tirto.id - Setelah Joko Widodo-Ma'ruf Amien dinyatakan menang sebagai pemenang Pilpres 2019 oleh KPU, muncul pertanyaan: apa yang terjadi di balik itu semua?
Di saat media massa masih fokus mengusut kerusuhan 22 Mei dan dalang di baliknya, kita juga perlu memahami apa yang mendorong perolehan suara pemilu kali ini. Beberapa pakar politik Indonesiatelah mengolah data perolehan suara dari situs Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dua di antaranya—Seth Soderborg dan Nick Kuipers—cukup berbaik hati membagikan data perolehan suara hingga tingkat Kabupaten/Kota kepada saya.
Dengan mengombinasikan hasil suara Jokowi dan Prabowo pada Pemilu 2014 (yang juga dimenangkan oleh Jokowi), kita dapat memeriksa bagaimana pemilih merespons dua kandidat presiden yang sama pada dua pemilu dalam konteks semakin menguatnya politik identitas.
Hal pertama yang perlu dilihat adalah perbedaan kantong suara Jokowi-Amin (JA) pada 2019 dan Jokowi-Kalla (JK) pada 2014. Gambar di bawah ini mengelompokkan perolehan suara Jokowi (Jokowi vote share) di tingkat Kab/Kota pada 2014, mulai dari kantong suara terbesar hingga terkecil. Gambar yang sama juga menunjukkan perubahan suara dari 2014 (abu-abu) ke 2019 (merah). Dibagi berdasarkan provinsi,hasilnya memberikan sejumlah informasi penting. Plot ini kemudian disebut dumbbell plot (plot halter) karena mirip dengan bentuk halter.
Dua provinsi seperti Aceh dan Bali bisa bercerita banyak di sini. Di Aceh yang mayoritas penduduknya muslim, suara untuk Jokowi menurun drastis, memang dari rendahnya dukungan Jokowi dalam Pilpres 2014. Sementara di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, dukungan untuk Jokowi meningkat secara substansial.
Pola serupa juga terlihat di provinsi-provinsi dengan pemeluk agama Kristen terbesar seperti Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Pola ini berlaku secara konsisten dengan menguatnya pembelahan pemilih atas dasar agama (religious cleavage) di Indonesia, di mana kampanye Prabowo cenderung menarik perhatian kaum muslim dan kampanye Jokowi menarik non-muslim.
Beberapa detail menarik lainnya juga muncul di lintas provinsi. Pada 2014, Jokowi menang di Sulawesi Selatan, kampung halaman Jusuf Kalla. Ketika Kalla tidak lagi maju sebagai kandidat dalam Pemilu 2019, dukungan terhadap Jokowi sangat menurun. Suara Jokowi juga turun di Riau, kampung halaman Sandiaga Uno, kandidat calon presiden pada Pemilu 2019.
Namun demikian, provinsi yang penting untuk diperhatikan adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur [1]. Dua provinsi ini berpenduduk mayoritas muslim dalam jumlah yang sangat besar. Di Jateng dan Jatim, Jokowi tidak hanya menang pada 2019, tapi juga berhasil mendulang perolehan suara yang lebih besar dibandingkan Pilpres 2014. Alasan yang masuk akal adalah Jateng dan Jatim, dan juga Yogyakarta, dihuni oleh banyak orang Jawa.
Bandingkan perolehan Jokowi di tiga provinsi ini dengan, misalnya, Jawa Barat, di mana orang Jawa adalah etnis minoritas. Korelasi yang sama juga berlaku di Jawa Timur, di mana suara Jokowi anjlok di kabupaten-kabupaten di Madura, yang dihuni mayoritas etnis Madura [2].
Pembelahan Agama dan Etnis
Untuk menggambarkan hubungan yang lebih jelas antara agama dan perolehan suara Jokowi, kita dapat membandingkan porsi suara Jokowi dengan persebaran penduduk muslim berdasarkan data demografi dari IPUMS-Internasional. Seperti inilah kira-kira perbandingan antara 2014 (kiri) dan 2019 (kanan). Garis merah adalah hasil lowess regression (lowess = locally weighted scatterplot smoothing) yang memprediksi hubungan antar dua variabel.
Jelas bahwa daerah-daerah yang penduduk muslimnya minoritas memberikan suara yang besar bagi Jokowi. Hal ini cukup kentara di provinsi-provinsi seperti Sumatera Utara, di mana kami mengamati jarak pemilih yang membesar antara daerah-daerah mayoritas Kristen yang mendukung Jokowi dan daerah-daerah mayoritas muslim yang memilih Prabowo. Hal yang sama juga berlaku di Sulawesi Selatan yang berpenduduk mayoritas muslim: daerah-daerah Toraja yang berpenduduk mayoritas Protestan ini berkebalikan dengan wilayah Sulawesi Selatan lainnya. Daerah-daerah ini memberi suara yang besar untuk Jokowi.
Namun tak semua daerah berpenduduk mayoritas muslim menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Beberapa provinsi di Jawa, misalnya, sangat kuat mendukung Jokowi. Hal ini kemudian mengindikasikan sejumlah perbedaan antara muslim Aceh dan muslim Jawa.
Dengan membandingkan persebaran muslim di sekitar garis-garis merah pada 2014 dan 2019, serta garis yang lebih curam di 2019 dibanding 2014, kami menemukan hubungan yang lebih erat antara agama yang dianut pemilih dan dukungan kepada Jokowi di 2019—hukungan ini lebih kuat dibanding 2014. Korelasi antara persebaran populasi muslim dan sikap oposisi mereka terhadap Jokowi juga terulang di seluruh wilayah Indonesia pada pilpres kali ini.
Secara keseluruhan, pola-pola yang digambarkan secara konsisten menunjukkan pembelahan antara muslim dan non-muslim, juga antara etnis Jawa dan non-Jawa.
Kita dapat menyelidiki lebih jauh pentingnya pembelahan antara Jawa dan non-Jawa ini dengan melihat tempat-tempat di mana suara Jokowi relatif meningkat pada 2019. Gambar berikut menunjukkan porsi suara Jokowi pada 2019 (kiri) dan penguatan dukungan terhadap Jokowi (atau daerah “swing”) dari 2014 ke 2019 dengan membandingkan daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Jawa dengan seluruh daerah lainnya.
Jokowi tidak hanya menang di daerah-daerah berpenduduk mayoritas Jawa pada 2019, ia juga mempertebal kemenangannya di hampir seluruh daerah berpenduduk mayoritas Jawa.
Identitas vs Pembangunan
Apakah pola-pola ini merefleksikan sesuatu yang lain ketimbang identitas agama dan etnis?
Barangkali Jokowi juga menarik perhatian penduduk miskin, warga pedesaan, atau penduduk daerah terluar yang tertinggal secara ekonomi. Mungkin pula daya tarik Prabowo mampu mengikat masyarakat yang relatif lebih makmur, khususnya kelas menengah perkotaan. Untuk menguji hipotesis ini, kami membutuhkan data perilaku pemilih hingga tingkat perorangan, yang sayangnya tidak tersedia.
Namun, kita tetap dapat menguji pola-pola ini lewat data agregat sebagai korelasi ekologis dengan menjalankan regresi sederhana yang memprediksi perolehan suara Jokowi-Amin sebagai raihan suara Jokowi-JK, jumlah total pemilih (ukuran kasar populasi di tingkat daerah), variabel demografi di tingkat daerah (persentase muslim, Jawa, dan fragmentasi etnis yang dihitung sebagai ELF, indeks rata-rata pengembangan rumah tangga, dan indeks urbanisasi daerah, serta efek tetap provinsi (dihilangkan dari presentasi di bawah ini).
Seluruh komponen data ini disediakan oleh IPUMS, demikian pula dengan data agama dan etnis yang sebelumnya digunakan. Untuk menguji apakah dampak suara penduduk muslim bervariasi seturut indikator demografi atau pembangunan, model tambahan memungkinkan variabel ini untuk berinteraksi dengan variabel lainnya.
Hasil yang ditunjukkan memberikan bukti yang cukup kuat bahwa performa Jokowi di Pilpres 2019 secara sistematis lebih baik—dibanding 2014—di daerah-daerah yang penduduk Jawanya banyak, dan lebih buruk di tempat-tempat yang penduduk muslimnya banyak. Tidak ada variabel demografis atau pembangunan lainnya yang muncul untuk memprediksi sebaik apa performa Jokowi [3].
Hanya ada sedikit bukti bahwa hubungan antara persebaran populasi muslim dan dukungannya terhadap Jokowi berbeda berdasarkan faktor-faktor lain, misalnya efek samping populasi Muslim di seluruh area urbanisasi (plot ini diciptakan dengan metode interflex).
Korelasi negatif antara sebaran populasi muslim dan kantong suara Jokowi-Amin pada 2019 lebih tinggi di daerah-daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi dibanding daerah-daerah yang urbanisasinya lebih rendah (p = 0,0271). Namun, sekali lagi, hanya itu yang bisa kita simpulkan.
Faktor Nasional vs Regional
Tujuan utama menganalisis hasil suara daerah-daerah pemilihan seperti ini adalah menyeimbangkan temuan yang spesifik dan yang umum. Pada prinsipnya, bisa saja analisis ini menjelaskan sepenuhnya pola suara pasangan calon di seluruh daerah dengan merujuk pada sejumlah kecil faktor nasional. Namun, kenyataannya akan lebih rumit dari itu. Ada banyak faktor lokal dan regional yang memainkan peran yang hampir tak mungkin ditangkap oleh pendekatan statistik seperti ini.
Sebagai langkah terakhir, kita dapat kembali ke daftar provinsi di atas untuk melihat apakah perbedaan-perbedaan ini dapat sepenuhnya dijelaskan dengan mengacu pada pembelahan agama dan etnis. Untuk mengetahuinya, saya mem-plot efek tetap (fixed effects) provinsi dari model regresi pertama, dengan Jakarta (di mana suara yang diraih Jokowi dan Prabowo hampir sama dalam Pilpres 2019) sebagai kategori dasar. Kita dapat menafsirkan hasil ini sebagai perbedaan berdasarkan provinsi terhadap performa Jokowi di Jakarta, dan menyesuaikannya dengan karakteristik daerah-daerah yang tercantum di atas.
Mempertimbangkan faktor agama dapat membantu menjelaskan perolehan suara pasangan calon di provinsi-provinsi seperti Bali dan Nusa Tenggara Timur, sementara faktor etnis dapat membantu menjelaskan daerah seperti Yogyakarta. Namun demikian, masih banyak yang bisa dikulik dari Aceh, Gorontalo, dan Sumatera Barat. Di provinsi-provinsi ini ada sesuatu yang lebih berperan daripada pembelahan nasional, baik antara muslim/non-muslim serta Jawa/non-Jawa, yang muncul secara nasional.
========
Catatan
[1] Sebagian data Jawa Timur diperoleh dari situs KawalPemilu.org karena terdapat gangguan di situs KPU.
[2] Saya tidak memiliki penjelasan atas keberhasilan Jokowi di Bangkalan, daerah dengan mayoritas etnis Madura di Jawa Timur.
[3] Dalam hasil yang tidak dipaparkan di sini, saya juga menggunakan pendekatan regresi laso untuk memilah semua interaksi prediktor dalam mencari prediktor yang tepat dari kantong suara Jokowi-Amin. Laso menyeleksi sebaran populasi muslim dan juga persebaran masyarakat Jawa yang juga dipengaruhi oleh variabel lainnya.
========
Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "Religion, Ethnicity, and Indonesia’s 2019 Presidential Election" yang diterbitkan di blog pribadi Tom Pepinsky pada 27 Mei 2019. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin para penulis dan penerbit.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.