tirto.id - Entah berapa banyak pekerja hiburan malam di Jakarta yang kehidupannya terancam akibat COVID-19. Empat bulan lebih mereka menganggur, sebagai dampak dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Keresahan mereka akhirnya memuncak. 400an pekerja hiburan malam yang tergabung ke dalam Aliansi Karyawan Hiburan Bersatu menggelar unjuk rasa di depan Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa (21/7/2020) pukul 09.00. Mereka hanya menuntut satu hal ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kata Ghea Hermansyah, penanggung jawab aksi: "Segera membuka kembali tempat usaha hiburan."
Keresahan mereka semua dicurahkan melalui tinta yang dituliskan di bentangan spanduk dan karton.
"Kami sudah sering lapar, Pak Anies. Tolong, buka usaha, kami butuh makan," tulis salah satu pekerja hiburan.
Ada pula yang menuliskan jika bantuan sosial yang diberikan Pemprov DKI tak cukup. "Hidup bukan cuma sembako, kami harus kerja." Demonstran lain meminta agar pemerintah dan publik tidak "berprasangka buruk terhadap tempat kami bekerja."
Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) DKI Hana Suryani mengatakan ada puluhan ribu pekerja yang terdampak dari kebijakan ini.
Selain itu, ia juga menegaskan nasib pengusaha sama buruknya. Para pengusaha merugi, tak mampu membayar sewa gedung, hingga ada yang harus gulung tikar alias bangkrut. "Usaha hiburan juga sudah mengeluh kelaparan," kata Hana melalui keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).
Jika para pekerja berdemonstrasi, para pengusaha punya akses lebih banyak. Pada 15 Juni lalu Asphija sempat menggelar pertemuan dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI, meski belum juga menemukan titik terang.
Ia lantas membandingkan sikap pemprov terhadap pengusaha restoran yang diizinkan beroperasi--dengan sejumlah ketentuan. Padahal, dia mengaku pengusaha hiburan telah menyiapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus.
"Di mana keadilan buat kami? Kami hanya disuguhkan dengan kepanikan dan kecemasan. Justru ini yang membuat kami tidak sehat," katanya. "Jangan lupa, kelaparan bisa menyebabkan kematian."
Dalam pertemuan itu, anggota Asphija, Deni, meminta pemprov sementara waktu ini mengizinkan tempat hiburan beroperasi kembali dengan protokol kesehatan. "Apabila tidak bisa menjalankan, baru ditutup," kata dia.
Anggota lain, Erwin, mengatakan sebenarnya selama ini ada saja tempat hiburan malam yang "kucing-kucingan"--diam-diam buka.
Faktanya memang demikian. Hingga Senin (20/7/2020) kemarin, Pemrpov DKI telah memberikan sanksi kepada 53 tempat hiburan malam seperti diskotek dan tempat karaoke yang beroperasi diam-diam. Delapan tempat usaha dikenakan sanksi tertulis, 17 didenda maksimal Rp25 juta, dan 28 disegel. Pemprov DKI mengantongi uang sebesar Rp156,5 juta dari denda itu.
Dasar pengenaan sanksi adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2020.
Oleh karenanya Erwin meminta pemprov mengizinkan saja tempat hiburan malam kembali beroperasi. Sebab, katanya, "Corona memang mematikan. Kalau kami pengusaha dan karyawan di rumah, bisa mati, karena tidak ada penghasilan."
Risiko Penyebaran COVID-19 Besar
Pemprov DKI tentu punya alasan belum memberikan izin tempat hiburan malam dibuka. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Cucu Ahmad Kurnia mengatakan "karena risiko penyebaran COVID-19 di tempat hiburan besar."
Cucu menyarankan agar Asphija mencoba meyakinkan Gugus Tugas COVID-19 DKI jika protokol kesehatan yang telah mereka buat aman. "Itu keputusannya di gugus tugas. Mereka yang menentukan tutup atau bukanya [tempat hiburan]."
Hal serupa dikatakan Wakil Ketua DPRD DKI Zita Anjani. Sebab umumnya tempat tersebut tertutup. Riset terakhir menunjukkan bahwa virus Corona bisa bertahan lama di udara apalagi di tempat yang sirkulasi udaranya tak terlalu baik. Selain itu, di tempat ini juga prinsip jaga jarak sulit diterapkan.
"Apalagi terapis [pekerja panti pijat], jarak orang terlalu dekat di ruangan yang terbatas," kata dia melalui keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).
Politikus dari PAN itu meminta agar Pemprov DKI tidak berubah pikiran. Sebab, "kalau ada kelompok yang memaksa kehendaknya dan dituruti, pasti akan ada kelompok lain yang menuntut haknya juga."
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri