tirto.id - Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didakwa menerima suap dari pengusaha Basuki Hariman dan Ng Fenny melalui Kamaludin untuk mempengaruhi putusan Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/ 2015 terkait uji materi atas UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"Terdakwa Patrialis Akbar sebagai hakim pada Mahkamah Konstitusi menerima hadiah berupa uang sejumlah 20 ribu dolar AS, 20 ribu dolar AS, 10 ribu dolar AS, biaya kegiatan di Royale Jakarta Golf Club sejumlah Rp4,043 juta, uang sejumlah 20 ribu dolar AS dan menerima janji berupa uang sejumlah Rp2 miliar dari Basuki Hariman dan Ng Fenny melalui Kamaludin," kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Lie Putra Setiawan saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (13/6/2017).
Basuki adalah "beneficial owner" (pemilik sebenarnya) dari perusahaan PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama dan CV Sumber Laut Perkasa sedangkan Ng Fenny adalah General Manager PT Impexindo Pratama, sedangkan Kamaludin adalah rekan main golf Patrialis yang juga Direktur PT Spektra Selaras Bumi.
Meski keduanya bukan menjadi orang yang mengajukan permohonan uji materi, Basuki dan Ng Fenny punya kepentingan agar memenangkan uji materi tersebut. Pasalnya, impor daging kerbau dari India akibat UU tersebut menyebabkan ketersediaan daging sapi dan kerbau lebih banyak dibanding permintaan serta harganya menjadi lebih murah dan menyebabkan Basuki sebagai importir merugi.
Basuki lalu meminta bantuan seorang pengusaha bernama Kamaludin yang punya teman dekat di MK yaitu Patrialis Akbar. Kamaludin lalu mempertemukan Patrialis, Basuki dan Ng Fenny di restoran d'Kevin milik anak Basuki.
Pertemuan sore itu dihadiri Basuki, Ng Fenny, Patrialis, Kamaludin, Zaky Faisal dan Rido Falah Akbar yaitu anak Patrialis. Di sana Patrialis mengaku bahwa uji materi itu belum dibahas sehingga Patrialis menyarankan agar Basuki mengirim surat agar Patrialis punya alasan meminta majelis hakim segera membahasnya.
Basuki lalu menelepon rekannya bernama Kuswandi dan menyampaikan bahwa ia baru bertemu dengan orang MK dan menyarankan agar para pemohon "judicial review" membuat permohonan kepada hakim MK agar segera mengeluarkan putusan. Kuswandi lalu meminta Thomas Sembiring menghubungi dan meminta para pemohon agar mengirim surat sebagaimana disarankan Patrialis.
Pada 22 September 2016, Kamaludin bertemu Basuki dan Ng Fenny di restoran Paul Pacific Place untuk menerima uang 20 ribu dolar AS.
"Selanjutnya Kamaludin menggunakan sebagian uang tersebut untuk membayar biaya hotel, golf dan makan bersama terdakwa, Ahmad Gozali dan Yunas (keduanya rekan Patrialis) di Batam sedangkan sisanya digunakan Kamaludin antara lain untuk membiayai kegiatan-kegiatan golf bersama terdakwa di Jakarta," tambah jaksa Lie.
Pertemuan selanjutnya terjadi pada 30 September 2016 di Royale Jakarta Golf Club dengan Patrialis menginfokan bahwa permohonan uji materi Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/ 2015 akan dikabulkan.
Pada 5 Oktober 2016 di Jakarta Golf Club Rawamangun, kembali dilakukan pertemuan antara Basuki, Kamaludin, Ahmad Gozali, dan Patrialis Akbar.
"Terdakwa menyerahkan satu bundel 'draft' putusan Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/ 2015 kepada Kamaludin yang amarnya mengabulkan permohonan pemohon uji materi, setelah itu terdakwa pergi meninggalkan tempat tersebut," tambah jaksa Lie.
Namun tidak lama, Patrialis menghubungi dan meminta agar Kamaludin memusnahkan draft putusan itu. Padahal draft putusan sudah berada di tangan Basuki sehingga Kamaludin menemui Basuki dan Ng Fenny di Plaza Indonesia untuk memusnahkan draft sesuai arahan Patrialis.
"Pada hari yang sama di restoran Paul Resto, Pacific Place, Basuki Hariman memberikan uang sejumlah 20 ribu dolar AS kepada Kamaludin sebagai imbalan Kamaludin telah membantu agar permohonan uji materi dikabulkan," jelas jaksa Lie.
Pada 7 Oktober 2016, Basuki, Ng Fenny dan Kamaludin mendatangi vila Patrialis dan membahas bisnis impor daging sapi. Patrialis pun diminta untuk mengabulkan uji materi itu, hanya Patrialis mengatakan bahwa majelis hakim ada 9 orang dan keputusan bersifat kolektif kolegial.
Pada 13 Oktober 2016 bertempat di restoran di Hotel Mandarin Oriental Jakarta, Basuki memberikan 10 ribu dolar AS kepada Kamaludin. Uang itu digunakan untuk biaya transportasi, akomodasi dan kegiatan golf Kamaludin, Patrialis Akbar, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan Ahmad Gozali di Batam dan Bintan, sedangkan sisanya digunakan Kamaludin untuk keperluan pribadinya.
"Pada pertemuan 19 Oktober 2016 di tempat parkir Jakarta Golf Club Rawamangun terdakwa menyarankan kepada Basuki agar melakukan pendekatan kepada dua hakim MK yaitu I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul," tambah jaksa Lie.
Hal itu karena Palguna dan Mananah awalnya berpendapat mengabulkan permohonan pemohon malah mempengaruhi hakim lain agar menolak permohonan.
Pertemuan dilanjutkan di restoran D'Kevin dimana Patrialis Akbar juga menyarankan Basuki membuat "surat kaleng" atau pengaduan dari masyarakat agar tim kode etik Mahkamah Konstitusi melakukan proses etik terhadap dua hakim tersebut, namun saran ini tidak disetujui oleh peserta yang hadir karena menurut mereka masih ada cara lain untuk melakukan pendekatan kepada hakim MK yang belum menyampaikan pendapat, yaitu Hakim Arief Hidayat dan Suhartoyo.
Setelah Patrialis pergi, Basuki megnatakan bahwa ia hanya punya kemampuan Rp2 miliar untuk mempengaruhi hakim yang belum menyatakan pendapat. Beberapa hari kemudian, Kamaludin menginformasikan kemampuan Basuki tersebut kepada Patrialis dan Patrialis mempersilakan Basuki untuk melakukan pendekatan kepada hakim lain yang berseberangan.
Pada 15 November 2016 di Jakarta Golf Club Rawamangun, Basuki kembali menemui Kamaludin dan Patrialis Akbar untuk menanyakan perkembangan uji materi yang dijawab oleh Patrialis bahwa banyak anggota hakim MK yang menolak uji materi, namun Patrialis Akbar akan menyampaikan "dissenting opinion" walaupun hanya seorang diri, untuk itu Basuki tetap memohon kepada Patrialis Akbar agar bisa membantu.
Pada 22 November 2016 di Jakarta Golf Club Rawamangun, Patrialis Akbar menanyakan kepada Kamaludin berkenan atau tidaknya Basuki dalam melakukan pendekatan kepada Hakim Suhartoyo menggunakan jasa Lukas (seorang pengacara yang dekat dengan Hakim Suhartoyo dan dikenal oleh Patrialis Akbar) atau menggunakan jasa Surya (saudara dari Patrialis Akbar), namun pada akhirnya Patrialis Akbar juga tidak berkenan jika Basuki menggunakan jasa Surya sedangkan Basuki tidak mau menggunakan jasa Lukas.
Pada pertemuan 22 Desember 2016 di restoran Penang Bistro, Patrialis mengungkapkan ada 2 hakim yang masih menolak yaitu I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul, tiga hakim yang setuju adalah Patrialis, Anwar Usman dan Wahiduddin Adams serta 2 hakim belum menyampaikan pendapat yaitu Suhartoyo dan Ketua MK Arief Hidayat. Kamaludin saat itu pun meminta uang untuk dirinya berlibur dan Patrialis yang akan umrah.
Uang sebesar 20 ribu dolar AS itu diserahkan pada 23 Desember 2016 oleh Darsono (supir) kepada Kamaludin di area parkir Plaza Buaran. Kamaludin lalu mengantarkan uang itu ke rumah Patrialis lalu memberikan setengah uang itu yaitu sejumlah 10 ribu dolar AS agar dapat dipergunakan untuk keperluan umrah. Adapun sisa uang sejumlah 10 ribu dolar AS digunakan Kamaludin untuk keperluan pribadinya.
Pada 19 Januari 2017, Patrialis Akbar menelepon Kamaludin dan memintanya datang ke kantor MK. Patrialis menyampaikan bahwa sudah ada draft putusan uji materi yang akan diajukan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) serta menunjukkan pendapatnya yang tertuang dalam draft putusan dan telah ditandai dengan stabilo warna biru. Atas izin Patrialis Akbar, Kamaludin kemudian mengambil gambar draft putusan tersebut menggunakan telepon genggamnya yang kemudian diperlihatkan kepada Basuki dan Ng Fenny.
Pada 23 Januari 2017 di Hotel Borobudur Jakarta, Kamaludin kembali bertemu dengan Patrialis Akbar. Patrialis Akbar menginformasikan kepada Kamaludin bahwa ia telah memperjuangkan putusan yang rencananya akan dibacakan dalam minggu itu.
"Terdakwa meminta Kamaludin agar menyampaikan hal tersebut kepada Basuki Hariman, yang dipahami oleh Kamaludin agar Basuki Hariman segera memberikan uang kepada terdakwa sejumlah Rp2 miliar yang telah Basuki persiapkan guna mempengaruhi pendapat para hakim dalam memutus Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/ 2015," tambah jaksa Lie.
Uang Rp2 miliar itu lalu ditukarkan menjadi dolar Singapura menjadi 200 ribu dolar Singapura. Basuki rencananya akan menyerahkan kepada Kamaludin pada 24 Januari 2017, namun saat bertemu, Kamaludin menginformasikan bahwa putusan kemungkinan ditunda lagi seminggu sesuai informasi Patrialis.
Basuki meminta agar uang sejumlah 200 ribu dolar Singapura disimpan oleh Kamaludin namun Kamaludin menolak, uang itu pun disimpan dulu oleh Basuki.
Atas perbuatan itu Patrialis dan Kamaludin didakwa pasal 12 huruf c atau pasal 11 jo pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal 12 huruf c adalah mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri