tirto.id - Setelah diperkenalkan Inggris lewat klub Cape Coast Excelsior yang dibentuk pada 1903 di Ghana, sepak bola menjadi sangat populer di tengah masyarakat Afrika.
Ini, misalnya, ditunjukkan melalui 282 foto pemain sepak bola yang terpampang di halaman depan atau headline media nomor satu Pantai Gading, Ivorian Daily, sepanjang 2009 lalu.
Populernya sepak bola di tengah masyarakat Afrika bukan sebatas tontonan, melainkan menjadi pegangan hidup, sumber mata pencaharian. Menurut Nienke van der Meij dalam "Getting in the Game and Getting on the Move" (Sport in Society, 2017), sepak bola memberikan penghasilan terutama jika para pemain Afrika memiliki kesempatan berlaga di klub-klub Eropa,
"Kami memiliki kesempatan menghasilan uang banyak, sangat banyak, seperti [yang diperoleh] Michael Essien untuk keluarga kami," tutur Sam, pesepakbola U-15 asal Ghana yang diwawancarai van der Meij.
Dipelopori kebijakan Joao Havelange selaku Presiden FIFA pada 1970-an dengan menggelontorkan uang untuk membangun dunia sepak bola di Afrika, serta pembentukan kompetisi Piala Dunia U-20 dan U-17, kesempatan yang diimpikan Sam dan semua pemain sepak bola Afrika sangat besar.
Piala Dunia U-20 dan U-17 berhasil membuka mata klub-klub Eropa bahwa pemain sepak bola Afrika memiliki kualitas yang tak kalah dibandingkan pemain asal Eropa maupun Amerika Selatan.
Pada 1970-an, mulai terjadi migrasi besar-besaran pemain sepak bola Afrika ke klub-klub Eropa. Hal ini kian masif pada 1990-an setelah diberlakukan Aturan Bosman.
Kala itu, seorang pesepakbola asal Afrika bernama Jean-Marc Bosman telah menghabiskan kontraknya bersama klub asal Belgia, RFC Liege. Ia dijegal saat hendak pindah ke klub US Dunkerque asal Prancis, dan hanya ditawari perpanjangan kontrak dengan potongan mencapai 75 persen dari nilai kontrak lama.
Bosman tak terima dan menggugat RFC Liege ke pengadilan. Hasilnya, RFC Liege diputus bersalah karena dianggap melanggar Perjanjian Roma ayat 48 tentang perburuhan. Setelah itu, pengadilan melarang klub-klub Eropa melakukan praktik serupa.
Dibayar Murah dan Rentan Telantar
Kemampuan para pesepakbola asal Afrika bukan satu-satunya alasan mengapa klub-klub Eropa meminang mereka. Alasan lain adalah karena mereka dibanderol dengan harga murah.
Jika pemain asal Amerika Selatan mesti ditebus dengan harga di kisaran €20 juta, misalnya, maka pemain-pemain asal Afrika dapat ditebus dengan uang senilai €1 juta.
Bahkan, merujuk paparan Raffaele Poli dalam "African Migrants in Asia and European Football" (Sport in Society, 2010), "24 pemain yang ditransfer ke Eropa sepanjang 2000 hingga 2009 oleh klub terbaik di Pantai Gading, ASEC Mimosas, dijual dengan harga rata-rata di kisaran €330.000 saja."
Jika klub Eropa yang tertarik meminang pemain asal Afrika memiliki akademi sepakbola di Afrika, maka uang yang harus dikeluarkan dapat ditekan. Hal ini misalnya dilakukan oleh Feyenoord Rotterdam dengan membentuk Feyenoord Fetteh Football Academy di Ghana, dan Ajax Amsterdam yang memiliki 51 persen saham Cape Town Spurs (Ajax Cape Town) di Afrika Selatan.
Praktik ini sejak tahun 2000-an kian menjamur. Bahkan bukan hanya dilakukan klub-klub Eropa, tetapi juga dibentuk semacam institusi swasta, yang mencoba mencari peruntungan dengan "menjual" pemain Afrika "siap tempur" untuk klub-klub Eropa via skema komisi tiap kali pemain didikan mereka dibeli. Praktik yang mendominasi migrasi pemain asal Afrika ke Eropa.
Dikepalai Josep Colomer selaku pencari bakat yang menemukan Lionel Messi, Aspire Academy didirikan di Qatar sebagai "tempat singgah" para pemain asal Afrika untuk menimba ilmu sepak bola. Hingga 2007 terdapat 715.000 pemain U-13 dan U-14 asal Afrika yang belajar sepak bola di sana, seperti Kader Keita dan Boubacar Sanogo yang berasal dari Pantai Gading dan John Utaka asal Nigeria.
Melalui skema komisi, Aspire Academy memperoleh uang melimpah kala Boubacar Sanago dipinang untuk pertama kalinya secara profesional senilai €500.000 oleh klub asal Jerman Kaiserlautern. Lalu dilanjutkan dengan pinangan Hamburg SV senilai €3,8 juta, SV Werder Bremen senilai €700.000, dan AS Saint-Etienne senilai €5 juta.
Singkatnya, melalui praktik tersebut, "pemain-pemain asal Afrika dibayar di bawah rata-rata harga pemain Eropa atau Amerika Selatan," tegas Raffaele Poli.
"Kenyataan ini sungguh mengerikan," tutur mantan Presiden FIFA cum koruptor Sepp Blatter pada 2003.
"[Bagaikan] neokolonialisme, dengan memerkosa dan merampok tatanan sosial dan ekonomi melalui pemain terbaik negara-negara Afrika," tambahnya.
Dan hal ini kian mengerikan karena seperti diungkapkan Paul Darby dalam "Football Academies and the Migration of African Football Labor to Europe" (Journal of Sport & Social Issue, 2007), mayoritas pesepakbola Afrika yang mencoba peruntungan di Eropa tidak berhasil.
Dari data yang dimiliki Sport and Freedom dan Culture Foot Solidaire selaku dua institusi non-profit pemain Afrika di Eropa, lebih dari 1.000 pesepakbola asal Afrika terlantar di jalanan Eropa sepanjang 2005 yang tidak dipedulikan klub atau akademi yang menginginkan/mengirim mereka gara-gara gagal menunjukkan kemampuan bermain.
Akibatnya, karena tak bisa pulang ke kampung halaman, selain menjadi gelandangan di Eropa, banyak dari mereka yang memilih berlaga di kompetisi-kompetisi terendah dunia sepak bola Eropa.
Misalnya bermain di Seri C1 di Italia yang rata-rata membayar pemain asingnya di kisaran €103.000 per tahun. Jauh dibandingkan klub-klub Seri A yang membayar pemain asingnya rata-rata €819.000 per tahun.
Editor: Irfan Teguh Pribadi