tirto.id - Ketika krisis datang, ada dua hal yang akan terjadi: perusahaan tumbang atau bangkit menjadi perusahaan yang lebih kuat lagi. Toyota mengambil jalur kedua. Di usianya yang hampir mencapai 80 tahun, Toyota sudah diterpa berbagai krisis. Beberapa kali pil pahit harus mereka telan ketika krisis menghadang. Termasuk badai penguatan yen yang terjadi pada 2016 ini.
Ketidakpastian perekonomian setelah referendum British Exit atau Brexit membuat yen menguat tajam. Hal itu menyebabkan perusahaan-perusahaan Jepang kelimpungan, Toyota salah satunya. Untuk mengatasi krisis kali ini, Toyota melakukan efisiensi mati-matian.
Dalam rangka penghematan perusahaan, Toyota menghentikan operasi dua dari delapan lift di kantor pusatnya yang ada di Tokyo, Jepang.
"Tujuan utama penghentian lift adalah untuk meningkatkan kesadaran antara pekerja, dan untuk mengingatkan mereka tentang komitmen bahwa Toyota memiliki gagasan peningkatan daya saing melalui perampingan (lean) dan mengurangi pemborosan," ujar pihak Toyota, dikutip dari BBC.
Tak hanya itu, Toyota juga mengatur suhu pendingin ruangan atau AC, serta menggunakan lampu LED. Menurut pihak Toyota, hal itu dilakukan untuk membantu perusahaan tetap “ramping”. Terkait penggunaan lampu LED, pihak Toyota beralasan untuk membantu melestarikan lingkungan. "Sadar lingkungan selalu merupakan salah satu nilai penting dalam Toyota," kata juru bicara Toyota, dikutip dari BBC.
Efisiensi ini tetap dilakukan meski secara keseluruhan pada akhir Maret 2016, Toyota mencetak rekor penjualan sebesar 2,8 triliun yen atau 28 miliar dolar AS. Namun, keuntungan tahun ini diperkirakan turun karena yen meningkat tajam pasca referendum Brexit.
Saat ini, mata uang Jepang menempati level tertinggi dalam dua tahun terakhir, yakni sekitar 101 yen untuk satu dolar AS. Setelah terus menguat, nilai keuntungan Toyota dari luar negeri akan menurun ketika dikembalikan atau dikonversikan ke mata uang domestik. Ini artinya perusahaan harus tetap melakukan efisiensi agar keuntungannya tidak tergerus.
Bukan sekali ini saja Toyota melakukan kebijakan yang membuatnya tetap “ramping”. Hal yang sama pernah dilakukannya ketika dunia dilanda krisis finansial pada 2008 lalu.
Kebijakan “Ramping” Toyota
Ketika krisis finansial melanda dunia pada 2008, Toyota tak bisa berkelit. Seluruh perusahaan Toyota di luar negeri mengalami kesulitan finansial. Toyota melaporkan kerugian sebesar 436,94 miliar yen atau 4,3 miliar dolar AS (1 dolar=100 yen) selama krisis finansial terjadi. Kerugian itu merupakan yang terburuk sepanjang sejarah perusahaan tersebut yang didirikan pada tahun 1937.
Sesungguhnya, sejak tahun 2005 Toyota telah mencanangkan strategi penghematan yang dinamakan VI (Value and Innovation). Salah satu bentuk strategi VI adalah penghematan dalam pengurangan biaya modul komponen dan sistem. Kedua bagian tersebut mampu memperkecil pengeluaran perusahaan hingga puluhan ribu dolar AS.
Toyota juga memiliki skenario program penghematan yang diklaim mampu meningkatkan efisiensi lebih cepat dan besar. Skenario tersebut dinamakan CCC21 (Construction of Cost Competitiveness in the 21st Century). Program ini menargetkan penghematan hingga 9 miliar dolar AS dalam 5 tahun.
Memperkecil biaya produksi menjadi bagian yang krusial saat harga komoditi menanjak naik. Dalam menghadapi krisis, Toyota memfokuskan diri pada pengurangan beban pada semua kategori pengeluaran, termasuk pada biaya pemasaran, produksi, dan untuk proyek-proyek baru.
Selain itu, Toyota juga mengurangi jam kerja karyawannya sehingga pengeluaran Toyota dalam mengupah karyawan pun akan menurun disesuaikan dengan jam kerja. Hal ini dianggap lebih baik daripada memangkas jumlah karyawannya. Sekitar 14 afiliasi manufaktur diluar Jepang (sekitar 40 persen dari total) diimplementasikan work sharing bagi lebih dari 30.000 orang karyawannya.
Di Inggris, Toyota memangkas jam kerja dan gaji karyawan mereka hingga 10 persen. Langkah itu ditempuh dalam upaya mempertahankan kelangsungan perusahaan dan menghindari kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
“Kebijakan tersebut berlaku mulai 1 April 2009 hingga akhir tahun,” kata Wakil Presiden Toyota untuk kawasan Eropa, Graham Smith, dikutip dari Tempo. Toyota mempekerjakan sedikitnya 4.500 pegawai di pabrik yang tersebar Burnaston, Derby, Deeside, dan Flintshire.
Recall yang Merusak Reputasi Toyota
Tidak hanya dihantam krisis global, perusahaan raksasa itu juga harus menarik (recall) 8 jenis mobil yang diperkirakan mencapai 8,5 juta mobil di seluruh dunia yang bernilai sekitar 180 miliar yen. JP Morgan memperkirakan biayanya mencapai 500 miliar yen atau 5 miliar dolar AS, dikutip dari The Wall Street Journal.
