tirto.id - Ajang Oscar selalu memberikan harapan bagi banyak orang. Bagi pelaku dalam industri film, mereka akan menanti apakah karya maupun penampilan mereka masuk nominasi atau tidak. Sementara bagi penikmat film, mulai dari penonton hingga kritikus, mereka akan menanti apakah akan ada kejutan di ajang tahunan ini.
Itulah yang kemudian diberikan pihak penyelenggara Oscar, The Academy of Motion Pictures Arts and Sciences (AMPAS), pada Selasa (22/1). Dalam nominasi yang dirilis, pihak panitia memberikan cukup banyak kejutan untuk menyambut 91 tahun berjalannya Oscar.
Kejutan dalam sebuah ajang penghargaan film, pada dasarnya, merupakan amunisi tersendiri yang membikin jalannya acara kian menarik untuk disimak. Hadirnya kejutan, di sisi lain, juga dapat dibaca sebagai upaya untuk membuktikan bahwa acara penghargaan di dunia film tak melulu berkutat dengan nama-nama itu saja.
Lewat nominasi tahun ini, Oscar mulai membuka mata akan hal itu.
Netflik: Ditolak dan Berjaya
Peluru kejut pertama datang dari Netflix.
Setelah bertahun-tahun bermanuver dengan begitu agresif, membikin banyak judul film, hingga berekspansi ke berbagai negara, Netflix akhirnya memperoleh nominasi kategori film terbaik untuk pertama kalinya lewat Roma garapan Alfonso Cuaron.
Peluang Netflix untuk membawa pulang Piala Oscar untuk kategori ini cukup terbuka lebar. Pasalnya, Roma dianggap sebagai film yang bernas, sering dinobatkan sebagai film terbaik sepanjang 2018. Para kritikus banyak memuji, dan festival-festival turut merayakannya.
Kisah Roma berpijak pada kehidupan masa kecil sang sutradara yang tinggal di Meksiko era 1970-an. Dengan balutan warna hitam putih, Roma menawarkan pengalaman menonton yang emosional sekaligus meditatif. Ada tangis, tawa, kekejaman, dan, di atas segalanya, kerinduan terhadap kampung halaman yang diperbincangkan terus menerus selama film berlangsung.
Di ajang Oscar, Roma, total jenderal memborong 10 nominasi. Tak sekadar kategori Film Terbaik, Roma juga masuk daftar calon penerima Sutradara Terbaik (lewat Cuaron), Sinematografi Terbaik (lewat Cuaron lagi), Skenario Terbaik, Film Berbahasa Asing Terbaik, hingga Aktris Terbaik (Yalitza Aparicio).
Kontribusi Netflix tak hanya datang dari Roma belaka. Film The Ballad of Buster Scruggs bikinan Ethan-Joel Coen (Coen Brothers), menyumbang tiga nominasi. Secara keseluruhan, Netflix mampu masuk di 15 nominasi Oscar tahun ini, bersanding dengan rumah produksi Fox Searchlight.
Sebetulnya, ini bukan pertama kalinya film-film produksi Netflix masuk nominasi Oscar. Tahun lalu, drama sejarah berjudul Mudbound garapan Dee Rees dinominasikan untuk empat kategori: Skenario Adaptasi Terbaik, Aktris Pendukung Terbaik (Mary J. Blige), Sinematografi Terbaik, dan Lagu Asli Terbaik.
Pencapaian tersebut datang di tengah skeptisisme insan film pada Netflix. Sebagai perusahaan penyedia layanan streaming, Netflix banyak dikritik karena dianggap merusak industri film karena gerak-geriknya berpotensi membunuh bioskop. Kritik juga menyasar kualitas film-film produksi Netflix. Steven Spielberg, misalkan, pernah berkata bahwa film-film Netflix tak memenuhi syarat untuk masuk nominasi Oscar.
“Yah, kalau memang [film-film mereka] bagus, mereka cuma pantas menang Emmy, bukan Oscar,” kata Spielberg.
Sekarang Netflix tak perlu berkecil hati. Roma sudah berada di jalur yang tepat untuk membungkam segala keraguan yang bermunculan.
Kulit Hitam Melawan
Peluru selanjutnya datang dari Black Panther.
Film produksi Marvel ini menjadi film superhero pertama yang berhasil masuk nominasi Oscar lewat kategori Film Terbaik. Bisa dibilang ini kejutan terbesar di ajang Oscar, mengingat dalam sejarahnya tak pernah ada film superhero yang melangkah sejauh ini.
Alasannya sederhana. Sejauh ini, publik maupun kritikus film masih menganggap film-film superhero sebagai film yang “ringan” secara konteks maupun “mudah ditebak” secara alur cerita. Film superhero dinilai tak cukup kualifikasi untuk sekadar masuk nominasi Oscar—lebih-lebih menang.
Tapi, Black Panther tak seperti film superhero pada umumnya. Film ini kaya cerita, kompleks, dan unggul di segala aspek pengerjaan (sinematografi, efek visual, hingga editing). Untuk itulah, pilihan para juri tak salah untuk menyertakan Black Panther ke dalam nominasi Film Terbaik Oscar.
Di lain sisi, Black Panther juga membuktikan bahwa film-film blockbuster layak masuk nominasi Oscar, menepis pandangan yang selama ini beredar bahwa film blockbuster cuma bisa berjaya di layar lebar. (Black Panther mampu memperoleh 1,3 miliar dolar di seluruh dunia).
“Ada saatnya ketika pihak panitia Oscar tidak bisa mengabaikan film-film yang begitu populer, seperti halnya Titanic,” ujar kritikus film dari Radio 1 BBC, Ali Plumb. “Black Panther bukan hanya fenomena film, tetapi juga fenomena sosial.”
Sebanyak tujuh nominasi berhasil didapatkan Black Panther dalam ajang Oscar tahun ini.
Tapi, yang terpenting dari pencapaian Black Panther adalah film mereka merepresentasikan semangat perlawanan kulit hitam untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebagian besar pihak yang berandil dalam penggarapan Black Panther memang orang-orang kulit hitam.
Suara perlawanan kulit hitam di Oscar makin lengkap dengan hadirnya BlacKkKlansman dan Green Book. Dua film ini sama-sama mengangkat kisah tentang diskriminasi yang dihadapi orang-orang kulit hitam di AS. Satu dibungkus dengan gaya satire nan jenaka, satunya lagi dibalut dengan drama sederhana yang memikat hati.
Di tengah paranoia kebangkitan konservatisme di berbagai penjuru dunia, kehadiran film-film macam Black Panther, Green Book, maupun BlacKkKlansman adalah hal penting. Ketiganya memperlihatkan bahwa praktik diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas masih ada. Dan potensi untuk ke arah sana semakin terbuka lebar dengan munculnya gelombang konservatisme yang dikenal tak ramah terhadap minoritas.
Film-film ini bisa berlaku sebagai suluh, yang menerangi nalar penonton hingga bisa melihat bahwa dunia memang tidak sedang baik-baik saja.
Lantas, apakah kejutan-kejutan tersebut sudah cukup membikin publik puas terhadap jalannya Oscar?
Jawabannya bisa jadi belum. Pasalnya, dalam nominasi Oscar tahun ini, tak ada lagi nama-nama sineas perempuan macam Greta Gerwig yang pada tahun lalu mampu mendobrak dominasi laki-laki di kategori Sutradara Terbaik lewat Lady Bird. Juga tak ada lagi Rachel Morrison yang pada tahun lalu mampu masuk nominasi Sinematografi Terbaik lewat Mudbound.
Padahal, tahun ini, ada sejumlah film berkualitas yang digarap oleh perempuan. Seperti Marielle Heller dengan Can You Ever Forgive Me? Atau Debra Granik lewat Leave No Trace.
Ya, pada akhirnya kejutan-kejutan di atas masih belum bisa memperbaiki masalah akut Oscar—dan industri film secara umum.
Editor: Nuran Wibisono