tirto.id - Respons terhadap pandemi selama lebih dari 10 bulan ini didominasi oleh pendekatan medis yang menyarankan cara melakukan pembatasan gerak (containment) manusia. Respons dominan kedua datang dari pendekatan ekonomi yang berfokus pada persiapan logistik selama masa wabah dan upaya untuk menghindari ancaman krisis ekonomi.
Namun demikian, fakta pandemi rupanya lebih kompleks dari pendekatan sains semata. Ilmu sosial mempunyai peran yang tak kalah pelik dalam menunjukkan dokumen dan memberi rekomendasi tentang bagaimana manusia merespons dan mengatasi pandemi ini.
Melihat Kepedulian dari Studi Antropologi
Antropologi adalah ilmu paling saintifik tentang manusia. Selama pandemi, cabang antropologi medis bukan hanya melihat perilaku manusia menghadapi pandemi, akan tetapi juga dijadikan rekomendasi dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Para pelaku antropologi kesehatan (medical anthropology) sebelumnya telah belajar dari kasus di Afrika tentang penyebaran virus ebola, khususnya peran kekerabatan dalam menghadapi pandemi.
Salah satu konsep yang mengemuka di Antropologi saat ini adalah care, yang diterjemahkan sebagai kepedulian, keperawatan, dan mengasuh. Konsep ini digunakan untuk melihat cara keluarga melakukan perawatan terhadap pasien yang terpapar wabah, baik selama rawat inap hingga perawatanterhadap korban yang akhirnya meninggal dan dikubur. Selama masa kuncitara (lockdown), antropologi mempelajari keluarga yang saling membantu mereka yang rentan terpapar, memindahkan anak-anak, merawat orang tua, serta membantu ekonomi rumah tangga yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Studi tentang care juga melihat generasi muda yang mengalami gangguan mental karena pandemi dan mengalami pengangguran berkepanjangan. Mengoperasikan konsep care selama pandemi menjadi penting karena jadwal pertemuan antar keluarga semakin intensif. Mayoritas pekerja dan anak-anak sekolah dirumahkan. Walhasil, waktu merawat anak jauh lebih intensif karena anak tidak lagi bersekolah atau dititipkan di daycare.
Sekumpulan para antropolog dari LSE, Laura Bear, Deborah James dkk. mengeluarkan laporan "A Right to Care. The Social Foundations of Recovery from COVID-19" pada Oktober 2020. Laporan ini menunjukkan bahwa sistem kepedulian dan perawatan melalui jejaring informal seperti kolega, kerabat dan tetangga adalah fondasi pemulihan COVID-19.
Laura Bear dkk. beranggapan bahwa manusia sangat memahami situasinya sendiri, khususnya dalam menghadapi berbagai kemalangan. Tugas antropologi adalah mempromosikan kecakapan-kecakapan yang telah ada dan membawanya menjadi kekuatan masyarakat. Berbagai praktik kepedulian itu kemudian menjadi panduan untuk kebijakan pemerintah dalam memberikan kompensasi baik terhadap mereka yang bertanggung jawab dalam praktik kepedulian maupun yang menjadi objek dari keperawatan.
Dasar dari studi tentang care dalam antropologi adalah resiprositas. Manusia berbuat baik karena ia pasti akan dibalas jasanya. Demikian pula orang berbuat baik karena telah dibantu atau telah diberikan jasa sebelumnya. Ini adalah salah satu dasar relasi manusia yang mendasari munculnya kepedulian dan keperawatan. Meskipun ada juga kepedulian yang didasarkan pada altruisme atau bantuan yang benar-benar tulus dan tidak berharap imbal balik.
Esais Amerika Rebecca Solnit dalam bukunya A Paradise Built in Hell (2009), mencatat berbagai sejarah bencana dan kebaikan yang muncul di sekitarnya. Rebecca tidak mencatat kepanikan dan kekerasan massal dari bencana. Ia menunjukkan bagaimana warga menunjukkan rasa saling berbagi, saling membantu, dan bersolidaritas dalam gempa bumi, angin topan, hingga wabah. Demikian pula, studi tentang kepedulian dan keperawatan menunjukkan bahwa yang menang selama pandemi ini adalah empati, bukan penimbunan sembako atau kerusuhan sosial.
Melihat Produktivitas dari Sejarah Ekonomi
Respons manusia terhadap pandemi sangat perlu dilihat dari peristiwa serupa di masa lalu.
Berbeda dengan antropologi yang melihat dari perspektif care, ilmu sejarah melihat pandemi dari persoalan produktivitas. Dalam hal ini, pendekatan sejarah ekonomi menawarkan pesan moral yang bisa dijadikan pelajaran untuk menyikapi kondisi hari ini.
Penelitian terbaru para sejarawan ekonomi, Joan Roses dkk., "Redistributive Effect of Pandemic: Evidence from Spanish Flu" (2020) menunjukkan bahwa banyak korban meninggal selama Flu Spanyol adalah kaum pekerja, sedangkan pemilik modal tetaplah selamat. Karena itu, pertama, Roses dkk. memberi rekomendasi bahwa yang perlu dilindungi pertama-tama adalah kesehatan para pekerja. Temuan ini Roses dkk. ini sekaligus membantah polemik dikotomis tentang perlunya memilih antara mendahulukan kesehatan atau ekonomi. Bagi Roses dkk., kesehatan adalah bagian dari pemasukan ekonomi. Keduanya tak terpisahkan. Karena itulah banyak ekonom melihat persoalan produktivitas sangat berhubungan dengan persoalan kesehatan, angka harapan hidup, dan kematian.
Kedua, Roses dkk. juga memberikan rekomendasi agar negara memberikan perlindungan sosial terhadap pekerja dari tuntutan kerja pemilik modal. Pemerintah juga perlu menyediakan perlindungan kesehatan terhadap para pekerja. Ketika Flu Spanyol meledak, ekonomi masih didominasi sektor primer yakni pertanian dan penjualan bahan baku. Ekonomi hari ini ini lebih digerakkan oleh sektor ekonomi tersier yakni ekonomi industri manufaktur dan jasa. Walhasil, rantai produksi eknomi lebih panjang dan lebih banyak jenis pekerja yang harus dilindungi. Yang juga membedakan pandemi hari ini dengan Flu Spanyol adalah fakta bahwa ada banyak aktivitas yang menggerakkan roda ekonomi dikerjakan secara online, mulai dari belanja online hingga sekolah online.
Dari pendekatan sejarah arus utama, John Barry, penulis buku The Great Influenza (2005), menekankan bahwa compliant alias kepatuhan terhadap anjuran pemerintah adalah kunci sukses mengurangi persebaran virus. Meski demikian, Barry juga mempermasalahkan praktik compliance belakangan ini. Pemimpin populis sayap kanan seperti Donald Trump di Amerika, Rodrigo Duterte di Filipina dan Narendra Modi di India justru membuat warga kocar-kacir alih-alih tunduk pada berbagai keputusan pemerintah.
Sejarawan lainnya, Patrick Wallis, dalam penelitiannya tentang epidemi di sebuah desa bernama Eyam di Inggris pada 1666 menyimpulkan bahwa satu rumus lain yang sukses mengatasi pandemi adalah self-sacrifice, yakni mengorbankan diri untuk tidak melakukan mobilitas terlebih dahulu.
Mempelajari Perilaku Manusia
Ilmu sosial melihat beragam perilaku manusia yang seringkali bertentangan dengan standar dan modelling yang bersandar pada teori-teori modern yang dianggap logis dan rasional. Contoh yang paling nyata adalah panic buying alias memborong barang di pasar. Ini terjadi ketika awal pandemi. Respon panik, selain karena dorongan kepentingan diri sendiri, juga dilakukan karena anggapan bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama. Beberapa pendekatan ilmu sosial lainnya seperti behavioral economics menarget perilaku sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi kebijakan. Sementara pendekatan psikologi juga digunakan untuk memahami pandemic fatigue yakni fase ketika manusia sudah tidak lagi menggubris larangan ketika mobilitasnya dibatasi.
Belajar dari ilmu sosial, baik buruknya pandemi tidak hanya diakibatkan oleh ganasnya virus melainkan juga oleh masalah seputar kebijakan, yakni kepemimpinan dan pengambilan keputusan pemerintah. Pendeknya, terkait kesiapan pemerintah untuk merespons pandemi dan memberikan prioritas jaminan sosial kepada warganya yang disasar, serta berhubungan pula dengan bagaimana kerjasama internasional mampu mengurangi dan mengatasi kondisi pandemi.
Dengan demikian, wabah COVID-19 bukan semata persoalan kesehatan. Ia adalah permasalahan sosial dan politik.
==============
Hatib A.Kadir adalah dosen Antropologi Brawijaya dan Visiting Professor, School of Foreign Languages, Peking University.
Penulis: Hatib A Kadir
Editor: Windu Jusuf