Menuju konten utama

Panglima TNI Tegaskan Kesalahan Prosedur Kasus Dandim Lebak

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan pencopotan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0603 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah dari jabatannya karena memberi pelatihan Bela Negara yang melibatkan petinggi Front Pembela Islam (FPI) di kawasan Lebak tanpa prosedur yang ditetapkan.

Panglima TNI Tegaskan Kesalahan Prosedur Kasus Dandim Lebak
Sejumlah peserta mengibarkan bendera Merah Putih ketika mengikuti Apel Gelar Nasional Bela Negara Tahun 2016 di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (23/8). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

tirto.id - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan pencopotan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0603 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah dari jabatannya karena memberi pelatihan Bela Negara yang melibatkan petinggi Front Pembela Islam (FPI) di kawasan Lebak tanpa prosedur yang ditetapkan.

"Pencopotan Dandim Lebak murni karena kesalahan prosedur, yakni, Dandim harus melaporkan kepada pimpinan," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (11/1/2017).

Masih menurut Gatot, prosedur yang harus dilakukan adalah dari Koramil mendapatkan izin kepada atasannya Dandim, kemudian ke Danrem, namun, hal itu tidak dilakukannya.

Ia menyebutkan, pelatihan Bela Negara adalah hak semua warga negara. Menurut Gatot, tidak ada yang salah dengan keterlibatan ormas-ormas tertentu dalam pelatihan yang dicanangkan oleh Kementerian Pertahanan tersebut.

"Memang bela negara hak semua warga negara, tapi prosedur harus benar. Tidak nanti Koramil ajukan sendiri tanpa laporan. Karena ada kurikulumnya dan apa saja yang harus dicapai. Tidak sembarangan seperti itu," tegas Gatot.

Sebelumnya, latihan bela negara di bawah pimpinan Ubaidillah diikuti para santri yang berasal dari daerah Lebak. Salah satu pemimpin pondok pesantren yang mengikuti latihan itu adalah imam besar FPI di wilayah Lebak, termasuk beberapa orang anggota organisasi tersebut. Kabar mengenai latihan militer yang dilakukan TNI bersama FPI juga ramai diperbincangkan di media sosial.

Kepala Dinas Penerangan Kodam III Siliwangi Kolonel ARH M Desi Ariyanto mengatakan, latihan bela negara bukan baru kali ini dilakukan. Sebelumnya, pihaknya juga menggelar latihan tersebut, namun dilakukan sesuai prosedur dengan diketahui para pimpinan.

"Latihan bela negara macam-macam bentuknya, yang kemarin memberikan ceramah tentang hukum, wawasan kebangsaan, diselingi outbond, bukan latihan ala militer," kata Desi.

Program Bela Negara Harus Minim Materi Militer

Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding juga menyetujui bahwa materi program Bela Negara yang digagas pemerintah harus minim materi militer, melainkan lebih banyak mengandung materi sejarah perjuangan, konstitusi, persatuan, dan resolusi konflik.

"Syaratnya Diklat Bela Negara lebih menekankan kepada memahami Pancasila, kebhinekaan, dan pemahaman agama yang rahmatan lil alamin. Untuk itu, kesan militeristik pelatihan bela negara dengan berbagai atributnya harus diminimalisir," kata Karding di Jakarta, Rabu (11/1/2017).

Dia mengatakan idealnya 80 persen materi Diklat Bela Negara membuat sejarah perjuangan, konstitusi, persatuan, dan resolusi konflik dan sisanya penguatan disiplin dengan baris berbaris serta upacara.

Menurut dia, untuk mengembangkan semangat persatuan, Diklat seharusnya dilakukan dengan peserta yang beragam, tidak oleh satu kelompok ormas saja.

"Pelatihan Bela Negara terhadap FPI oleh TNI sebagai hal yang tidak perlu direaksi berlebihan karena bisa jadi materi cinta tanah air, toleransi dan disiplin yang disampaikan pada pelatihan, mengubah kelompok yang anti kemajemukan menjadi toleran," kata dia.

Dia mengatakan berdasarkan pengalamannya mengisi berbagai pelatihan Empat Pilar dari MPR, dia mencermati di beberapa tempat, memang terjadi pendangkalan pemahaman Pancasila.

Ketua FPKB di MPR itu, berharap pelatihan bela negara dapat meningkatkan penghayatan terhadap Pancasila sehingga semangat menjaga persatuan dan kebhinekaan di Indonesia terus terjaga.

"Namun program Bela Negara harus ditopang dengan landasan hukum yang jelas, karena bila tidak ada aturan yang gamblang hanya akan menimbulkan kontroversi," katanya, termasuk isu militerisasi melalui organisasi-organisasi paramiliter yang dapat membahayakan semangat demokrasi di Indonesia.

Karding menilai dengan regulasi yang jelas maka ukuran dan prasyarat juga akan menjadi jelas sehingga program bela negara tidak bisa hanya bertumpu pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Baca juga artikel terkait PROGRAM BELA NEGARA atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri