tirto.id - Pada Pemilu 1955, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) berbeda nasib. Masyumi memperoleh suara sebesar 20,59 persen dan berhasil menempatkan 112 wakilnya di parlemen. Sementara PSI hanya 1,99 persen suara dan memperoleh 5 kursi di parlemen.
Meski perolehan suara Masyum tinggi dan berada di peringkat dua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), tapi Masyumi tetap merasa rugi. Penyebabnya adalah karena raihan suara Nahdlatul Ulama (NU) pada pemilu tersebut juga tinggi.
Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2012: 199) angka kenaikan jumlah kursi Masyumi di parlemen kalah dibandingkan dengan NU yang sebelumnya bagian dari Masyumi. Kursi NU dari 8 menjadi 45 (naik 37 kursi), sementara Masyumi dari 44 menjadi 57 (bertambah 13 kursi).
Beberapa tahun setelah pemilu tersebut, di sejumlah daerah di Indonesia pergolakan kian bertambah. Pada 1958, di Sumatra dibentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinetnya terdapat orang-orang PSI dan Masyumi, di antaranya Sumitro Djojohadikusumo dari PSI yang jadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran, Sjafruddin Prawiranegara dari Masyumi selaku Menteri Keuangan merangkap Perdana Menteri. Tokoh Masyumi lainnya yang bergabung dengan PRRI adalah Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Keterlibatan orang-orang partai tersebut membuat Masyumi dan PSI terpojok. Meski demikian, Masyumi menolak mengecam kader-kadernya yang terlibat dalam PRRI.
“Keinginan Sukarno agar Masyumi mengecam Natsir dan PRRI telah ditolak oleh para tokoh Masyumi dengan alasan bukan kebiasaan Masyumi untuk mengecam siapapun,” tulis Hendra Gunawan dalam M. Natsir dan Darul Islam (2000:38). Hal ini kemudian membuat hubungan Sukarno dengan Masyumi memburuk.
Menggulung PRRI, Membubarkan Masyumi
Pemerintah RI tidak kesulitan dalam menggulung PRRI. Dalam hitungan bulan, gerakan ini dapat dipatahkan. Kekalahan PRRI ini tentu menjadi kabar buruk bagi para pendukungnya yang berada di Jawa. Selain itu, keterlibatan sejumlah tokoh Masyumi dalam PRRI juga menjadi noda yang sulit dihapuskan dalam partai tersebut.
Setahun setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin dengan dukungan Angkatan Darat, Sukarno bertindak keras terhadap partai-partai yang anggotanya menjadi bagian dari kabinet PRRI. Pada 21 Juli 1966, Presiden Sukarno memanggil para petinggi PSI dan Masyumi ke Istana Bogor. Dari PSI hadir Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan Murad. Sementara dari Masyumi hadir Prawoto Mangkusaswito dan Yunan Nasution.
Presiden Sukarno kala itu didampingi oleh tiga kepala staf angkatan, Jaksa Agung, Kepala Polisi dan, sejumlah pejabat lainnya. Setumpuk dokumen berisi pertanyaan-pertanyaan disodorkan kepada pimpinan dua partai yang sedang tertimpa masalah tersebut. Kedua partai itu diberi waktu satu minggu untuk menjawab.
PSI dan Masyumi memberikan jawaban pada pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, namun Sukarno tidak puas dengan jawaban-jawabannya. Maka kemudian muncul keputusan untuk membubarkan Masyumi dan PSI. Para petinggi Masyumi tentu berjuang agar partainya tetap ada. Prawoto dengan mengatasnamakan Masyumi mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta melalui Mr Mohammad Roem pada 9 Agustus 1960.
Pada hari kemerdekaan RI ke-15, 17 Agustus 1960, Masyumi dianggap bubar berdasarkan Keputusan Presiden nomor 200 tahun 1960 tanggal 17 Agustus 1960.
Pertimbangan pembubaran itu adalah: “[Masyumi] melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau Republik Persatuan Indonesia atau telah jelas memberikan bantuannya terhadap pemberontakan.”
Partai ini diberi waktu satu bulan untuk membubarkan diri atau menjadi partai terlarang. Setelah 27 hari, pimpinan Masyumi memilih taat kepada keputusan pemerintah dengan mengirimkan surat kepada presiden, dan menyatakan bahwa Masyumi bubar, termasuk bagian-bagiannya.
Meski demikian, Mr Roem tetap memperjuangkan Masyumi lewat jalur hukum. Karena Masyumi bubar, maka penggugat berganti memakai nama pribadi, yakni atas nama Prawoto Mangkusasmito. Ketika pengadilan negeri merasa tidak bisa menyidangkannya, maka perkara ini dibawa ke pengadilan tinggi.
Ketika proses hukum tengah berjalan, seperti dicatat Iin Nur Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968 (2002:113), Mohamad Roem ikut ditahan oleh pemerintah seperti para tokoh Masyumi dan PSI yang terlibat PRRI.
Editor: Irfan Teguh