Menuju konten utama

PBB yang Tak Berdaya Soal Suriah

Dalam konflik di Suriah, dukungan penuh Rusia pada Assad dan sikap setengah-setengah negara koalisi Barat membuat PBB gamang. Berharap PBB menyelesaikan konflik adalah keniscayaan. Alhasil, menghadapi rezim pemerintahan Bashar Al Assad yang keji, rakyat Suriah akan terus berjuang sendirian.

PBB yang Tak Berdaya Soal Suriah
Pejuang Kurdi dari Unit Perlindungan Rakyat (YPG) menembakkan senjatanya ke arah patung Bassel al-Assad, saudara lelaki Presiden Suriah Bashar al-Assad. di wilayah Ghwairan, Hasaka, Suriah. [ANTARA FOTO/REUTERS/Rodi Said]

tirto.id - Menyimpulkan konflik di Suriah sebagai friksi sektarian Syiah melawan Sunni adalah kenaifan. Sengkarut siapa lawan, siapa kawan pada konflik ini tidaklah semudah mengurai benang kusut, akibat begitu banyaknya pihak yang berkepentingan. Di Suriah kini tidak ada yang benar, tidak ada yang salah. Karena kebenaran itu tergantung dari perspektif masing-masing kubu yang berseteru.

Namun, jika merujuk siapakah pembunuh paling keji di Suriah? maka kita akan mendapatkan jawabannya. Hal pelik meski diakui bahwa pelaku kekejian paling besar di sana bukanlah dari kelompok-kelompok pemberontak, entah itu milisi sekuler yang dipimpin Tentara Pembebasan Suriah (FSA), kelompok militan islam dalam koalisi Jaysl Fath, tentara Kurdi ataupun ISIS.

Jagal tersadis yang menghabisi banyak rakyat Suriah adalah pemerintah mereka sendiri. Memang sudah jadi tabiat dalam peradaban manusia, dengan dalih untuk mempertahankan konstitusi dan eksistensi negara, pemerintah tak segan untuk menghabisi warga negaranya sendiri.

Data lembaga nirlaba independen Syirian Network for Human Right (SNHR) mencatat dalam kurun waktu 5 tahun pasca konflik meletus, terhitung Maret 2011 hingga Maret 2016 hampir 200 ribu orang sipil tewas akibat konflik. Dengan 94,6 persen atau 183.827 orang tewas di tangan pemerintah. Angka ini tentu amat timpang dengan korban sipil akibat kubu lain seperti FSA (1,5 persen), ISIS (1,13 persen), Al Nusra (0,18 persen).

Dari 183 ribu korban sipil itu 19.427 di antaranya adalah wanita dan 19.594 lagi anak-anak. Pembunuhan yang dilakukan rezim ini memang tanpa pandang bulu. Jika korban jiwa dikualifikasikan berdasarkan anak-anak, wanita, petugas media dan wartawan, maka kematian disebabkan tentara pemerintah selalu di atas 90 persen dibanding dengan kelompok lain.

Mayoritas korban tewas akibat serangan jet-jet tempur dan helikopter militer yang membombadir rumah-rumah sipil dengan bom cluster atau barrel. Data-data di atas tentu akan terus bertambah mengingat pemboman rezim Assad lewat jet-jet tempur dengan bantuan Rusia tetap intens dilakukan di wilayah yang dikuasai pemberontak seperti Allepo, Idlib, Hama dan beberapa kota lainnya.

Untuk meneror rakyatnya sendiri Assad tidak tanggung memakai senjata kimia. Kekejian Assad bisa terlihat dari serangan ke wilayah pemberontak di Ghouta, pinggiran Damaskus pada Agustus 2013. Serangan ini menewaskan 1.700 orang dalam sekejap. Sebuah pembelaan konyol diungkapkan pemerintahan Suriah bahwa serangan kimia ini dilakukan pihak pemberontak sendiri untuk menarik simpati dukungan dunia internasional pada mereka.

Åke Sellström pemimpin tim investigasi PBB menyebut alibi elakan Assad sebagai teori lelucon. Anehnya, PBB tidak bertindak apa-apa. Padahal tim independen itu sudah mendapatkan fakta bahwa Assad lah pelakunya. Jika mengacu pada protokol Jenewa 1925, Assad mestinya diseret ke pengadilan internasional dengan tuduhan kejahatan perang. Jangankan menyeret itu, memberi sangsi ke Suriah pun PBB tak sanggup.

Pasca insiden ini PBB hanya menerima proposal dari Rusia untuk meminta Suriah melepaskan senjata kimia dan ikut menandatangani Konvensi Senjata Kimia.

Negosiasi ini jadi alat cuci tangan Assad membersihkan darah Ghouta di tangannya. Ketidakberanian PBB disebabkan posisi Rusia dan Cina yang ada di belakang Assad. Saat PBB hendak memberikan sanksi, ancaman veto dari Rusia pun menanti.

Sudah hampir tiga tahun kejadian di Ghouta itu berlalu. Kabar menyakitkan datang bahwa Assad seolah tak jera membunuhi rakyat sipilnya dengan senjata kimia. Syrian Observatory For Human Rights melansir setidaknya sampai dari 2013 hingga Juli 2016 telah terjadi 30 serangan kimia oleh pemerintah.

Lagi-lagi melihat hal ini PBB hanya bisa tinggal diam. Sepanjang konflik Suriah terjadi dari 2011, PBB sama sekali tidak pernah memberikan sanksi pada rezim Assad. Sebanyak 12 sanksi yang diberikan PBB kebanyakan ditujukan pada kelompok pemberontak, khususnya Jabhat Al-Nusra dan ISIS.

Di saat PBB melunak, Amerika Serikat dan Uni Eropa kompak menggertak. Sampai sekarang sanksi kepada Suriah tetap berlaku.

Sanksi tersebut mencakup embargo minyak, pembatasan investasi tertentu, pembekuan aset Bank Sentral Suriah, pembatasan ekspor pada peralatan dan teknologi. Selain itu, lebih dari 200 warga Suriah dan 70 entitas juga dikenakan larangan perjalanan dan pembekuan aset. Di regional, Assad juga semakin terkucil saat negara-negara Liga Arab sepakat membekukan sementara keanggotaan Suriah.

Posisi PBB yang terhimpit dua kepentingan, Rusia dan AS mau tak mau memaksa mereka bersikap aman. Tapi serangan intens dengan senjata kimia yang dilakukan Assad pada bulan ini, di Suriah utara dan Aleppo timur membuat PBB kembali mencoba bersikap galak. Hasil investigasi tim independen PBB memang menemukan pelanggaran itu. AS, Perancis, Jerman, dan Inggris mendesak PBB agar segera memberikan sanksi.

"Sekarang tidak mungkin lagi menyangkal bahwa rezim Suriah telah berulang kali menggunakan klorin sebagai senjata melawan rakyatnya sendiri. Hal ini melanggar Konvensi Senjata Kimia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2118,” ucap Juru Bicara Gedung Putih, Ned Harga.

"Sangat penting bahwa kami para anggota Dewan Keamanan bersama-sama memastikan konsekuensi bagi mereka yang telah menggunakan senjata kimia di Suriah. Sangat penting agar aktor negara dan non-negara segera menghentikan penggunaan senjata kimia ini. Kami sangat mendesak semua negara mendukung agar kasus ditangani Dewan Keamanan secara cepat," kata Jubir AS di PBB, Samantha Power.

Kehendak sekutu ini kemungkinan besar akan dihentikan oleh Rusia dengan kekuatan hak veto-nya. Vitaly Churkin, Duta Besar Rusia Churkin meragukan laporan tim independen ini. Kata dia, laporan ini tidak bisa dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi kepada Suriah.

"Tidak ada yang bisa dijatuhi sanksi bila berdasarkan laporan tersebut. Laporan ini tidak menyebutkan nama, tidak ada spesifik, tidak ada sidik jari. Kita tahu bahwa klorin kemungkinan besar digunakan, tetapi tidak ada sidik jari Suriah di senjatanya,” kata Churkin.

