Menuju konten utama

Pegiat Film Berbeda Pendapat Soal Revisi Film G30S PKI

Zaenal mengatakan, tiga aktor yang tidak boleh dilupakan dalam remake film Penumpasan Penghianatan G30S PKI, yaitu: Militer, keluarga dari aktor utama PKI, dan rakyat yang menjadi korban tsunami politik ini.

Sejumlah warga dan anak-anak menonton bersama film G30S/PKI di Taman Graha Mall Cijantung, Jakarta Timur, Sabtu (23/9/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan agar film Penumpasan Penghianatan G30S PKI dibuat versi baru menuai polemik. Sejumlah pegiat film sendiri berbeda pendapat soal remake film yang disutradarai almarhum Arifin C Noer itu.

Mantan Panitia Tetap Festival Film Indonesia (FFI) Zaenal Bintang mempertanyakan prihal seberapa perlu film tersebut diproduksi ulang. “Kenapa enggak kita buat berbagai versi? Kenapa harus revisi? Boleh dong kita buat film baru,” kata Zaenal dalam acara 'Perspektif Indonesia' yang diselenggarakan Populi Center, di Gado-Gado Boplo Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9/2017).

Saat ditanya pendapatnya perihal film versi baru Pengkhianatan G30S PKI oleh moderator diskusi Ichan Loulembah, Zaenal malah balik tanya. “Memang benar itu perlu dibuat ulang? Dasarnya apa? Sebaiknya dibuat survei biar ada dasar legitimasinya.”

Zaenal mengatakan, peristiwa yang terjadi pada 1965 adalah luka bangsa yang sangat masif. Ia menilai, penyelesaiannya adalah setiap orang menulis sejarah atau mengutarakan versi masing-masing. Namun, hal itu dinilai tidak akan mudah dilakukan.

“Menurut saya silakan saja buat film versi baru, film yang menurut Anda benar soal sejarah ini. Tapi ingat tiga aktor yang tidak boleh dilupakan: pihak militer atau TNI yang terbunuh, keluarga dari aktor utama PKI, dan rakyat yang menjadi korban tsunami politik ini. Dan yang penting jangan buat konflik ideologi,” kata dia.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Guru Besar Ilmu Politik, Salim Haji Said turut memberi komentar prihal pentingnya aspek kesiapan masyarakat dalam menerima film itu. “Banyak cara buat film, enggak perlulah kita ribut-ribut. Buat saja versi peristiwa ‘65 yang menurut kalian benar. Asal dipertimbangkan aspek kesiapan masyarakat menerima,” kata dia.

Prihal pengepungan oleh massa yang terjadi di LBH pada Minggu (17/9/2017) pekan lalu, Salim mengatakan bahwa kejadian itu menandakan ada ruang di masyarakat yang belum selesai dengan peristiwa G30S yang terjadi 52 tahun silam.

“Film kan tidak hanya ditentukan oleh sensor. Tapi publik juga turut menentukan. Jadi tolong dipertimbangkan kesiapan masyarakat dalam menerima film yang akan dibuat,” kata Salim.

Sementara, Jajang C. Noer, istri almarhum Arifin C Noer yang menyutradarai film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini justru dengan santai mengungkapkan bahwa dirinya setuju dengan usulan Presiden Jokowi untuk membuat ulang film tersebut.

“Kalau film baru Pengkhianatan G30S itu sungguhan terjadi, saya akan terbebas. Tidak ada lagi yang mempermasalahkan Mas Arifin. Tinggalah film Mas Arifin sebagai sebuah karya seni. Secara teknis, filmnya pasti nanti jadi lebih bagus. Apalagi bagian properti, itu akan jadi tantangan tersendiri,” tutur Jajang.

Jajang menambahkan, dengan data-data sejarah yang telah banyak bermunculan saat ini, pembuatan film baru Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini—jika memang benar akan dibuat, bisa menambah referensi film sejarah di Indonesia. “Itu pasti akan lebih bagus,” ujarnya.

Namun Jajang membantah jika film garapan suaminya itu disebut-sebut sebagai karya penuh intervensi. “Tidak ada intervensi. Mas Arifin membuat film tidak suka diatur-atur. Memang benar ada tentara di sekitar kami saat membuat film. Mereka hanya bantu mengamankan kami sekaligus jadi konsultan perihal akting TNI. Itu saja,” ungkap Jajang.

Baca juga artikel terkait FILM G30SPKI atau tulisan lainnya dari Diana Pramesti

tirto.id - Film
Reporter: Diana Pramesti
Penulis: Diana Pramesti
Editor: Abdul Aziz