tirto.id - Pemberitaan tentang TNI tiba-tiba saja meningkat secara signifikan, sesuatu yang jarang terjadi di era pasca-reformasi. Naiknya pemberitaan ini dimulai ketika ada razia buku oleh kodim setempa dan berlanjut ke rilis 60 jabatan baru perwira tinggi (pati), surplus jenderal (juga kolonel), rencana penempatan perwira dalam lembaga sipil, dan seterusnya.
Sebagaimana yang sudah-sudah, selalu ada kemudahan bila TNI sudah berkehendak. TNI seolah memiliki privilese yang tidak selalu dimiliki organisasi atau lembaga lain. Kemudahan yang didapat tak lain adalah efek dari peran historis TNI di masa lalu, khususnya dalam era Perang Kemerdekaan. Narasi peran historis tersebut terus dikelola sedemikian rupa sehingga masih terasa imbasnya sampai hari ini.
Misalnya saat Presiden Jokowi mengumumkan rencana pembentukan 60 pos baru strata pati, khususnya pada posisi Danrem (komandan korem) yang seluruhnya kelak akan diisi pati bintang satu. Sungguh kemewahan yang luar biasa mengingat keputusan itu diambil tanpa melalui kajian yang mendalam. Tak berlebihan bila dikatakan ada faktor politis di balik peningkatan status Korem.
Sebenarnya regulasi terkait penambahan pos pati tersebut sudah diterbitkan pertengahan 2016 lalu (Perpres No.62/2016). Bagian lampiran perpres tersebut salah satunya mengatur soal peningkatan pangkat Danrem. Namun, perpres tidak secara eksplisit mengatur kapan validasi kepangkatan itu mulai berlaku secara efektif.
Benar, kata kuncinya adalah momentum. Di tahun politik inilah momentum sengaja didorong untuk muncul.
Masyarakat Kurang Peduli
Satu hal yang menarik dari dinamika mutakhir TNI adalah ketiadaan keberatan publik secara umum. Memang ada sedikit catatan kritis dari kalangan intelektual dan aktivis HAM, namun intensitasnya terbilang rendah. Kelak perdebatan itu akan hilang pula dengan sendirinya, sebagaimana yang sudah-sudah.
Saya sendiri menduga tidak adanya keberatan dari masyarakat disebabkan beban hidup rakyat sendiri sudah semakin kompleks. Bagaimana mungkin rakyat memikirkan soal validasi satuan TNI atau soal adanya surplus jendral, sementara bertahan hidup saja sudah demikian beratnya. Problematika TNI sungguh di luar imajinasi rakyat kebanyakan.
Masyarakat memiliki prioritasnya sendiri. Wacana Korem bakal dipimpin seorang jenderal adalah urusan elite politik dan militer di Jakarta. Situasinya memang sedang kondusif: manuver TNI berlangsung di tengah apatisme masyarakat.
Apatisme itu tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang telah terbangun di mana aspirasi rakyat tidak pernah didengarkan terkait kebijakan dan kelembagaan TNI. Perubahan kebijakan dan kelembagaan TNI lebih banyak didorong oleh kepentingan para elite TNI sendiri.
Situasi ini terkadang membuat pimpinan TNI terlena. Walhasil, jika terjadi peristiwa skala besar seperti aksi kerusuhan masif Mei 1998, pimpinan TNI pun seolah mati angin. Mereka bingung mau berbuat apa. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa rakyat juga memiliki kekuatan yang dahsyat.
Kepentingan Jokowi
Validasi satuan TNI kali ini juga mengonfirmasi bahwa secara politis TNI (khususnya AD) masih kuat. Tidak ada lembaga negara lain yang sanggup mengontrolnya, termasuk Presiden selaku Panglima Tertinggi (Pangti).
Bagaimana kita harus membaca perkembangan mutakhir ini? Kita bisa melihat secara gamblang pertemuan dua kepentingan. Kepentingan pertama datang dari pihak Jokowi: ia sedang mencari simpati dari pihak mana saja (termasuk TNI) untuk melanjutkan kekuasaannya.
Kepentingan kedua dari pihak TNI sendiri. Selalu ada kebutuhan untuk menambah jabatan jenderalmengingat masalah laten berupa surplus kolonel,khususnya di matra darat. Kebetulan regulasi sudah tersedia sehingga kesan politis dari manuver ini sedikit berkurang.
Dalam hubungan dengan TNI, Jokowi acapkali dibandingkan dengan presiden sebelumnya (SBY) yang memang berasal dari tentara. Menilik latar belakangnya yang sipil, Jokowi dianggap tidak bisa mengontrol kalangan militer sepenuhnya. Fenomena ini terbaca oleh elite TNI, termasuk figur purnawirawan seperti Hendro Priyono dan Luhut B. Panjaitan. Mereka nampaknya menganggap melobi Jokowi lebih mudah ketimbang mendekati SBY.
Dalam soal validasi satuan misalnya, bahkan SBY yang berasal dari militer saja tidak melakukan tindakan sejauh itu. Sementara Jokowi yang sipil murni justru memberikan aneka kelonggaran.
Bila kita melihat kembali latar belakang sejarah, tentu ada alasan sendiri dari para pendiri TNI AD—seperti Nasution dan Ahmad Yani—mengapa untuk Danrem diberi pangkat kolonel. Lagi-lagi pangkat Danrem, termasuk juga komando teritorial lainnya, tidak ada bandingannya di negara lain—sebut saja US Army, yang menjadi model militer Indonesia selama ini.
Tak heran jika soal konsep kepangkatan bagi Danrem menjadi longgar, sehingga ada ruang bagi elite militer generasi sekarang untuk melakukan interpretasi. Begitulah yang terjadi sekarang. Kebetulan timing-nya juga tepat, yakni tahun politik, ketika Jokowi memerlukan dukungan dari mana saja, khususnya TNI AD.
Sebenarnya sikap Jokowi terhadap TNI sama sebangun dengan respons masyarakat terhadap TNI. Jokowi tidak mau banyak berbedat dengan pihak TNI (khususnya AD) dalam hal validasi satuan. Artinya, sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, Jokowi sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society movement yang umumnya bersikap kritis terhadap manuver pihak militer. Dengan sadar Jokowi memilih mengamankan kekuasaannya.
Jenderal sebagai Kelas Sosial
Tirto sudah pernah menulis laporan soal hasrat kuat dari sebagian besar kolonel untuk menjadi jenderal. Mengapa disebut sebagian besar? Karena masih ada lapisan tipis kolonel yang tidak terlalu berharap menjadi jenderal. Mereka ini adalah perwira yang tidak sempat mengikuti pendidikan setingkat Seskoad dan Sesko TNI karena berbagai alasan.
Kemudian mereka yang berasal dari korps non-tempur—seperti peralatan, keuangan, ajudan jenderal, perhubungan, dan bekang (perbekalan dan angkutan)—umumnya juga tidak terlalu berharap untuk masuk pos bintang satu. Karena pimpinan tertinggi pada dinas korps tersebut—seperti Dirpalad, Dirkuad, Dirbengkangad, dan seterusnya—hanya perwira bintang satu. Jadi untuk apa pula kolonel dari korps tersebut terlalu berharap menjadi jenderal.
Yang sedikit paham “dunia dalam” militer tentu sudah mahfum bahwa masuk dalam strata pati adalah ibarat fase baru dalam kehidupan manusia. Suasananya sulit digambarkan dengan kata-kata. Para perwira biasa menyebut beratnya perjuangan mencapai strata jenderal sebagai proses yang “berdarah-darah”.
Respons lingkungan juga ikut berubah ketika seseorang menjadi jenderal. Wajar bila sebagian (besar) kolonel ingin menjadi jenderal. Meski tidak terlalu tepat, metafora seseorang yang baru pulang dari Tanah Suci kiranya bisa menggambarkan bagaimana respons lingkungan terhadap orang yang baru saja masuk strata pati (brigjen).
Suasana seperti itu bisa terus berlangsung dari zaman ke zaman, karena masyarakat kita pada dasarnya masih feodal alias menggilai gelar atau atribut kehormatan dan memburunya sampai batas akhir.
Begitulah. Menjadi jenderal ibarat naik ke kasta tertinggi, sebagaimana bangsawan di era kerajaan dulu.
Seorang jenderal bintang tiga seperti Sutiyoso (Akmil 1968) pada suatu kesempatan pernah menyatakan kebanggaannya ketika memperoleh gelar kebangsawanan dari sebuah “istana” di Solo. Jika dinalar, kebanggaan Sutiyoso terlihat absurd mengingat istana di Solo tidak memiliki wilayah kekuasaan—beda dengan Istana di Yogya yang masih memiliki wilayah. Sementara Sutiyoso sendiri sudah pernah menjadi “penguasa” wilayah: Gubernur DKI, Pangdam Jaya, dan Danrem Bogor.
Gambaran paling aktual tentang imajinasi ‘jenderal-bangsawan’ ini bisa ditemukan pada figur Kol Inf (Purn) GBRM Suryo Sutedjo (Akmil 1981), yang kini menjabat patih atau setara “deputi” Sunan PB XIII dari Surakarta. Kolonel Suryo rela meninggalkan kariernya di militer dengan posisi terakhir sebagai Aspers Kodam III/Siliwangi demi mengejar karier di bidang lain, yaitu elite istana—meskipun sekadar simbol.
Pengalaman Kolonel Suryo hampir mirip dengan Mayor Inf (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY, lulusan terbaik Akmil 2000) yang juga mengajukan pensiun dini. Dalam pengamatan saya pribadi, terkait peluang menjadi jenderal, ada perbedaan alasan keduanya untuk pensiun dini.
Bila Kolonel Suryo memilih pensiun dini, persepsi pribadi bahwa kariernya di TNI tidak lagi prospektif bisa jadi pertimbangan. Sementara AHY, berdasarkan hitungan kasar, dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun terhitung sejak dia mundur (2017), bintang satu niscaya akan singgah di pundaknya—jika dia bersabar.
Namun kini semuanya sudah terjadi. AHY adalah contoh tragedi perwira muda dengan karier cemerlang.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.