Secara sikap PBB memang sejalan dengan koalisi barat. Beberapa kali Sekjen PBB, Ban Ki Moon mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Assad. Namun, kecaman itu tidak pernah dikonversi jadi kebijakan.

Hal mengejutkan datang saat media Inggris, The Guardian yang mengungkap adanya aliran dana belasan juta dolar Amerika Serikat (AS) dari PBB kepada pengusaha dan perusahaan yang merupakan keluarga dan kroni Presiden Suriah Bashar al-Assad. Bantuan dana itu diberikan dengan dalih program kemanusiaan. (lihat grafis)

Ada delapan poin temuan The Guardian itu. Poin pertama menemukan aliran dana sebesar $13 juta atau setara Rp172 miliar ke rezim Assad dengan konteks bantuan pertanian dan agrikultur. Point kedua sedikitnya ada $4 juta atau Rp53,1 miliar uang PBB yang mengalir ke perusahaan minyak milik pemerintah. Poin ketiga ada uang masuk senilai $700.000 atau Rp9,2 miliar kepada pebisnis yang juga sepupu Assad, Rami Makhlouf.

Dalam dokumen itu pada beberapa poin lainnya ditemukan adanya kerja sama PBB dengan 258 perusahaan milik warga Suriah yang merupakan jejaring Assad. Angka transaksi uang yang ditransfer berjumlah US$ 54 juta atau Rp 716 miliar.

Sebuah keironian lain datang saat ditemukan bahwa WHO dan Unicef berhubungan erat dengan lembaga-lembaga Assad. WHO misalnya telah menyetor dana lebih dari $5 juta atau setara Rp66,3 miliar untuk mendukung bank darah nasional Suriah.

Bank Darah ini jelas dikuasai Assad. Sebuah ironi muncul saat darah-darah ini didapat dari pendonor yang negaranya memboikot Suriah seperti AS dan Inggris. Dalam dokumen ini juga diketahui WHO tak berwenang menentukan darah-darah ini diberikan ke pihak yang membutuhkan atau malah ke militer.

Hal serupa dilakukan oleh Unicef yang telah memberikan dana sebesar $267,933 atau Rp3,5 miliar kepada Asosiasi Al-Bustan yang pemilik dan pengelolalnya adalah Rami Makhloud. Bantuan senilai $8,5 juta atau Rp112,8 miliar juga mengalir ke organisasi amal, Suriah Trust yang dipimpin oleh istri Assad, Asma.

Kasus ini membuat PBB kebakaran jenggot. Karena nama-nama individu dan perusahaan di Suriah ini masuk dalam list sanksi dari AS dan Uni Eropa.

Delapan lembaga PBB yang disebut inipun memberikan klarifikasi pembelaan. Inti pembelaan yang mereka lakukan adalah tanpa bekerja sama dengan Assad mereka tidak akan bisa beroperasi di Suriah. PBB enggan nasib mereka seperti LSM Mercy Corps yang ditendang Assad dari Suriah dua tahun silam.

Bekerja sama dengan Assad jadi masalah saat dia mengontrol penuh kepada siapakah bantuan-bantuan PBB ini harus diberikan. Dalam beberapa kasus Assad sering melarang konvoi bantuan ke daerah pemberontak, misalnya di Darraya, Allepo dan Idlib. Rezim ini pun melarang lembaga-lembaga PBB membeli obat-obatan di luar negeri, harus dibeli di Suriah.

Tindakan Assad ini tentu sudah kelewat batas. Di sisi lain, kita pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pada PBB. Pada ujungnya penyelesaian Suriah bukan ditentukan oleh internal Suriah itu sendiri, tetapi tergantung pada lobi-lobi antara Rusia, Amerika Serikat dan sekutunya. Sampai lobi-lobi itu mencapai kesepakatan, rakyat Suriah akan tetap sendirian menghadapi kekejian pemerintah Assad.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SURIAH atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani