tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk Bupati Mesuji Khamami dan 9 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan, Rabu (23/1/2019). Setelah diperiksa selama sehari, Khamami akhirnya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Bersama Khamami, KPK menetapkan Taufik Hidayat yang tak lain adik kandung Khamami, Sekretaris Dinas PUPR Mesuji Wawan Suhendra. Keduanya juga tersangka penerima suap. Sedangkan tersangka pemberi suap adalah Sibron Azis, pemilik PT Jasa Promix Nusantara (PT JPN) dan PT Secilia Putri (PT SP); serta Kardinal.
Dalam penetapan itu, KPK menyita barang bukti uang Rp1,28 miliar yang diduga fee proyek infrastruktur di lingkungan Kabupaten Mesuji. Uang itu diduga berasal dari Sibron.
“Diduga uang tersebut merupakan bagian dari permintaan fee proyek sebesar 12 persen dari total nilai proyek,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat menyampaikan keterangan persnya di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2019).
Fee itu diduga bersumber dari 4 proyek infrastruktur yang dikerjakan dua perusahaan Sibron: satu proyek bersumber dari dana APBD 2018 dan tiga lainnya dari APBD-P 2018. Proyek dari APBD 2018 itu adalah pekerjaan pengadaan base dengan nilai kontrak Rp 9,2 miliar yang dikerjakan PT JPN.
Penangkapan Khamami menambah daftar panjang kepala daerah yang tersandung kasus korupsi infrastruktur. Politikus Partai Nasdem yang kini sudah ditahan, menjadi kepala daerah ke-107 yang diproses KPK, sejak lembaga antikorupsi itu berdiri pada 2002.
Infrastruktur: Ladang Basah Korupsi
Kasus korupsi yang menyeret Khamami sebenarnya bukan barang baru dalam penindakan KPK. Kasus korupsi terkait infrastruktur ini adalah kasus cukup banyak diungkap KPK di masa kepemimpinan Agus Rahardjo Cs.
Di era Agus ini, korupsi infrastruktur di era Jokowi mulai terungkap sejak tangkap tangan Damayanti Wisnu Putranti pada Januari 2016. Sejak itu, lembaga antikorupsi berulang kali mengungkap kasus korupsi baik yang melibatkan politikus dari partai penguasa, politikus partai oposisi, hingga perusahaan pengelola proyek.
Dalam riset ICW, korupsi infrastruktur pada 2016 bahkan sudah mencapai 63 kasus yang diproses.
Menurut Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari, proyek infrastruktur memang jadi salah satu ladang bancakan korupsi. Salah satu penyebabnya adalah nilai proyeknya besar.
Namun, Feri menyesalkan besarnya anggaran ini tak berbanding lurus dengan ketatnya pencegahan dan pengawasan korupsinya. Ini tampak dari minimnya transparansi terhadap proses lelang proyek tersebut, meski pemerintah sudah memberlakukan mekanisme lelang dan pengadaan secara elektronik.
“Pengadaan barang dan jasa elektronik itu tidak menutup permainan sepanjang yang memenangkan tender tidak juga diwajibkan terbuka menyampaikan pengalaman kerjanya dan perkembangan proyek secara terbuka,” kata Feri kepada reporter Tirto, Kamis (23/1/2019).
Salah satu contoh adalah korupsi proyek yang dilakukan Bupati Lampung Selatan Zainuddin Hasan dan Bupati Tenggarong Rita Widyasari. Kedua politikus ini sama-sama membentuk tim khusus untuk mengatur pembagian proyek kepada kontraktor yang sudah memberi fee.
Dalam kasus Zainuddin, tim yang dibentuk adik kandung Ketua MPR Zulkifli Hasan itu membuat dokumen penawaran dari perusahaan yang akan dimenangkan berikut perusahaan pendampingnya.
Tim ini pula yang memasukan data dan mengunggahnya ke dalam sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sehingga seolah-olah perusahaan itu mendapatkan proyek dengan cara yang benar.
Namun yang membikin Feri heran, inspektorat daerah tak berperan mengawasi dan mencegah keculasan ini. Ini dianggap Feri janggal karena inspektorat semestinya bisa mencegah korupsi ini sejak awal. Ia pun mengaku paham kenapa inspektorat akhirnya memilih diam.
“Kan, inspektorat itu orang-orang kepala daerah, jadi tidak mungkin tidak berpihak,” kata Feri.
Untuk itu, Feri menyarankan posisi inspektorat daerah digeser sehingga tidak berada di bawah komando kepala daerah. Bahkan jika memungkinkan, kata dia, inspektorat harusnya dijadikan lembaga independen.
Peraturan Pemerintah Belum Jalan
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan sependapat dengan Feri. Ia mengakui KPK memang mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Perangkat Daerah. Poin yang diusulkan adalah inspektorat daerah harus bertanggung jawab kepada pemerintahan yang ada di atasnya.
Bekas Widyaiswara Madya Sespim Lemdikpol Polri ini mencontohkan, inspektorat di kabupaten harus bertanggung jawab kepada provinsi, sementara inspektorat provinsi bertanggung jawab ke Kementerian Dalam Negeri.
“Tapi PP itu sampai sekarang belum keluar karena ada sesuatu yang harus dikoordinasikan, dia tidak boleh juga bertentangan dengan undang-undang lainnya,” kata Basaria.
Menurut Basaria, peran inspektorat daerah memang krusial dalam mencegah korupsi di daerah. Ia menilai, semestinya inspektorat menjadi pihak yang pertama kali tahu dan menindak ketika ada dugaan korupsi di daerah. Karenanya, saat ini KPK tengah fokus untuk mendorong pembenahan di inspektorat daerah.
“Jadi ini masih terus kami usahakan agar APIP [Aparat Pengawasan Internal Pemerintah] ini benar-benar maksimal. Harapannya jika APIP ini maksimal kemungkinan-kemungkinan korupsi di daerah berkurang atau bahkan menghilang,” kata Basaria.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih