tirto.id - Berbicara tentang lebaran, tentu tak bisa jauh dari sajian opor ayam dan ketupat.
Di dalam budaya Jawa, opor dan ketupat memiliki makna simbolik yang lekat dengan semangat saling meminta maaf dan memaafkan di hari raya Idul Fitri. Keduanya, opor dan ketupat, melambangkan kembalinya kita pada kondisi yang fitri dan bersih, menyambut hari baru.
Ketupat yang berwarna putih terbalut anyaman daun kelapa menjadi simbol dari perjalanan hidup manusia yang penuh kesalahan. Ketika kulit dibuang dan ketupat putih dimakan bersama opor, seakan kita membuang yang jelek dan kembali pada kesucian.
Kata ketupat pun menyiratkan suatu ungkapan permintaan maaf. Dalam bahasa Jawa, ketupat sering disandingkan dengan istilah ngaku lepat, yang artinya mengakui kesalahan. Sementara, opor ayam yang menggunakan santan, juga dilekatkan pada kata bahasa Jawa "pangapunten", yang berarti meminta maaf.
Di keluarga saya pun opor dan ketupat selalu terhidang pagi-pagi sebelum sholat Ied dilaksanakan. Dapur sudah ramai sejak matahari belum terbit. Suara panci-panci berisi opor dipanaskan, ketupat dikukus, dan hidangan-hidangan lain disiapkan, membuat dini hari terasa ramai. Belum lagi aroma-aroma yang menggiurkan, membangunkan perut pagi yang sudah terbiasa kosong selama tiga puluh hari terakhir.
Keluarga saya merupakan keluarga besar. Eyang dari Ayah memiliki lima anak, sementara Eyang dari Ibu memiliki delapan anak. Kalau lebaran, sudah pasti rumah para Eyang itu ramai tak terkira, dengan semua anak-cucu berkumpul di sana.
Sejak kecil, kebiasaan kami ketika lebaran memang adalah berkumpul dengan keluarga. Untuk keluarga saya, perjalanannya hamper selalu sama. Hari pertama kami akan lebaran di Sragen bersama keluarga besar Ayah, dan hari keduanya sudah ada di Magelang bersilaturahmi dengan keluarga besar Ibu. Lalu hari ketiga sudah kembali ke rumah di Yogyakarta.
Ketika saya tumbuh dewasa dan anak-anak Ayah-Ibu telah memiliki keluarganya sendiri-sendiri, kebiasaan ini berubah. Rumah Ibu menjadi pusat keluarga kecil kami berkumpul. Hidangan tersaji tak lagi di rumah Eyang, tapi di rumah Ibu.
Dan begitulah, untuk mengamankan perut orang banyak, Ibu selalu melakukan hal ekstra. Sebelum pandemi melanda, sejak seminggu sebelum lebaran suasana sibuk di dapur sudah mulai terasa. Berpanci-panci opor ayam dimasak dan kemudian dibekukan untuk menyambut tamu-tamu Ayah dan Ibu.
Tak hanya keluarga besar, tapi juga para relasi luar kota yang biasanya mampir sekalian mudik ke kampung halamannya. Ibu tak pernah membiarkan mereka pulang dengan perut kosong. Karenanya, opor ayam berkuah santan kental dan ketupat seakan tak pernah habis terhidang di meja. Konsep ini berakar pada konsep berbagi berkah.
“Kalau suguhannya nggak dimakan, berarti ngalangi rejeki kami dari yang Di Atas. Ini cara kami mensyukuri yang kami punya," ujar seorang kerabat menjelaskan konsep berbagi berkah ini secara sederhana.
Namun sejak pandemi datang, lebaran kami habiskan dengan lebih intim. Hanya keluarga dekat saja yang berkunjung. Relasi tak ada yang saling berkunjung. Ini berpengaruh pada jumlah opor ayam yang dimasak Ibu. Masih dalam jumlah besar dan dibekukan sejak sebelum hari raya, tapi jelas berkurang kuantitasnya.
Proses membekukan opor ini merupakan hal yang memudahkan Ibu untuk mengatur flow opor di rumahnya. Satu plastik disiapkan untuk porsi satu hari. Dengan begitu, hari-hari tanpa ART terasa tak terlalu memberatkan. Kalau tak habis dalam sehari, ya tinggal dihangatkan kembali.
Selain opor dan ketupat, terdapat pendamping lainnya yang hampir selalu ada. Hidangan-hidangan ini diposisikan sebagai pilihan kalau kami bosan dengan opor. Tapi nyatanya tak ada yang bosan dengan opor di rumah kami. Meski terbaca tidak sehat, opor Ibu bisa hadir di meja makan selama berhari-hari dan tetap saja dicari.
Ada yang berkata bahwa tradisi yang dilakukan di keluarga biasanya merupakan peleburan dari kedua tradisi di generasi sebelumnya. Ini saya rasakan dalam urusan opor, ketupat, dan hidangan lebaran kami.
Saat kami masih sering mudik ke Sragen dan Magelang, meja makan Eyang menawarkan opor dan ketupat yang mirip satu dengan lainnya, tapi dengan pendamping yang berbeda. Di Sragen, sayur gori dan sambal goreng krecek-kacang tolo tersedia menemani pasangan opor dan ketupat. Sementara di Magelang, teman dari opor dan ketupat adalah sambal goreng daging glinding yang berwarna pucat kemerahan. Sop snerek juga ada untuk yang menghindari santan. Oh dan ada juga sambal goreng ati khusus untuk kakak saya.
"Yang Ti memang masak sambal goreng ati karena Mas Ian suka," ujar Ibu di setiap kesempatan.
Ketika pusat tata surya berpindah ke rumah Ibu, hidangan yang tersaji di meja makan merupakan perpaduan dari kedua tradisi tersebut: opor ayam, ketupat, sambal goreng krecek-kacang tolo, sambal goreng ati Mas Ian, gudeg untuk tamu-tamu dari luar kota, dan rendang.
Iya, rendang versi Jawa. Meski kami tidak ada darah Sumatera, tapi menurut Ibu rendang termasuk cukup praktis untuk ritual makanan beku tadi. Sama seperti opor, rendang pun sudah disiapkan berhari-hari sebelum lebaran tiba.
Bagi saya sendiri, opor buatan Ibu ini tiada duanya. Kuah santannya kental mlekroh dan rasanya legit-gurih. Tapi yang paling saya suka adalah ketika opor tersebut sudah dihangatkan berhari-hari hingga daging-daging ayam kampung yang tadinya cukup alot, mrotoli dari tulangnya. Lalu opor ini disantap bersama ketupat, sambal goreng daging glinding, dan kerupuk kaleng. Ketika ketupat sudah habis, tak jarang kami menggantinya dengan lontong.
Meski Ibu cukup sering memasak opor di luar hari lebaran, tapi tentu sensasi menyantap opor kala lebaran itu berbeda. Makan opo beramai-ramai bersama keluarga, membuat opor lebaran jadi lebih yahud. Selain itu, opor lebaran ini kerap menjelma jadi kerinduan akan masa kecil.
Kerinduan pada hangatnya pertemuan, kebersamaan, di bawah satu selimut cinta Ibu. Kerinduan pada masa saya hidup tanpa rasa khawatir terhadap apapun kecuali ujian-ujian di sekolah. Kerinduan pada pada masa bahwa "semua akan baik-baik saja karena ada Ibu di sana".
Itu masa ketika luka bisa disembuhkan cukup dengan satu kecupan dari Ibu.
Editor: Nuran Wibisono