tirto.id - Salah satu pelaku penyerangan bom bunuh diri di hotel dan gereja Sri Lanka pernah menempuh studi di Inggris dan Australia sebelum melakukan pemboman.
"Kami percaya bahwa salah satu pembom bunuh diri belajar di Inggris dan kemudian melakukan [studi] pascasarjana di Australia sebelum kembali dan menetap di Sri Lanka," kata Menteri Pertahanan Sri Lanka, Ruwan Wijewardene, dikutip dari South China Morning Post.
Wijewardene membenarkan bahwa sebagian besar pelaku serangan bom di Sri Lanka memiliki koneksi internasional dan telah tinggal atau belajar di luar negeri.
"Kelompok pembom bunuh diri ini, kebanyakan dari mereka berpendidikan tinggi dan berasal dari kelas menengah ke atas, sehingga mereka secara finansial cukup mandiri dan keluarga mereka cukup stabil secara finansial, itu merupakan faktor yang mengkhawatirkan dalam hal ini," katanya.
"Beberapa dari mereka saya pikir belajar di berbagai negara lain, mereka memegang gelar, LLM [sarjana hukum], mereka orang-orang yang cukup berpendidikan."
Pada Selasa (23/4/2019), 18 tersangka ditangkap, sehingga jumlah total yang ditahan menjadi 58, kata juru bicara kepolisian Sri Lanka, Ruwan Gunasekara.
ISIS melalui kantor berita Amaq menyiarkan pernyataan bertanggung jawab atas serangan itu. Kantor berita Amaq merilis sebuah buletin pada hari Selasa (23/4/2019) yang menyatakan bahwa serangan itu dilakukan oleh "pejuang ISIS."
Pernyataan itu, yang disebarluaskan di ruang obrolan kelompok di aplikasi Telegram, juga mengatakan bahwa pengeboman itu menargetkan orang Kristen serta warga negara dari koalisi yang memerangi ISIS.
Klaim itu dipertegas dengan pernyataan Seorang pejabat pemerintah Sri Lanka, Ruwan Wijewardene, yang mengatakan pengeboman itu merupakan balasan atas pembunuhan 50 orang di masjid di Selandia Baru.
"Investigasi awal telah mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di Sri Lanka adalah sebagai balasan atas serangan terhadap Muslim di Christchurch," kata Ruwan Wijewardene, dikutip dari New York Times.
Editor: Agung DH