tirto.id - Presiden Joko Widodo memberhentikan anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Syafri Adnan Baharuddin (SAB), yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap bawahannya. Pemberhentian ini dilakukan meski SAB belum terbukti bersalah menurut hukum.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Ferdinand Hutahaean, menilai apa yang dilakukan Jokowi hanyalah gimik demi mendapat dukungan masyarakat.
Dalam rentang waktu dua minggu, pemerintah tiga kali melakukan langkah penting terkait persoalan di bidang hukum. Pertama, pembentukan satuan tugas khusus penanganan kasus penyiraman air keras oleh Novel Baswedan. Kedua, pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Terakhir adalah keputusan pemberhentian SAB ini.
Ketiga hal ini, menurut Ferdinand, dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintahan yang dikomandoi Jokowi peduli terhadap masyarakat dan penegakan hukum. Ia menilai narasi tersebut sengaja dikembangkan Jokowi karena kritik dalam bidang hukum tidak bisa ditutupi oleh klaim suksesnya pembangunan infrastruktur.
“Jadi ini hanya gimik saja. Karena masyarakat sudah tahu apa yang dilakukan di era Jokowi ini tidak bisa membantu masyarakat. Sehingga Jokowi ini berusaha merebut hati rakyat dari bidang hukum,” kata Ferdinand kepada reporter Tirto, Minggu (20/1/2019).
Ferdinand mengakui pemberhentian anggota dewan BPJS memang ada di tangan Presiden. Dalam UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS disebutkan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada presiden.
Permasalahannya, kata Ferdinand, tindakan Jokowi ini hanya berupa langkah yang seakan-akan membela korban pelecehan seksual. Baginya, Jokowi tidak melihat urgensi penyelesaian kasus yang sesungguhnya. Seharusnya, Jokowi mempercepat penyelesaian kasus, bukan memecat SAB tanpa dasar hukum yang sudah jelas.
“Jokowi ini salah substansi kalau mau menunjukkan dia peduli pada pelecehan seksual dengan memecat SAB. Harus imbang juga. Pemecatan memang kewenangan dia, tapi harusnya menunggu proses hukum dulu,” tegas Ferdinand.
Kepala Divisi Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat ini menyatakan keputusan Jokowi bisa bermasalah apabila SAB terbukti tak bersalah. Oleh karena itu, dia menilai langkah Jokowi hanya politis belaka untuk menyelesaikan kasus yang sudah kadung viral.
“Gimana kalau dia enggak bersalah? Ini kan berarti Jokowi telah melakukan tindakan yang merugikan orang lain,” ujarnya.
Di luar adanya kritisisme soal pemberhentian dengan hormat ini, SAB memang mengajukan pengunduran dirinya kepada Presiden Jokowi. Meski demikian, SAB tidak menyatakan melakukan pelecehan seksual. Pengunduran diri merupakan upayanya untuk fokus menjalani proses hukum.
Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Poempida Hidayatulloh menyatakan keputusan presiden ini termaktub dalam Keppres Nomor 12 tahun 2019 tentang Pemberhentian dengan Hormat Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 17 Januari 2019.
Menurut Poempida, Jokowi telah menerima pemberhentian SAB dengan baik. Mantan Wali Kota Solo itu, menurut Poempida, juga menghargai kinerja SAB selama ini. Poempida mengaku puas dengan keputusan ini, kendati pemberhentian dikabulkan sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap.
“Ini menunjukkan betapa bijaknya Presiden yang selalu menempatkan hukum sebagai panglima dan menghormati proses hukum yang berjalan,” kata Poempida dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Sabtu (19/1/2019).
Jokowi Hanya Menyelesaikan Kasus di Permukaan
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai apa yang dilakukan Jokowi cenderung berbeda dari sebelumnya. SAB bukan kali pertama terlibat masalah. Pada 2017, SAB pernah dilaporkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Namun, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti.
Kali ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) belum selesai melakukan investigasi terkait kasus SAB, tetapi Jokowi sudah mengabulkan permintaan undur diri yang bersangkutan. Hal ini menjadi masalah karena pemberhentian itu dilakukan dengan hormat.
“Memang ini menuai kritik juga dari orang-orang yang tidak terima akan perlakuan dari SAB ini,” kata Timboel kepada Tirto.
Timboel khawatir keputusan Jokowi membuat DJSN berhenti bekerja dalam penyelidikan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan SAB terhadap pegawainya RA. Ia mengatakan DJSN harus mengungkap kepada publik apa yang sebenarnya terjadi terkait kasus tersebut.
“Mereka harusnya tetap bekerja. Karena mereka yang lebih tahu tentang situasi internal dan penyelidikan mereka bisa menjadi bahan untuk kepolisian,” ujarnya.
Timboel menilai keputusan tersebut memang bagian dari hak prerogatif Jokowi selaku presiden. Meski begitu, ia berharap pemecatan SAB dilakukan saat proses hukum selesai.
Dia menduga hal ini ada kaitannya dengan situasi politik jelang Pemilu 2019. Segala keputusan Jokowi akan disorot karena tengah menghadapi pemilihan presiden. Menurutnya, apa yang dilakukan Jokowi bisa jadi untuk memberi kesan baik terkait pengawasan di BPJS, tetapi hal itu tidak menyelesaikan masalah.
“Saya menduga karena dulu itu situasinya tidak seperti sekarang. Ini kasus terus bergulir dan tidak baik juga mungkin di tahun politik. Akhirnya biar selesai dari BPJS, Jokowi memecat dia. Meski begitu, kasus harus tetap bergulir di ranah hukum," tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Gilang Ramadhan