Penarikan kendaraan ini disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian karpet lantai Toyota, pedal rem dan hybrid braking yang berpotensi menyebabkan kecelakaan pada penggunanya. Pemerintah AS menyatakan, terdapat 100 laporan kejadian yang terkait dengan kerusakan. Sehingga menghasilkan 17 kecelakaan dan menelan lima korban jiwa. "Ini merupakan masalah yang mendesak," jelas Sekretaris Departemen Transportasi AS Ray LaHood, seperti dikutip Reuters.
Penarikan mobil Toyota pada tahun September 2009 - Februari 2010 adalah yang terbesar, dan tidak pernah dialami sebelumnya. Krisis tersebut tentunya mengancam citra brand Toyota. TrueCar.com, situs terkenal bagi para konsumen untuk membandingkan jenis-jenis mobil, menyatakan bahwa minat untuk membeli Toyota turun 12 persen di Januari 2010.
Untuk mengatasinya, Toyota melakukan sejumlah usaha pemasaran untuk menarik hati konsumen dan calon konsumen. Konsumen yang memiliki mobil Toyota dan akan membeli mobil Toyota lainnya akan mendapat dua tahun bebas perawatan. Konsumen baru yang membeli mobil yang terkena penarikan (Corolla, Camry dan Avalon) mendapat 0 persen financing dan biaya leasing yang murah.
Krisis perusahaan otomotif Jepang itu juga menjadi sorotan harian Perancis Le Monde. "Masalah Toyota seperti halnya proses kebangkrutan maskapai penerbangan Japan Airlines adalah tanda-tanda kelemahan ekonomi Jepang dan keraguan beralasan yang mengguncang negara itu.”
“Dalam 20 tahun status Jepang dari bangsa yang hiperdinamis merosot ke negara yang menua, menimbulkan rasa takut pada dirinya sendiri. Tapi orang tidak boleh terlalu cepat menarik kesimpulan. Meskipun menghadapi kesulitan, Jepang tetap memimpin dalam berbagai bidang teknologi, seperti dalam teknologi lingkungan dan robot. Namun meskipun krisis saat ini tidak harus berarti runtuhnya perusahaan-perusahaan bergengsi dalam perindustrian Jepang, hal ini menunjukkan perlunya perubahan yang mendalam," seperti dikutip dari Deutsche Welle.
Perubahan pun dilakukan Toyota dengan mulai memperhatikan kualitas keamanan. Toyota segera memperbarui kinerja strategis perusahaan. Sempat ditemukan kesalahan teknis tombol jendela pada 2012 yang mengakibatkan kembali ditariknya sekitar 7 juta unit kendaraan di seluruh dunia. Namun, Toyota kembali menunjukkan titik baliknya dengan tetap menjadi perusahaan dengan penjualan mobil terbesar di dunia. Toyota berhasil meraup laba pada sebesar 2,8 triliun yen atau 28 miliar dolar AS tahun fiskal 2016.
Pelajaran Berharga dari Toyota
Bagaimana Toyota terus bertahan meski dihantam krisis berkali-kali? President Toyota Motor Akio Toyoda selalu teringat imbauan Steve Jobs tahun 2005 : "stay hungry, stay foolish" (Tetaplah merasa lapar. Tetaplah merasa bodoh). Kalimat tersebut bagi Toyoda adalah ajakan agar terus menciptakan sesuatu yang lebih baik.
Sejak memimpin Toyota pada Juni 2009, cucu pendiri Toyota itu sudah menghadapi banyak tantangan. Jeffrey K. Liker dan Timothy N. Ogden dalam bukunya Toyota under Fire: Lessons for Turning Crisis into Opportunity mengungkapkan, resesi dan krisis yang terjadi pada raksasa otomotif itu telah memberi pelajaran berharga dalam bertahan bahkan berkembang dalam krisis.
Liker dan Ogden menyebutkan kesuksesan Toyota tidak terlepas dari respons krisis yang dimulai dengan membangun budaya yang kuat, jauh sebelum diterpa krisis. Budaya itu penting melebihi keputusan yang dibuat oleh eksekutif; serta melakukan investasi pada manusia bahkan dalam keadaan krisis, adalah keputusan yang berdampak menguntungkan dalam jangka panjang.
Hal itu terkait dengan penerapan model strategi Toyota, yang tidak terlepas dari keunikan manajemen perusahaan yang dikenal dengan The Toyota Way. The Toyota Way memiliki dua pilar yakni menghormati orang lain dan perbaikan terus menerus. Hal itu terlihat saat melakukan efisienasi, Toyota tetap memperhatikan nasib karyawannya dan terus berusaha melakukan perbaikan pada setiap sektor.
Sebelumnya, James P. Womack dan kawan-kawan dalam bukunya The Machine that Changed the World: The Story of Lean Production, Toyota's Secret Weapon in the Global Car Wars That Is Now Revolutionizing World Industry menyebutkan bahwa lean atau ramping adalah cara untuk menggambarkan paradigma baru manufaktur yang telah dikembangkan oleh Toyota yang membuat perusahaan mampu melakukan banyak hal dalam keterbatasan (doing more with less). Ini kemudian dibuktikan Toyota saat mampu keluar dari krisis dan kembali memimpin industri otomotif dunia.
Lalu apakah kebijakan ini juga akan membantu Toyota menghadapi ancaman menurunnya keuntungan perusahaan karena melonjaknya mata uang yen pasca referendum Brexit? Kita lihat saja nanti.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti