tirto.id - Obesitas menjadi masalah serius ketika penyandangnya sudah tak mampu menurunkan berat badan dengan mengatur diet maupun olahraga rutin. Contohnya adalah kisah Titi Wati (37) dan Arya Permana (13) yang harus mendapat penanganan medis khusus guna menurunkan berat badan. Kedua orang ini menjalani tindakan operasi lambung atau bedah bariatrik.
Beberapa hari lalu, Titi Wati, perempuan berbobot 350 kg dievakuasi dari rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Butuh 20 orang untuk memindahkan Titi dari kamar dengan menjebol pintu rumahnya. Ia kemudian menjalani perawatan dan observasi di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya dengan rencana operasi bariatrik yang ditangani khusus delapan orang dokter spesialis RSUD Bali.
Operasi yang sama pernah juga dijalani Arya. Pada tahun 2017, bocah ini viral karena berat badan yang mencapai 192 kg. Setelah menjalani operasi bariatrik pada bulan April 2017 di RS Omni Alam Sutera dan melakukan diet sehat, berat badan Arya kini berada di angka 90 kg.
Prinsip operasi ini adalah membatasi jumlah makanan yang ditampung lambung dan menyebabkan perubahan hormon sehingga mencegah rasa lapar dan menurunkan berat badan.
Prosedur ini tak bisa dilakukan pada sembarang orang. Lazimnya, ia diterapkan pada kondisi yang berhubungan dengan obesitas seperti diabetes tipe 2 atau tekanan darah tinggi. Laman NHS menyebut hanya individu dengan indeks massa tubuh (BMI) 35-40 dan gagal menurunkan berat badan dengan diet dan olahraga yang bisa melakukan prosedur bariatrik.
“Setelah tindakan operasi, pasien tetap harus membuat perubahan gaya hidup sehat dan melakukan pemeriksaan rutin,” tulis laman tersebut. Khusus untuk pasien perempuan, mereka perlu menghindari kehamilan hingga 12-18 bulan pasca-operasi.
Ragam Prosedur Bariatrik
American Society for Metabolic and Bariatric Surgery (ASMBS) menyebut empat jenis prosedur yang dapat dipilih dari tindakan bariatrik. Keempat prosedur itu dilakukan dengan teknik bedah invasif (laparoskopi) untuk meminimalisir sayatan. Prosedur pertama adalah yang paling umum dilakukan, yakni gastric bypass. Tindakan ini menyambungkan bagian atas lambung ke usus kecil, membikin kondisi kantong lambung jadi lebih kecil.
Kantong lambung baru membikin penyerapan makanan lebih sedikit dan menghasilkan perubahan hormon usus, sehingga meningkatkan rasa kenyang dan menekan rasa lapar. Prosedur ini mampu menurunkan berat badan hingga 60-80 persen dari berat semula.
Prosedur kedua dinamakan sleeve gastrectomy, yakni pengangkatan 80 persen bagian lambung dengan hasil penurunan berat badan mencapai 50 persen.
Prosedur ketiga disebut gastric band. Tindakan ini melibatkan bantuan benda serupa pita yang diikatkan pada bagian atas lambung. Gastric band dapat menurunkan berat badan hingga 40-50 persen dan memiliki beberapa keuntungan, di-antaranya tidak menciptakan malabsorpsi sehingga makanan dicerna dan diserap secara normal. Selain itu, tindakan ini juga tidak memotong lambung atau mengalihkan rute usus seperti kedua prosedur sebelumnya.
Perawatan di rumah sakit untuk prosedur ini cenderung singkat, hanya berlangsung kurang dari 24 jam. Risiko komplikasi pun jauh lebih kecil. Meski begitu, prosedur gastric band juga memiliki kekurangan karena penurunan berat badan lebih lambat dibanding prosedur bedah lainnya. Juga terdapat risiko selip pada pita dan risiko operasi ulang paling tinggi.
Prosedur terakhir yang bisa dijadikan alternatif pilihan adalah biliopancreatic diversion dengan duodenal switch (BPD/DS). Mekanisme tindakan ini dilakukan dengan dua tahap, yakni mengeluarkan sebagian lambung dan memotong rute usus. BPD/DS menjadi operasi paling efektif untuk pengobatan diabetes dibanding tiga prosedur lainnya karena menurunkan hingga 70 persen berat badan. Sayangnya, prosedur ini butuh perawatan paling lama dan punya risiko komplikasi serta kematian paling tinggi.
“Intinya prosedur bariatrik memangkas volume lambung menjadi lebih kecil dibanding lambung normal,” papar laman resmi ASMBS.
Prosedur bariatrik memang membikin berat badan berkurang secara drastis dan permanen. Namun, individu yang menjalani tindakan ini harus menjalani diet dan pola hidup sehat, termasuk olahraga secara rutin. Bahkan, karena beberapa prosedur membikin kondisi malabsorpsi, beberapa kasus butuh disokong konsumsi vitamin seumur hidup.
“Minggu pertama pasca-operasi, [pasien] hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan cair atau lunak, tapi secara bertahap harus beralih ke ke diet seimbang normal,” ungkap NHS.
Usai operasi, pasien juga memiliki peluang menghadapi kondisi kulit bergelambir. Beberapa kasus membutuhkan operasi lanjutan untuk menghilangkan lipatan kulit berlebih tersebut. Dalam skala kecil, terdapat risiko kesehatan lain yang mengintai pasca-operasi, meliputi batu empedu, bekuan darah di kaki atau paru-paru, makanan bocor antara lambung dan usus kecil, juga usus tersumbat atau menyempit.
Editor: Maulida Sri Handayani