tirto.id - Panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) mengumumkan 104 nama capim yang lolos seleksi dalam uji kompetensi, Senin (23/7/2019). Di balik lolosnya ke-104 calon, publik tak pernah tahu soal nilai, penilai, serta makalah yang dibikin calon komisioner lembaga antikorupsi itu.
Uji kompetensi adalah tahap kedua dalam seleksi Capim KPK. Dalam uji tersebut, para peserta wajib menjawab soal serta bikin makalah. Makalah mereka kemudian dinilai tiga dari 12 penilai yang disediakan.
Jauh hari sebelum tes dilakukan, Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK yang kembali mendaftar menjadi capim KPK, mengaku sangat percaya diri bisa lolos. Bagi Alex, sapaannya, menyusun makalah adalah soal mudah. Ia juga menyebut membuat makalah bukan soal menguji pemahaman belaka, tapi juga jadi ajang “mengarang”.
"Ya, makalah itu, kan, juga mengarang bebas. Itu, kan, juga terkait pengalaman kami, apa yang kami alami. Dulu sebagai hakim, sekarang jadi komisioner. Hambatannya dan tantangannya seperti apa, dan apa idenya untuk pengembangan KPK ke depan, itu saja,” kata Alex di Pusdiklat Setneg, Jakarta Selatan, Kamis (18/7/2019) pekan lalu.
Keyakinan Alex terbukti. Ia bersama Laode Muhammad Syarif dan Basaria Panjaitan, dua komisioner lain yang juga mendaftar capim KPK, lolos ke tahap berikutnya.
Dalam uji tersebut, Pansel Capim KPK menerapkan penilaian 60% untuk uji kompetensi dan 40% untuk makalah. Mereka juga menetapkan passing grade atau angka kelulusan, tapi tidak secara rinci menjelaskan berapa nilai kelulusan itu. Yang jelas, Alex bisa lolos dengan “mengarang”.
Harkristuti Harkrisnowo, salah seorang anggota Pansel Capim KPK, mencoba menyakinkan publik bahwa seleksi makalah ini dilakukan dengan ketat. Makalah tersebut, kata Harkristuti, dibaca akademisi, praktisi, dan perwakilan ormas yang jumlahnya 12 orang.
“Dan setiap paper dibaca tiga orang. Sehingga kami bisa mendapatkan hasil yang fair,” kata Tuti, sapaan Harkristuti di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (22/7/2019) kemarin.
Tuti tak menyebut siapa saja para penilai ini. Pun demikian dengan Mualimin Abdi, anggota pansel lainnya. Mualimin hanya berkata para penilai berasal dari UI, UGM dan lain-lain. Alasannya sederhana: menjaga kerahasiaan penilaian karena penilaian bersifat sangat subjektif.
“Tapi pastinya orang-orang yang kredibel,” klaim Mualimin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (23/7/2019).
Dalih menjaga kerahasiaan juga menjadi penghalang makalah bisa diakses publik. Jika makalah diakses, kata Mualimin, takutnya menjadi polemik, apalagi isinya menyangkut pemikiran seseorang.
“Antara profesor satu profesor lain bisa beda,” kata pria yang juga menjabat Dirjen HAM di Kemenkumham ini.
Seleksi yang Ironis
Dalim Mualimin untuk menjaga kerahasiaan dan menghindari polemik dianggap tak berdasar. Kurnia Ramadhana, peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch justru menilai, akses terhadap makalah itu harus dibuka supaya gagasan calon komisioner KPK bisa diuji.
Masyarakat pun, kata Kurnia, nantinya bisa menilai mana calon yang punya kompetensi atau tidak. Ini karena makalah itu memuat pandangan capim tentang KPK dan visi-misi mereka.
“Masyarakat jadi bisa melihat kapabilitas capim KPK. Ini harusnya dibuka ke masyarakat,” kata Kurnia kepada reporter Tirto, Selasa pagi.
Pada sisi lain, Kurnia menyayangkan sikap pansel yang terkesan tak transparan dalam uji kompetensi ini. Ini menjadi ironis lantaran yang sedang diseleksi adalah calon pimpinan dari sebuah lembaga yang selalu mengampanyekan transparansi dan kejujuran.
Menurut alumnus FH USU ini transparansi tidak bisa dilihat berdasar tahap uji publik saja. Unsur ini seharusnya sudah dijalankan sejak awal tes. Kurnia merasa ada bahaya jika pemilihan bersifat tertutup. Bisa jadi ada capim yang lolos, tapi ternyata punya ide untuk melemahkan KPK.
“Persoalan transparansi itu salah satu poin penting yang harus dipikirkan pansel. Karena itu poin-poin memang harus dibuka,” kata Kurnia.
Menyoal kekhawatiran ada calon yang punya ide melemahkan KPK dalam makalahnya, Kurnia pun menyarankan Pansel Capim KPK membuka rekam jejak dan LHKPN para calon meski saat ini masih tahap uji kompetensi.
Ini menjadi penting lantaran sejumlah nama yang diduga punya masalah etik dan diduga pernah punya niat melemahkan KPK, lolos dalam seleksi tersebut.
“Jika ada yang pernah melakukan hal tersebut maka sudah sepantasnya Pansel tidak meloloskan figur tersebut. Menjadi hal mustahil pemberantasan korupsi akan berjalan objektif jika kelak figur bermasalah tersebut yang akan memimpin KPK,” kata Kurnia.
Apa yang disampaikan Kurnia, diamini Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Menurut Yudi, seleksi uji kompetensi masih meloloskan calon yang punya reputasi buruk.
Dia meminta Pansel Capim KPK yang diketuai Yenti Ganarasih, mempertimbangkan tak meloloskan calon yang punya rekam jejak bermasalah karena WP KPK sudah menyerahkan data mereka kepada pansel. Jangan sampai, kata Yudi, orang-orang itu lolos hanya karena faktor penjatahan.
“Harapan kami paling penting adalah semua calon harus mempunyai komitmen untuk menjadi independen ketika menjadi pimpinan KPK. Ketika mereka tidak independen maka mereka akan bisa dikendalikan profesi sebelumnya maupun instansi sebelumnya,” ucap Yudi kepada reporter Tirto.
Pembelaan Pansel
Hamdi Muluk, anggota Pansel Capim KPK, mengaku memahami desakan masyarakat soal transparansi dan rekam jejak ini. Namun, kata Guru Besar Psikologi UI ini, kedua hal itu ada bagiannya di tahap wawancara akhir dan uji publik.
"Setelah kami potong, nanti kami lakukan uji publik. Bersama dengan uji publik itu kami berharap laporan seluruh masyarakat tentang apa saja terkait orang itu masuk. Itu menjadi bagian menjadi pertimbangan kami untuk melakukan wawancara,” kata Hamdi di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Di tahap akhir, menurut Hamdi, pansel sudah punya calon yang sehat jasmani dan psikologi. Di sanalah baru rekam jejak akan diperhitungkan.
“Kami punya data track record, data laporan semua masyarakat itu nanti kami olah. Jadi jangan sekarang kami olahnya. Ini, kan, tahap awalnya menggugurkan. Baru setelah itu semua rekam jejak itu akan kami edarkan, jembrengkan di atas meja,” ucap Hamdi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih