tirto.id - Tanggapan keras soal usul Presiden Joko Widodo yang ingin agar film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dibuat ulang (remake) muncul dari Tatiana Lukman, anak kandung MH Lukman, Wakil Ketua CC PKI ketika prahara 1 Oktober terjadi. Tatiana mengatakan bahwa usulan pembuatan film baru akan relevan ketika sejarah yang sebenarnya diungkap.
Apa yang ia maksud sebagai "sejarah yang sebenarnya", menurut Tatiana, adalah fakta-fakta yang sudah terungkap baik oleh Indonesianis atau sejarawan kritis sejak berpuluh tahun lalu. Fakta sejarah ini, menurutnya, tidak akan kedaluwarsa. Tatiana merujuk pada pernyataan Jokowi yang mengatakan ingin membuat film yang lebih "kekinian", yang lebih bisa diterima generasi milenial.
"Dapatkah diharapkan pembuatan sebuah film tentang G30S yang sesuai, atau paling tidak sedikit mendekati fakta-fakta sejarah? Bersediakah pemerintah mengakui bahwa enam jenderal dan seorang kapten itu tidak disiksa atau disayat kemaluannya oleh anggota Gerwani, bahwa yang membunuh mereka bukan PKI, melainkan bagian dari tentara juga, bahwa tarian orgie oleh Gerwani di Lubang Buaya hanyalah khayalan?" terang Tatiana kepada Tirto.
"[Bersediakah pemerintah mengakui bahwa] Supersemar bukanlah pelimpahan kekuasaan Bung Karno kepada Suharto, bahwa Bung Karno tidak pernah menyetujui pembubaran PKI, dan masih banyak lagi. Inilah pernyataan yang harus dijawab lebih dulu oleh Jokowi sebelum bikin film baru yang sesuai dengan konteks kekinian," Tatiana menambahkan.
Kalaupun pembuatan film remake ini direalisasikan, Tatiana menilai bahwa itu tidak akan mengubah nasib para penyintas, sepanjang pemerintah tidak bersedia menerima fakta di atas.
Tatiana menilai, pihak-pihak yang terus menerus menghidupkan momok PKI berkepentingan untuk mengalihkan massa dari permasalahan konkret yang mereka hadapi sehari hari. Seperti semakin meningkatnya harga kebutuhan hidup, upah yang rendah, pengangguran, penyempitan lahan, hingga korupsi.
"Satanisasi PKI dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian massa rakyat," katanya.
Tirto juga menghubungi Ilham Aidit, anak kedua Dwipa Nusantar Aidit, ketua CC PKI, yang bersama Lukman dan Njoto menghidupi dan membesarkan PKI pasca Madiun Affair, 1948, untuk kebutuhan yang sama. Tapi sampai berita ini ditulis, tidak ada tanggapan.
Baca juga
Pakar Sejarah: Masyarakat Sudah Cerdas Menilai Film G30S/PKI
Film G30S PKI Dinilai Tidak Tepat untuk Jadi Rujukan Sejarah
Usulan presiden agar film G30S/PKI dibuat ulang berawal dari instruksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada Kodim, Koramil, sampai Babinsa, agar film tersebut ditonton bersama.
Gatot tidak ambil pusing dengan polemik yang muncul terkait acara nobar film G30S/PKI. Ia menyatakan hanya pemerintah yang bisa melarang instruksinya. "Yang bisa melarang saya hanya pemerintah. Polemik dan ada penentangan dari berbagai pihak itu, 'memangnya gue pikirin'," ujarnya.
Sebelumnya, Asvi Warman Adam, sedikit dari sejarawan yang fokus membahas peristiwa G30S sekaligus peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), setuju pembuatan ulang film G30S/PKI setidaknya karena dua alasan. Pertama, film itu jelek, baik dalam hal kualitas teknis film, juga substansi cerita atau niat awal membuat film tersebut.
"Film itu bertujuan untuk mengangkat kepahlawanan Suharto, tapi di sisi lain untuk merendahkan Sukarno. Film itu untuk memperlihatkan bahwa Sukarno dekat, bisa diatur, dan membela PKI. Padahal kan tidak demikian," kata Asvi.
Asvi menginterpretasikan usulan Jokowi tersebut sebagai penolakan tidak langsung atas instruktsi Panglima TNI yang ingin film G30S/PKI diputar ulang lagi. Asvi juga mengaitkan ini dengan penggantian Gatot Nurmantyo yang direncanakan tahun depan.
"Tahun depan ada penggantian Panglima TNI. Sekarang AD, jadi kemungkinannya besok AU. Nah apakah tujuannya terkait dengan itu? Ini buat orang bertanya, apa biar tetap AD atau apa? Itu kan dugaan-dugaan yang mungkin. Instruksi untuk menonton film ini jadi sangat politis," kata Asvi.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS