Menuju konten utama
Miroso

Opak Linggar: Sebuah Kisah Pengingat Masa Lalu

Opak adalah kudapan sejenis kerupuk yang terbuat dari beras ketan, kelapa sangrai, dan juga santan. Kudapan ini banyak ditemui di tanah Priangan.

Opak Linggar: Sebuah Kisah Pengingat Masa Lalu
Header Miroso Opak yang tak lekang waktu. tirto.id/Tino

tirto.id - Waktu kecil saya sering diajak ibu ke hajatan tetangga. Ingatan ini tentu saja mengembalikan masa lalu saya kala menyantap beragam macam makanan yang dihidangkan di acara-acara hajatan itu. Memang, setiap kali datang ke hajatan, mata saya tak pernah luput dari berbagai hidangan khas Priangan.

Ada kue basah seperti wajit, nagasari, maupun ciyu. Ada juga penganan kering yang digoreng seperti rangginang, atau kudapan yang dipanggang seperti opak.

Ya, opak. Makanan ini kerap menjadi perhatian saya dan seolah mempunyai tempat tersendiri saat dijajakan dengan kudapan lainnya. Biasanya opak disimpan di dalam toples dan disejajarkan dengan rangginang, saroja atau kicimpring. Penganan ini terbuat dari bahan dasar ketan. Bentuknya bulat dan teksturnya tidak begitu keras.

Yang membuat opak jadi istimewa, salah satunya, karena cara membuatnya yang cukup merepotkan. Sebelum dipanggang, bahan-bahan dasar berupa beras ketan, parutan kelapa, dan santan dicampur menjadi satu. Kemudian ditaburi garam atau penyedap rasa saat dimasukan ke dalam panci untuk kemudian dikukus setengah matang.

Setelah itu, ketan yang sudah dikukus dibentuk pipih kecil-kecil sampai berbentuk bulatan. Setelah berbentuk bulat tipis, opak setengah jadi ini akan ditaruh di atas nyiru besar untuk dijemur sampai benar-benar terasa kering. Proses penjemuran ini biasanya memakan waktu yang cukup lama. Setelah terlihat kering, barulah opak mentah ini dihadapkan ke bara api untuk digarang, hingga tampak mengembang dan bertekstur renyah.

Beberapa hari yang lalu kawan saya, Arif, mengajak saya berkunjung ke rumah produksi opak di Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Tempatnya tidak jauh dari kediaman Arif, tepat di ujung gang sempit yang hampir menembus Jalan Warung Cina.

Rumah produksi opak itu kepunyaan Pak Eno Suhanda. Kawan saya bilang Pak Eno merupakan satu-satunya orang di antara sekian banyak pembuat opak tertua di Linggar yang masih hidup. Saat ini umurnya sudah menginjak 84 tahun. Dalam memproduksi opak, Pak Eno selalu ditemani anak bersama istrinya. Sementara proses pembuatan opak dimulai dari pukul 5 subuh sampai menjelang azan zuhur.

Menjual opak mungkin tak ada dalam bayangan Pak Eno sebelumnya. Pada 1996, dia pensiun dari pekerjaan sebelumnya sebagai staf bagian Pekerjaan Umum (PU) di kantor pemerintah kota Bandung. Dari sana, ia memutuskan untuk membuat opak untuk dijual di rumahnya.

Di teras depan rumah Pak Eno kami berbincang-bincang tentang tetek bengek opak. Pak Eno orangnya ramah. Ia menerima kami dengan hangat bahkan memberlakukan kami lebih dari sekadar tamu biasa. Obrolan kami semakin hangat ketika Deni, anak laki-laki Pak Eno, membawakan kami satu piring opak sebagai hasil produksi di rumahnya itu.

Menariknya, opak Pak Eno tidak dijajakan secara terbuka, sebagaimana yang dilakukan oleh para pedagang lain dengan sengaja membuka kios di pinggir jalan. Pak Eno hanya menerima pesanan opak untuk langsung ditemui ke rumahnya.

Selain opak, Deni juga menyajikan kami dua gelas air putih hangat dan satu piring kue kelontong yang konon masih berbahan dasar sama seperti opak. Itulah mengapa di kampung halaman saya banyak orang menyebut kelontong sebagai opak rasa manis. Meskipun dari segi bentuk kelontong memiliki tampilan yang khas.

Infografik Miroso Opak yang tak lekang waktu

Infografik Miroso Opak yang tak lekang waktu. tirto.id/Tino

Setelah mendarat di meja sebelah kami Pak Eno mempersilakan untuk mencicipi. Tanpa basa-basi saya pun langsung mengambil kudapan yang melekat dengan nama Linggar itu, seraya mendengarkan Pak Eno menceritakan perbedaan opak Linggar dengan opak yang dibuat di desa-desa lain.

Sejauh ini pembuatan opak memang tidak hanya diproduksi di satu wilayah saja. Yang saya tahu, produksi opak di Priangan telah menyebar ke daerah bagian timur hingga daerah-daerah yang terdapat di sebelah barat Priangan.

Misalnya, produksi opak yang masih eksis di kawasan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Atau opak yang berasal dari Kabupaten Tasikmalaya. Kebetulan, kakak ipar saya setiap satu tahun sekali selalu membawa opak dari rumahnya di kawasan pantai selatan Cipatujah. Sehingga saya tahu betul seperti apa rasa opak dari Tasikmalaya. Kita juga tidak bisa melupakan opak dari Kabupaten Sumedang. Hasil olahan ketan itu kerap dijajakan di warung-warung pinggir jalan sebagai jajanan atau oleh-oleh khas dari Jawa Barat.

Setelah saya cicipi, opak buatan Pak Eno jelas memiliki rasa yang khas, berbeda dengan opak yang diproduksi di daerah lain. Teksturnya lebih renyah. Bahkan opak yang dibuat Pak Eno terasa lebih gurih dan sedikit menyeruak rasa manis saat dikunyah. Beda dengan opak yang pernah saya makan, teksturnya agak sedikit keras tanpa rasa manis.

Tentu saja, opak Pak Eno lebih unggul menurut saya, karena mengandung santan yang lebih kental. Sehingga perbedaannya sangat kentara dari opak lain yang cenderung asin dan sedikit kandungan santan. Sekurang-kurangnya, ini yang dirasakan oleh lidah saya.

Di desa Linggar pembuatan opak sudah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda. Menurut penjelasan Pak Eno, produksi opak di desa Linggar telah menjadi tradisi secara turun-temurun dari nenek moyangnya terdahulu. Kala itu orang membikin opak tidak untuk dijual. Masing-masing membuat opak sebagai penganan di bulan puasa atau dijadikan makanan pendamping di tengah-tengah hari raya Lebaran. Dengan kata lain: dikonsumsi sendiri.

Sementara untuk proses produksi, para tetangga dan sanak-saudara saling bahu-membahu secara teknis maupun resep. Prinsip guyub seperti ini tampaknya berjalan sampai tahun 90-an. Belakangan opak menjadi mata pencaharian sampingan bagi sebagian masyarakat Linggar dan mempunyai brand khusus dengan nama opak Linggar yang disematkan pada desa tempat Pak Eno tinggal kini.

Di rumahnya, Pak Eno menjual satu kantong opak seharga Rp40 ribu. Sedangkan untuk satu blek berukuran sedang berkisar Rp125 ribu. Harga ini relatif murah jika dibandingkan dengan cara pengolahan yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari.

Nama beken opak Linggar tak hanya terdengar di sekitar. Pelanggan mereka sudah sampai luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatera.

Di hari biasa, pembeli biasanya menjadikan opak sebagai oleh-oleh bagi para sanak saudara. Di kala Ramadan ini, penjualan opak meningkat drastis ketimbang hari biasa. Ini terjadi karena banyak orang menjadikan opak sebagai kudapan setelah berbuka puasa.

"Bisa sampai 20 kilogram ketan sehari," kata Pak Eno. []

Baca juga artikel terkait OPAK atau tulisan lainnya dari Hafidz Azhar

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Hafidz Azhar
Penulis: Hafidz Azhar
Editor: Nuran Wibisono