleh pelaku yang diduga adalah anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT), pimpinan Ali Kalora.
Naka dan Pedi merupakan bapak dan anak, Yasa adalah mertua dari keduanya, sementara Pinus adalah menantu. Hal ini menyebabkan penduduk kampung mengungsi ke Dusun Lembantongoa pascakejadian. Arnianto pun menyesalkan peristiwa tersebut.
“Tolonglah usut dengan tuntas. Bukan hanya jemaat yang merasakan [takut], tapi semua (penduduk) ketakutan. Masyarakat di sini tak berani pergi ke kebun,” ucap dia kepada Tirto, Minggu (29/11/2020).
Arnianto berharap aparat keamanan dapat bekerja maksimal untuk pengamanan dan penuntasan perkara ini. "Orang katakan kita sudah merdeka, tapi kami tidak merasakan kemerdekaan itu. Sampai hari ini kami hidup dalam ketakutan," ujar dia.
Pada Sabtu (28/11/2020), para korban dimakamkan dan nanti malam bakal ada ibadah penghiburan di rumah keluarga korban.
Arnianto mengaku pihaknya belum memikirkan perihal renovasi gereja lantaran masih berkabung dan trauma. Dia mengaku tak tahu pasti apakah ada penempatan aparat keamanan usai kejadian tersebut.
Pimpinan Pusat Gereja Bala Keselamatan buka suara atas insiden ini, lembaga itu mengklaim pembunuhan dan pembakaran ialah perbuatan tak berperikemanusiaan serta melanggar hak asasi manusia.
Pimpinan pusat juga mengimbau para Opsir Bala Keselamatan dan seluruh jemaatnya tetap tenang tetapi waspada dan berhati-hati. “Diharapkan tidak menyebarkan informasi dan gambar yang tidak benar/tidak layak disebarkan berkaitan dengan peristiwa ini melalui media apa saja, agar tidak meresahkan kehidupan sosial kemasyarakatan,” begitu tulis siaran pers Pimpinan Pusat Gereja Bala Keselamatan, Sabtu lalu.
Philip Situmorang, Humas Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, berujar pihaknya turut berduka cita terhadap peristiwa ini. Namun, masyarakat sebaiknya tetap tenang, memelihara kerukunan dan persaudaraan, sambil sepenuhnya mendukung upaya pemerintah untuk menangani perkara.
Segala urusan hukum, biarkan aparat penegak hukum yang bekerja untuk merampungkan kasus. “(Masyarakat) tidak terprovokasi melakukan tindakan anarkis atau melakukan tindakan balasan,” tutur dia kepada Tirto, Minggu (29/11/2020).
Berkaitan dengan intoleransi yang dilancarkan oleh MIT, menurutnya harus ada pemahaman kepada kelompok perihal perbedaan iman.
PGI Minta Kasus Sigi Diusut Tuntas
PGI, sambung Philip, mendorong gereja-gereja di daerah melalui PGI Wilayah, untuk membangun komunikasi lintas iman seperti diskusi. Sehingga pemahaman tentang toleransi dapat terwujud. Tak hanya itu, PGI juga ingin tokoh agama dan tokoh masyarakat proaktif dalam penanggulangan gerakan ekstremisme yang melegalkan cara-cara teror.
PGI juga mengajak gereja-gereja dan umat beragama lainnya untuk berdoa agar tragedi kemanusiaan ini segera selesai, dan keluarga para korban serta masyarakat diberi kekuatan dan perlindungan.
Desakan dari Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil mencuat, yakni agar pemerintah pusat dan daerah segera bertindak agar peristiwa ini tidak digunakan oleh pihak lain guna memainkan isu SARA sebagai sarana memecah belah masyarakat. Penyelesaian dan penegakan hukum terhadap pelaku akan meminimalisasi potensi provokasi dan kekerasan lanjutan di wilayah Sulawesi Tengah atau daerah lain di Indonesia.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan pemerintah juga perlu memastikan propaganda atau siar kebencian tentang kekerasan ini dapat dikendalikan, terutama ketika terjadi upaya individu atau kelompok untuk menebarkan kekerasan dengan tujuan penyebaran kebencian, permusuhan, atau diskriminasi berbasis SARA.
“Kesimpangsiuran berita terhadap situasi harus segera diatasi oleh pemerintah dengan memberikan informasi dan data objektif terkait situasi yang terjadi,” kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu.
Selain pengusutan kasus, pemerintah juga bisa mengakomodasikan pemulihan hak-hak korban dan keluarganya, memastikan ratusan warga lain yang mengungsi diberikan jaminan keselamatan, keamanan, dan kebutuhan sementara selama di pengungsian.
Isnur menegaskan, kepolisian harus mengutamakan pendekatan pidana terhadap situasi ini, dengan tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai justifikasi melakukan kekerasan baru terhadap sipil, serta memastikan pendekatan pidana sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri