tirto.id - Sejumlah gerilyawan pemberontak Suriah memprotes rencana kesepakatan gencatan senjata tebatas oleh Amerika Serikat dan Rusia di Suriah yang rencananya akan mulai berlaku pada hari Sabtu (27/2/2016) karena kesepakatan tersebut mengecualikan sejumlah kelompok garis keras seperti ISIS dan Front Nusra.
Rencana kesepatan itu masih memungkinkan tentara Suriah dan pasukan sekutu, serta pejuang oposisi Suriah, untuk membela diri dengan “penggunaan kekuatan yang proporsional,” dan meninggalkan celah yang signifikan dengan dimungkinkannya serangan lanjutan, termasuk serangan udara, terhadap ISIS, Nusra dan kelompok militan lainnya.
Bashar al-Zoubi, Kepala Kantor Politik Tentara Yarmouk, yang merupakan bagian dari kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Suriah (FSA), mengatakan bahwa pengecualian tersebut akan memberikan alasan yang kuat bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutu Russia-nya untuk tetap menyerang daerah yang sama-sama dipenuhi oleh gerilyawan dan kelompok-kelompok garis keras tersebut.
“Rusia dan rezim akan menarget wilayah kelompok revolusioner dengan alasan Front Nusra ada di situ. Kelompok-kelompok itu saling menguasai area yang berdekatan. Dan jika hal ini terjadi, gencatan senjata akan buyar,” kata Bashar.
Kesepakatan gencatan senjata, yang disetujui pada hari Senin (22/2/2016) dan disebut oleh seorang juru bicara dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai “sebuah langkah awal menuju gencatan senjata yang dapat lebih bertahan lama,” tersebut merupakan buah dari aksi diplomasi yang intensif antara Washington dan Moskow.
Seperti yang diketahui, dua kubu itu memberikan dukungan terhadap kedua pihak yang beroposisi dalam perang sipil yang telah menewaskan lebih dari 250,000 orang tersebut. Tentara pemerintah Suriah saat ini memperoleh dukungan dari Rusia, Iran, dan kelompok Hizbullah. Sementara itu, Amerika Serikat, Turki dan Arab Saudi membantu kelompok-kelompok gerilyawan.
Rusia mengatakan bahwa kesepakatan itu akan “secara radikal mengubah situasi krisis di Suriah.” Sementara itu, pihak Gedung Putih mengatakan bahwa hal itu akan membawa kemajuan terhadap perundingan yang dapat mengubah situasi politik di Suriah.
Untuk bisa berlaku, kesepakatan itu mengharuskan kedua negara untuk membujuk sekutu masing-masing di lapangan agar patuh.
Dalam pernyataan resminya, kedua negara tersebut akan bekerja sama mengusir ISIS, Front Nusra, dan kelompok garis keras lain dari wilayah yang mereka kuasai. Namun, tokoh-tokoh gerilyawan mengatakan tidak mungkin memastikan titik wilayah yang dikuasai Front Nusra.
“Bagi kami, al-Nusra adalah hal yang problematis, karena mereka tidak hanya berada di Idlib, tapi juga Aleppo, Damaskus, dan daerah selatan. Isu pentingnya di sini adalah warga sipil maupun gerilyawan Tentara Pembebasan Suriah bisa menjadi sasaran dengan dalih penyerangan terhadap Front Nusra,” kata tokoh senior kubu oposisi, Khaled Hoja.