tirto.id - Selama kurang lebih dua ratus tahun, orang Melayu tinggal di perbatasan antara Myanmar dan Malaysia di wilayah Tanintharyi. Hikayat Merong Mahawangsa, babad yang menceritakan sejarah Kesultanan Kedah, menyebut mereka datang dari kerajaan tersebut. Kedah sekarang menjadi salah satu negara bagian Malaysia.
Kesultanan Kedah, pada suatu masa, adalah sebuah kerajaan besar yang menguasai perdagangan di pantai wilayah Indocina sekarang. Kekuasaannya terbentang dari semenanjung Malaya bagian utara hingga Myanmar bagian selatan. Untuk urusan dagang itulah orang-orang Melayu dari Kedah menyebar sampai wilayah tersebut.
Nama Tanintharyi sendiri berasal dari penyebutan Melayu “Tanah Sari”. Lidah Burma sukar menyebut nama itu dan menyebutnya dengan lidah mereka menjadi "Tanintharyi." Orang-orang Eropa biasa menyebutnya “Tenasserim."
Sebagian besar Melayu Myanmar di Tanintharyi tinggal di Distrik Kawthaung, salah satu daerah paling multikultural di Myanmar. Populasinya terdiri atas Melayu Muslim, orang Buddha Thailand, dan suku pengembara Melayu yang dikenal masyarakat lokal dengan nama Pashu. Di sana tinggal juga orang Cina dan India yang pada masa kolonialisme Inggris direkrut sebagai buruh pertambangan timah.
Pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Kawthaung lebih dikenal dengan nama Victoria Point dan menjadi pelabuhan kecil yang ramai di sekitar Myanmar selatan. Di situ tak hanya berlabuh perahu-perahu dagang, tapi juga tempat singgah para pencari ikan dari daerah-daerah yang jauh.
Kedatangan orang-orang Melayu di Kawthaung bermula dari para pencari ikan. Pada 1865, sekelompok nelayan yang dipimpin Nayuda Ahmed, seorang Melayu keturunan Arab, berlayar mencari ikan di sekitar Kepulauan Mergui. Mereka mendirikan perkampungan kecil di sebuah teluk di Victoria Point.
Awalnya tempat itu sekadar untuk singgah. Namun, lantaran hasil ikan di situ sangat banyak, mereka memutuskan menetap. Sejak itulah para nelayan Melayu beranak-pinak di tempat itu. Orang Melayu yang sekarang berada di situ adalah keturunan para pengikut Nayuda Ahmed. Kawasannya sekarang dikenal sebagai Desa Bokpyin.
Etnis Melayu yang tinggal di Myanmar juga mempunyai kaitan erat dengan orang Patani di Thailand selatan. Mereka sama-sama keturunan orang-orang dari Kerajaan Patani lama. Setelah Patani runtuh, mereka menyebar di beberapa bagian Burma dan Kerajaan Ayutthaya. Bahasa mayoritas di daerah tersebut adalah bahasa Myanmar dan orang Melayu juga masih menggunakannya sebagai lingua franca untuk berinteraksi dengan masyarakat dari suku lain.
Namun, mereka tidak pernah meninggalkan akar kemelayuan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi, termasuk bahasa dan agama yang mereka anut. Islam mazhab Syafi’i—seperti sebagian besar dianut oleh Muslim Indonesia—menjadi bagian inheren dalam masyarakat Melayu sejak abad 15. Keduanya tetap dipegang teguh oleh kebanyakan orang-orang Melayu Myanmar.
Baca juga:
Di dalam keluarga dan sesama mereka sendiri, bahasa Melayu-Kedah tetap digunakan. Salah satu ciri kemelayuan yang masih dipertahankan adalah penggunaan aksara Jawi (bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab) dalam tradisi tulis mereka. Meski saat ini hanya para generasi tua saja yang masih mempertahankan aksara Jawi, tapi beberapa generasi muda sudah mulai membangkitkannya. Di tengah kepungan kultur Budha-Myanmar, konflik Rohingya, dan kediktatoran militer, kembali ke tradisi adalah salah satu jalan aman yang bisa ditempuh.
Baca juga:Myanmar: Negara Para Jenderal
Masjid-masjid juga banyak tersebar di Myanmar selatan. Di Distrik Kawthaung, ada puluhan masjid dan musala yang tersebar di berbagai kampung. Salah satu yang terbesar adalah Masjid Pashu. Di sekitar masjid ini dan beberapa desa lain, orang-orang Melayu masih mempertahankan tradisi kawin-mawin di antara sesama mereka sendiri. Kadang-kadang, itu yang menyebabkan tuduhan dari orang Burma bahwa mereka susah berasimilasi.
Tapi toh anak-anak muda Melayu tetap membuktikan jika mereka bisa menyatu dengan masyarakat Burma. Mereka menempuh pendidikan di sekolah-sekolah negeri bikinan pemerintah dan gaya hidup mereka makin sekuler. Malah, saking populernya sekolah pemerintah, sekarang ini banyak pemuda Melayu yang meninggalkan sekolah agama.
Baca juga:Sekolah Islam Terkena Dampak Intoleransi di Myanmar
Sekuler atau tidak adalah satu hal. Yang jelas, anak-anak muda inilah yang sekarang bisa menjembatani kesenjangan kultural antara orang Burma dan orang Melayu Muslim. Sebuah teladan yang baik di tengah panasnya konflik Rohingya.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Maulida Sri Handayani