Menuju konten utama

PDIP & Dugaan Kasus Suap, Perlukah Jerat Parpol di Kasus Korupsi?

Kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020 disebut-sebut terkait dengan PDIP. Transaksi haram, kata terdakwa, terjadi di kantor DPP PDIP.

PDIP & Dugaan Kasus Suap, Perlukah Jerat Parpol di Kasus Korupsi?
Pekerja membersihkan kaca Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (5/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disebut-sebut dalam persidangan kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (5/9/2018) lalu.

Nama PDIP muncul saat Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah menyampaikan keterangan di muka persidangan. Hasmun adalah terdakwa dalam kasus dugaan suap itu.

Saat memberi keterangan, Hasmun menyebut pernah mengantarkan uang Rp5 miliar ke Kantor DPP PDIP. Dana itu dibawa dalam pecahan dolar AS bersama Fatmawati Faqih, eks Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari. Dana yang dibawa Hasmun ditengarai untuk kepentingan parpol-parpol pendukung Asrun di pilkada Sulawesi Tenggara (Sultra).

Asrun merupakan eks Wali Kota Kendari. Ia sudah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama putranya Adriatma Dwi Putra.

Berdasarkan pengakuan Hasmun, uang itu dibawanya langsung ke kantor DPP PDIP. Saat ada di salah satu ruangan, Hasmun menyerahkan uang tersebut ke seorang perempuan. Uang itu, ujarnya, langsung dibawa ke ruangan lain yang berisi brankas.

Kesaksian Hasmun ditanggapi PDIP. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut partainya tidak pernah menerima uang yang dimaksud.

"Kami pastikan bahwa hal tersebut tidak benar [...] Di dalam pola pemenangan gotong royong, kami atur adanya dana dari pasangan calon. Tetapi apa yang disampaikan di pengadilan saya nyatakan tidak benar," ujar Hasto di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (7/9/2018).

Menurut Hasto, PDIP memang kerap menerima bantuan dana untuk kepentingan pencalonan di pilkada atau pemilu nasional. Namun, dana bantuan itu berasal dari kader atau kandidat yang dipastikan keabsahannya.

Hasto mengatakan partainya memang mengizinkan sumbangan dari kandidat untuk kepentingan pemenangan pemilu atau pilkada. Sumbangan dari kandidat itu kerap dilakukan saat pilkada atau pemilu, seperti ketika Jokowi maju di pilpres 2014 atau saat Tri Rismaharini ikut pilkada Surabaya.

"Dalam peraturan partai kami diatur, pasangan calon boleh membantu di dalam pemenangan [...] Itu hal biasa dalam semangat gotong royong. Tapi kami tidak menerima dana-dana ilegal," kata Hasto.

Pengusutan Harus Diperkuat

Kesaksian Hasrun yang menyeret PDIP dianggap sama dengan kasus yang menimpa eks Menteri Sosial Idrus Marham pada kasus dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Riau I. Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Reza Syawawi mengatakan kesamaan muncul karena kedua kasus itu mengindikasikan adanya keterlibatan dari parpol dalam kasus korupsi.

Reza berkata, keterangan Hasrun harus diperkuat dengan bukti-bukti lain. Ia menganggap modus suap yang dilakukan Hasrun sebagai hal biasa, namun perkara itu menjadi menarik karena keberadaan parpol di dalamnya.

"Yang menarik sebetulnya soal posisi parpol. Berdasarkan keterangan, itu dilakukan di kantor parpol. Ada indikasi/dugaan: jangan-jangan parpol ikut 'merestui' terjadinya suap," ujar Reza kepada Tirto.

Menurut Reza, indikasi keterlibatan parpol dalam kasus korupsi jamak ditemukan dalam semua perkara rasuah yang melibatkan kepala daerah atau anggota DPR/DPRD. Namun, belum ada satu pun bukti keterlibatan parpol dari beragam kasus korupsi itu.

"Padahal secara hukum bisa diusut. Pasal 20 UU Tipikor bisa diterapkan jika tindak pidana itu bisa dibuktikan dilakukan atas dasar kepentingan parpol, apalagi parpol ikut menikmati hasil korupsi," kata Reza.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menganggap KPK harus mulai berani menindak parpol yang diduga terlibat kasus suap atau korupsi. Menurut Zaenur, selama ini ada potensi kasus lain yang diduga melibatkan parpol, akan tetapi KPK tak pernah mengusutnya.

"Misalnya kasus korupsi Muhammad Nazaruddin atau Anas Urbaningrum yang berkaitan dengan Partai Demokrat. Atau terakhir kasus Idrus [Marham] yang diduga uangnya masuk ke Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Golkar. KPK sudah saatnya usut dugaan keterlibatan parpol," kata Zaenur kepada Tirto.

Zaenur menganggap KPK harusnya bisa menetapkan parpol sebagai tersangka, jika mereka terbukti terlibat korupsi. Ia memandang parpol sama seperti korporasi dalam pengertian UU Tipikor. Dalam Pasal 20 UU Tipikor, dijelaskan kalau jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

"Yang selama ini ditindak pengurus parpol selaku pribadi. Padahal dalam kasus-kasus itu diduga masuk ke parpol. Parpol menurut saya bisa [ditersangkakan] karena ia subjek hukum," kata Zaenur.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino