tirto.id - Belum lama ini, ketika tengah memilih telur ayam di sebuah supermarket, saya mendapati sebuah tulisan menarik di salah satu kemasan telur yang dijual. "Functional Eggs" demikian tulisan di kemasan telur itu.
Jujur saja, keterangan itu membuat saya penasaran. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan "Functional Eggs" atau "Telur Fungsional" dan mengapa harganya lebih tinggi dibanding telur-telur lainnya?
Usut punya usut, telur fungsional ini adalah telur yang diproduksi sedemikian rupa sehingga memiliki nutrien tertentu dalam jumlah tertentu. Telur tersebut jelas tidak bisa disebut organik karena sudah mengalami proses rekayasa. Namun, ia bisa jadi lebih sehat ketimbang telur organik atau telur ayam kampung.
Contoh telur fungsional yang sudah lebih umum dikenal oleh masyarakat adalah telur omega 3, yang kuning telurnya biasanya lebih pekat daripada telur biasa.
Telur tanpa rekayasa sebenarnya pun merupakan makanan sehat. Akan tetapi, dengan tambahan omega 3—yang didapat dari hasil memberi pakan ayam petelur dengan pakan kaya omega 3, telur pun memiliki sejumlah manfaat tambahan.
Seturut laman Alodokter, beberapa manfaat tambahan itu di antaranya meningkatkan kesehatan otak, menurunkan risiko penyakit otak, menurunkan risiko penyakit jantung, memperkuat sistem imun, dan menurunkan risiko depresi.
Produksi telur sebagai komoditas pangan sendiri, menurut penelitian W.J. Stadelman dari Purdue University, Indiana, sudah mengalami rekayasa sejak dekade 1950-an.
"Drew Chemical Company mengembangkan program pemberian pakan pada akhir 1950-an untuk memproduksi telur dengan tingkat asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh majemuk yang kurang lebih sama. Telur itu kemungkinan besar merupakan telur desainer pertama," tulis Stadelman dalam paper berjudul The Incredibly Functional Egg yang ditulisnya pada 1999.
Dimulai di Jepang
Telur yang sudah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kadar nutriennya meningkat itu merupakan salah satu contoh dari apa yang disebut functional food alias makanan fungsional. Meskipun menurut Stadelman telur sudah direkayasa sejak dekade 1950-an, makanan fungsional secara umum baru mulai berkembang pesat sejak Pemerintah Jepang mulai meregulasi hal ini pada dasawarsa 1980-an.
Regulasi makanan fungsional itu menjadi penting karena Pemerintah Jepang kemudian mengambil peran sebagai edukator bagi masyarakat. Sebelumnya, para produsen berlomba-lomba memasarkan produk yang mereka klaim sudah diberi tambahan nutrien segala macam. Namun, masyarakat sendiri tidak memiliki akses untuk membuktikan keabsahan klaim tersebut.
Maka Pemerintah Jepang pun mengambil peran dengan mengintervensi supaya masyarakat tidak dikibuli oleh jebakan-jebakan pemasaran produsen bahan pangan.
Apa yang dilakukan Pemerintah Jepang melalui sistem evaluasi bernama FOSHU (Foods for Specific Health Use) itu menjadi acuan bagi masyarakat untuk mengetahui manfaat sebenarnya dari makanan-makanan yang dipasarkan. Ketika pemerintah sudah memberikan lampu hijau, artinya makanan-makanan itu memang memiliki manfaat lebih besar ketimbang versi "normalnya".
Dari sini, kepercayaan konsumen meningkat dan industri pun secara bersamaan makin berkembang. Kemudian muncullah produk-produk bahan makanan yang "difortifikasi" dengan vitamin, mineral, probiotik, dan serat.
Namun, sesungguhnya tidak semua bahan pangan perlu direkayasa atau difortifikasi terlebih dahulu untuk menjadi makanan fungsional. Ada sejumlah bahan pangan yang "dari sononya" memang sudah layak disebut sebagai sumber pangan fungsional. Inilah mengapa, ada dua jenis makanan fungsional, yaitu konvensional dan modifikasi.
Makanan fungsional konvensional secara umum bisa dibagi dalam sepuluh jenis, yaitu buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, legumes, serealia utuh, panganan laut, makanan yang difermentasi, bumbu dan rempah, serta minuman. Contoh dari tiap kategori itu di antaranya pisang, brokoli, kacang almon, biji chia, kacang arab, nasi merah, salmon, tempe, kayu manis, dan kopi.
Perlu dicatat bahwa tidak semua makanan (atau minuman) yang masuk dalam kategori-kategori di atas punya manfaat yang besar sehingga layak disebut sebagai makanan fungsional. Artinya, ada bahan-bahan makanan yang "derajatnya" memang lebih tinggi dari yang lain karena kandungan nutriennya secara alamiah lebih tinggi ketimbang bahan lainnya.
Berikutnya, ada makanan fortifikasi hasil rekayasa seperti telur omega 3. Selain telur, yang biasanya difortifikasi adalah jus, produk-produk susu seperti yogurt, produk alternatif susu seperti susu almon, produk olahan gandum seperti roti dan pasta, serta serealia.
Di Indonesia, sudah ada beras fortifikasi yang salah satu pemanfaatannya adalah untuk menekan angka stunting. Beras ini mengandung sedikit karbohidrat, tapi kaya akan mikronutrien, seperti vitamin, asam folat, zat besi, dan seng.
Apa Manfaatnya bagi Tubuh?
Dengan kandungan nutrien yang kaya, makanan fungsional memiliki tiga fungsi utama. Pertama, tentu saja, memenuhi kebutuhan nutrien. Salah satu contoh keberhasilan konsumsi pangan fungsional bisa dilihat di Yordania. Setelah tepung terigu yang difortifikasi dengan zat besi diperkenalkan di sana, angka anemia anak-anak berkurang sampai 50 persen.
Fungsi kedua adalah melindungi tubuh dari penyakit. Jelas, ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi pertama. Ketika asupan nutrisi terpenuhi, kans tubuh untuk jatuh sakit bakal berkurang dengan sendirinya.
Namun, secara khusus, makanan-makanan fungsional kaya akan nutrien spesial yang fungsi utamanya memang mencegah penyakit, seperti antioksidan (mencegah kanker, diabetes, dan penyakit jantung), omega 3, serta serat (mencegah diabetes, obesitas, penyakit jantung, dan stroke).
Yang terakhir adalah membantu tumbuh kembang anak. Inilah yang coba dilakukan Pemerintah Indonesia melalui beras fortifikasi untuk pencegahan stunting. Semua mikronutrien yang terdapat dalam beras fortifikasi merupakan zat-zat penting yang dibutuhkan janin sehingga ketika lahir nanti ia bisa menjadi anak yang bertumbuh kembang dengan baik.
Pada akhirnya, mengonsumi makanan fungsional adalah salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, mengonsumsi makanan-makanan ini pun tidak bisa sembarangan.
Misal, ketika kita mengonsumsi kacang almon, sebaiknya yang dikonsumsi adalah kacang almon tawar tanpa tambahan bahan apa pun. Pasalnya, bahan-bahan tambahan justru bakal menegasi efek menyehatkan dari kacang tersebut.
Selain itu, seseorang juga perlu menjaga gaya hidup sehat lainnya. Beristirahat dengan cukup, berolahraga secara rutin, dan menghindari zat-zat berbahaya juga mesti dilakukan berbarengan dengan mengonsumsi makanan-makanan sehat nan fungsional tersebut.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi