tirto.id - Dalam masyarakat yang masih kelewat kental ditentukan oleh nilai-nilai patriarki, menjadi janda bukanlah perkara mudah. Berbagai stereotipe dan hambatan terpampang di hadapan perempuan-perempuan yang telah bercerai atau ditinggal mati suaminya. Salah satu bentuk paling ekstrem dari kehidupan sulit para janda bisa dilihat dari fragmen di bawah ini:
Pada 20 Desember 1847, Raja Gianyar meninggal dunia. Jenazah Raja Gianyar lantas dikremasi melalui serangkaian upacara ngaben yang mewah sekaligus sakral. Ia ditemani tiga janda selirnya yang ditandu dengan badi. Di sepanjang perjalanan menuju lokasi upacara, tiga selir berusia muda itu bersikap tenang. Mereka asyik merias wajahnya. Terdapat cermin di tangan kiri dan sisir di tangan kanan.
Setelah sampai di lokasi upacara ngaben, ketiga diposisikan di tempat yang lebih tinggi. Pada ketinggian yang telah diatur sedemikian rupa itu, di atas jilatan api yang panas, ketiganya berdiri dengan tenang. Satu per satu, tiga selir tersebut melangkah meniti papan yang dijulurkan ke tengah lidah api. Sembari memegang seekor burung dara, mereka menangkupkan tangan di atas kepalanya masing-masing.
Lalu, dengan langkah yang mantap, mereka meloncat ke bawah, menuju jilatan api yang berkobar-kobar, sementara burung-burung dara melesat ke udara, menyimbolkan ruh-ruh yang beterbangan.
Laporan pandangan mata di atas ditulis oleh Helms yang terbaca dari catatan berjudul “Pionering in the Far East and Journeys to California in 1849 and to White Sea in 1848″. Laporan tentang upacara pembakaran janda di Bali ini juga dibaca dalam "Journal a Tour Along the Coast of Java and Bali and with a Short Account of the Island of Bali Particularly Bali Baliling" (1830).
Dalam tradisi Hindu di India, upacara pembakaran diri para janda ini disebut "sati" (atau "sutte"). Praktik ini sudah lama dilarang di India, khususnya oleh rezim Inggris yang berkuasa di India. Pelarangan pertama kali dilakukan pada 1829 di bawah aturan Bengal Sati Regulation.
Di Bali, praktik ini terutama terjadi di lingkungan kerajaan. Gubernur Jenderal W. Roosebom (memerintah dari 1898-1904) begitu marah gara-gara tidak mampu mencegah sebuah pembakaran janda di Tabanan pada 1903. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, boleh jadi itu menjadi kasus pembakaran janda terakhir di Bali.
Roosebom sampai mengajukan pengunduran diri kepada Menteri Urusan Daerah Jajahan, tapi permohonan itu ditolak. Roosebom kemudian menekan para raja di Bali untuk berani menghapuskan tradisi ini. Pada 1905, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, para raja di Bali sepakat untuk sama-sama menghapuskan tradisi ini (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, 2008: hal 298).
Contoh ekstrem di atas tidak menutup kenyataan lain bahwa ada banyak praktik-praktik budaya yang sangat menyulitkan kehidupan para janda di bebagai teritori kebudayaan. Kesulitan itu dari mulai pembagian warisan yang tidak adil hingga berbagai stereotipe yang harus dihadapi para janda. Segalanya menjadi lebih sulit lagi jika sang janda sudah dikaruniai anak sehingga beban pun menjadi lebih berlipat lagi.
Stereotipe Janda dalam Kebudayaan Populer
"Nama saya Inem, pekerjaan babu."
Kalimat itu diucapkan oleh Doris Cellebaute, pemeran utama dalam film Inem Si Pelayan Seksi. Kalimat itu diucapkan dalam posisi duduk di lantai, dengan menggunakan bra hitam dan kain pendek yang dililitkan menutupi paha bagian atas, sekaligus menjadi adegan pembuka film besutan Nya Abbas Akup. Saat dirilis pada 1977, film ini masuk ke dalam kategori film terlaris I di Jakarta dengan jumlah penonton mencapai 371.369.
Meski film ini sarat dengan kritik sosial yang diungkapkan dengan cerdas, namun penggambaran sosok Inem, seorang janda muda dengan daya tarik seksual, juga terlalu kentara untuk diabaikan. Bahkan sensualitas Inem bisa dikatakan menjadi hal yang ditonjolkan dalam film ini.
Penggambaran sosok janda seperti Inem dalam media-media Indonesia ternyata tidak mengalami perubahan berarti meski sekarang sudah memasuki abad 21. Tengok saja sederetan film yang menggunakan kata "janda" sebagai judul. Misalnya: "Gara-gara Djanda Muda (1954), Si Janda Kembang ( 1973), Gara-gara Janda Kaya (1977), Sembilan Janda Genit (1977), Misteri Janda Kembang (1991), Kembalinya si Janda Kembang (1992), Kutunggu Jandamu (2008), Janda Kembang (2009), Darah Janda Kolong Wewe (2009), Pelukan Janda Hantu Gerondong (2011), dan Mati Muda di Pelukan Janda (2011).
Juduk-judul film yang menggunakan kata "janda", dari era 1950-an hingga saat ini, mayoritas memuat kesan yang terkait dengan sensualitas. Dari "janda kembang", "janda kaya", "janda muda" dan lainnya.
Imaji-imaji yang dibangun terhadap sosok janda yang ditampilkan dalam film Indonesia ini merupakan refleksi dari stereotipe yang melekat pada status janda itu sendiri. Penggoda, genit, perusak rumah tangga, adalah beberapa sifat yang diasosiasikan dengan status janda dan dilanggengkan oleh produk-produk budaya populer seperti lagu, film, buku, dan mitos-mitos tentang janda.
Citra ini tergambar lebih jelas lagi dalam poster-poster film tentang janda dari tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Pilihan visual dalam poster-poster film tersebut sangat biasa memampangkan sosok perempuan dengan pakaian seksi atau wajah menggoda.
Potret janda juga terekam dalam musik dangdut. Nicholas Herriman, pengajar kelas Antropologi Budaya dan Sosial di La Trobe University, mendeskripsikan konser dangdut dengan istilah "riot of fun" dengan seorang perempuan menarik berpakaian seksi menyanyikan lagu ratapan nasib seorang janda. Di saat bersamaan para penari laki-laki berjoget bersama penyanyi perempuan di panggung. Penampilan di panggung ini bertolak belakang dengan isi lagunya sendiri karena mengesankan janda sebagai sosok yang tak hanya mendambakan seks tetapi juga tersedia untuk itu.
Stigma yang melekat pada janda akibat pengaruh produk budaya populer turut diamini Radhita Millati. Dalam penelitiannya tentang Representasi Janda dalam Film Indonesia, ia menyimpulkan ada benang merah dari empat film tentang janda yang ia teliti dari kurun waktu 1970 hingga 2000 yaitu pencitraan janda sebagai warga kelas dua, makhluk yang lemah, perempuan murahan, perempuan penggoda, perusak rumah tangga orang dan stigma negatif lainnya.
Di Balik Stereotipe Kata "Janda"
Kata janda semestinya tidak lagi menjadi kata dengan konotasi negatif. Pasalnya eksistensi janda sudah lazim dalam kehidupan sehari-hari. Jika melihat rekam sejarah perceraian di Indonesia, pada 1950-an angka perceraian sempat mencapai 50 persen (O’Shaughnessy: 2009) dan mulai menurun drastis pada pertengahan 1970-an.
Sejak 2012 hingga 2015 angka perceraian selalu berada di atas 200 ribu per tahun. Pada 2014 mencapai puncaknya dengan total perceraian mencapai 380.230 kasus. Ini berarti setiap tahunnya ada 200 ribu lebih janda dan duda di Indonesia. Angka ini belum termasuk janda yang ditinggal mati oleh pasangannya.
Terminologi janda dan duda sebenarnya mengacu pada arti yang serupa, yaitu orang yang tidak bersuami/beristri lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati oleh suami/istrinya. Kendati demikian, dalam realitasnya status duda lebih bernilai positif dibandingkan status janda.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Justito Adiprasetio, perbedaan nilai dari kata "duda" dan "janda" bukan karena kata itu sendiri tapi dari latar belakang material kata itu. Hal ini karena adanya anggapan janda tidak memiliki nilai tawar lain selain tubuh dan seksualitasnya. Berbeda dengan duda yang dianggap punya nilai tawar lain berupa kemampuan untuk bekerja.
“Dalam budaya patriarki, ketika menikah perempuan biasanya bertopang pada laki-laki. Saat bercerai, perempuan tidak punya pegangan ekonomi, beda dengan laki-laki yang punya penghasilan,” ujar Justito kepada Tirto, (23/01/2017).
Ini juga diakui oleh dua narasumber yang dihubungi Tirto. Seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya, namanya Riska, ditemui Tirto di ruangan salah satu kantor LSM Lingkungan di Bandung pada Rabu (25/01/2017). Kepada Tirto, ia menceritakan tentang kehidupannya sebagai seorang janda. Ia berpisah dengan suaminya pada 2013 saat berusia 33 tahun.
Tidak mudah baginya untuk memutuskan bercerai. Sebelum memutuskan bercerai, ia memang sudah terlebih dahulu mengalami ditakut-takuti dengan status janda. Namun, ia mengaku tidak tahu atau tidak membayangkan kenyataan bahwa status janda sangat berpengaruh terhadap status sosial di masyarakat.
“Ibaratnya, perempuan yang dulunya punya status terhormat sebagai seorang istri, setelah cerai jadi kaum buangan paria, yang statusnya lebih rendah dari sudra,” tutur Riska.
Awalnya Riska berprofesi sebagai wartawan namun kemudian berhenti karena diminta oleh suaminya. Usai proses perceraian, ia mencoba merintis karier sebagai pengajar di salah satu universitas di Bandung. Pekerjaannya sebagai pengajar sekaligus aktivis mengharuskan Riska bertemu dengan banyak orang. Menyadari statusnya sebagai janda, Riska kerap menutupi cerita tentang area privatnya. Hal yang tidak mudah mengingat kultur Sunda di Jawa Barat memiliki kecenderungan mencampurkan antara ruang privat dengan ruang publik.
Misalnya saja ketika seorang pejabat publik bertanya tentang status Riska, apakah ia seorang perempuan belum menikah, sudah menikah, atau tidak lagi menikah. Pertanyaan ini merupakan pintu masuk yang nantinya menentukan sikap pejabat tersebut kepada Riska.
“Mungkin orang melihat saya galak, karena saya tidak terbuka dengan ruang privat saya. Tapi ini bentuk dari perlindungan diri saya. Saya tidak mau mengekspos status saya karena saya sadar efeknya tidak baik,” ujar Riska.
Ia juga berkaca pada nasib yang dialami oleh tetangga yang tinggal di area perkampungan pinggiran Bandung. Kebetulan rumah Riska berada di antara dua area, antara kompleks perumahan dan kampung padat penduduk. Ia merasakan adanya perbedaan cara pandang antara dua komunitas ini tentang sosok janda. Riska menceritakan pengalamannya ketika mendengar obrolan tentang tetangganya yang janda di area perkampungan.
Efek psikologis dari “obrolan warung” itu ternyata tidak sederhana. Ibu yang jadi bahan obrolan menarik diri dari pergaulan dan membatasi lingkaran sosialnya. Ketakutan terhadap reaksi masyarakat pada sosok janda juga membuat Riska tidak akan menjawab pertanyaan tentang area privatnya itu sampai kapan pun.
Berbeda dengan Riska, Mutia (53), seorang perempuan yang telah menyandang status janda sejak usia 40 tahun mengaku satu-satunya hal yang tidak menyenangkan yang ia alami ketika berstatus janda berkaitan dengan masalah administratif.
“Untuk birokrasi pemerintah atau instansi sering kali yang pertama ditanya nama dan pekerjaan suami, kesannya perempuan makhluk kedua di mata negara,” tutur Mutia kepada Tirto, Selasa (24/01/2017).
Sosoknya sebagai perempuan paruh baya kerap diidentikkan dengan perempuan yang memiliki suami. Karena itulah, ketika berada di area publik salah satu pertanyaan yang kerap ditanyakan orang adalah: “Bapak dinas di mana, Bu?”
Ia biasanya membalas pertanyaan tentang statusnya dengan guyonan, begitu juga ketika ada yang menjadikan statusnya sebagai bahan guyonan. Di sisi lain, Mutia tidak menampik kata janda merupakan momok yang menyeramkan bagi sebagian perempuan. Ia lalu bercerita tentang teman perempuannya yang mempertahankan rumah tangganya hanya karena takut dengan label janda.
“Ia sudah 16 tahun pisah rumah dengan suaminya, suaminya juga sudah menikah lagi. Mereka sama-sama punya pekerjaan yang bagus, tapi teman saya tidak berani bercerai karena takut dengan status janda,” ujar Mutia.
Orde Baru dan Peyorasi Kata "Janda"
Peyorasi kata janda menurut Justito Adiprasetio merupakan gejala dari sistem patriarki yang kuat di masyarakat. Meskipun ide tentang emansipasi sudah terlihat di Indonesia, tetapi pertarungan antara patriarki dengan emansipasi masih jauh dari kata selesai. Hal ini juga dikarenakan adanya upaya-upaya yang dilakukan pihak tertentu untuk menyumbat ide emansipasi.
“Diskursus emansipasi sempat dikebiri pada masa Orde Baru. Emansipasi baru masuk sebagai isu publik (secara serius) ketika ada Komnas Perempuan,” terangnya.
Menguatnya stigma negatif terhadap janda pada masa Orde Baru (1966-1998) juga diungkapkan oleh Lyn Parker (2016) saat melacak transformasi sosial kultural di Indonesia. Melalui pendidikan dan pengembangan ideologi tentang gender dan keluarga, pemerintahan Orde Baru berusaha mentransformasikan hubungan pernikahan dan perceraian. Pada masa ini pembentukan keluarga inti mendapat pujian dari pemerintah Orde Baru, sebaliknya perceraian dianggap melawan pemerintah.
Lebih buruknya lagi, perceraian dikaitkan dengan upaya pemecah belah serta bersifat kontradiktif terhadap pernikahan. Sikap yang diambil pemerintah pada saat itu menjadi penyebab kesulitan para perempuan ketika mengurus perceraian.
Faktanya, perempuan yang menjadi janda pun sangat bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarganya. Sama saja seperti duda, atau manusia lainnya yang bekerja. Hidup para janda yang bekerja untuk menghidupi keluarganya ini bahkan lebih sulit karena pandangan negatif yang stereotipikal itu tadi.
Data Susenas 2014 yang dikeluarkan BPS menunjukkan terdapat 14,84% rumah tangga di Indonesia yang dikepalai oleh perempuan. Tren keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS memperlihatkan bahwa sejak 1985 persentase rumah tangga yang dikepalai perempuan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata mencapai 0,1% per tahun.
Survei Sistim Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) yang dilaksanakan Sekretariat Nasional Pekka (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) di 111 desa di 17 propinsi yang menjadi wilayah kerja Pekka memperlihatkan bahwa dalam setiap empat keluarga, terdapat satu keluarga dikepalai oleh perempuan. Perempuan menjadi kepala keluarga karena berbagai sebab termasuk suami meninggal dunia, bercerai, ditinggal, tidak atau belum menikah, suami berpoligami, suami merantau, suami sakit permanen dan suami yang tidak bekerja.
Betapa sulitnya kehidupan perempuan yang menjadi kepala keluarga juga tercermin dalam survei yang sama yang dilakukan Pekka di atas. Survei menunjukkan hampir separuh (49 %) keluarga yang berada dalam kesejahteraan terendah adalah keluarga yang dikepalai perempuan. Situasi menjadi lebih sulit lagi karena perempuan yang menjadi kepala keluarga yang mengalami perceraian, masih menurut survei Pekka, 78% di antaranya pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Yang paling menyedihkan lagi, sudahlah mesti bekerja keras menghidupi keluarga, para janda ini sering tidak diakui sebagai kepala keluarga secara sosial. Masyarakat patriarki yang memandang bahwa seorang perempuan harus menikah dan bahwa di dalam pernikahan itu laki-laki adalah kepala keluarga, menyebabkan perempuan janda atau perempuan kepala keluarga nyaris tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi di desanya.
Mereka, misalnya, tidak diikutkan dalam program pengentasan dari kemiskinan dan tidak diajak dalam pertemuan desa menyangkut pengelolaan sumber daya desa (Sulistyowati Irianto [ed], Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, 2006; hal 542).
Sudahlah bekerja keras, masih juga dipandang sinis dan negatif, dan tidak diakui sebagai kepala keluarga pula! Inilah berlapis-lapis ketidakadilan yang dihadapi para janda.
Penulis: Fairuz Rana Ulfah
Editor: Zen RS