Menuju konten utama

Omiyage dan Postkarte, Tradisi Oleh-Oleh dari Dua Benua

Antara suvenir untuk mengingat dan oleh-oleh untuk nostalgia: dua cerita dari Jepang dan Jerman.

Omiyage dan Postkarte, Tradisi Oleh-Oleh dari Dua Benua
Ilustrasi. Makanan tradisional pia-pia khas Malang yang dikemas sebagai oleh-oleh. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto.

tirto.id - Kata "suvenir" dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata souvenir (Inggris). Kata souvenir dalam Inggris sendiri berasal dari kata yang sama dalam bahasa Prancis. Ditarik lebih jauh, souvenir Perancis berasal dari kata subvenire dalam bahasa Latin.

Subvenire, menurut kamus daring Merriam-Webster, bermakna "terpikir" atau "timbul dalam ingatan". Souvenir dalam bahasa Prancis, sementara itu, bermakna "mengingat". Kamus yang sama mendefinisikan souvenir dalam bahasa Inggris sebagai "sesuatu yang berfungsi sebagai pengingat".

"Suvenir" memiliki makna yang kurang lebih sama dengan souvenir. Menurut KBBI daring, "suvenir" bermakna "tanda mata; kenang-kenangan; cendera mata". Tanda mata adalah sinonim untuk cendera mata, dan definisi cendera mata sendiri menurut kamus yang sama adalah "pemberian (sebagai kenang-kenangan, sebagai pertanda ingat, dan sebagainya); tanda mata" atau "kekasih; jantung hati".

Definisi cendera mata inilah yang membuat suvenir tidak benar-benar memiliki makna yang sama dengan souvenir. Dalam bahasa Inggris, fungsinya murni sebagai pengingat. Kamus daring Merriam-Webster menampilkan dua contoh penggunaan kata souvenir dalam kalimat, dan dalam keduanya souvenir berfungsi sebagai pengingat saja. Sementara itu, definisi "suvenir" menurut KBBI membuat suvenir memiliki fungsi lain di luar pengingat: sebagai buah tangan.

Buah tangan, menurut KBBI, adalah "hasil pekerjaan" atau "barang yang dibawa dari bepergian; oleh-oleh". Oleh-oleh sendiri memiliki pengertian yang tidak terlalu berbeda yaitu "sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan".

Jika oleh-oleh bermakna sama dengan suvenir, maka menerima oleh-oleh berarti diingat oleh pemberinya. Dengan demikian, setiap celetukan “jangan lupa oleh-oleh, ya!” kepada yang bersangkutan, pertanyaannya kemudian: pantaskah meminta buah tangan? Pantaskah meminta diingat?

Oleh-Oleh a la Jepang

Di Jepang, memberi buah tangan sudah menjadi semacam kewajiban sosial. Pemberi buah tangan adalah pelancong atau orang yang bepergian untuk urusan pekerjaan, dan penerimanya adalah keluarga yang tidak bisa ikut melancong atau rekan kerja. Buah tangan ini bernama omiyage.

Omiyage adalah makanan khas dari daerah yang dikunjungi, dijual di toko-toko di daerah wisata dalam kemasan khusus agar mudah ketika dibagikan. Tidak seperti suvenir dan oleh-oleh yang bisa bermakna sama, omiyage memiliki makna tersendiri.

Menurut Yuichiro Suzuki, penulis Omiyage and the Railway: Omiyage diterjemahkan sebagai souvenir dalam bahasa Inggris, namun keduanya sedikit berbeda.

Yuichiro Suzuki sebagaimana dikutip dari Japan Today. “Souvenir adalah sesuatu yang dibeli oleh pelancong untuk dirinya sendiri untuk mengingat perjalanan. Di Eropa dan Amerika Serikat, toko-toko stasiun kereta dan bandara dipenuhi oleh gantungan kunci dan barang-barang bukan makanan untuk tujuan ini. Tapi omiyage Jepang secara khusus merupakan makanan yang diproduksi di wilayah tempat wisata. Juga, omiyage bukan untuk dikonsumsi oleh pelancong, melainkan untuk diberikan kepada rekan kerja atau kawan-kawan.”

Selain di Jepang, omiyage juga dapat ditemui di Hawaii dalam bentuk kacang macadamia berbalut coklat. Menurut Yuichiro Suzuki, hal ini merupakan kreasi orang-orang Jepang-Amerika dan dipengaruhi oleh budaya omiyage.

“Prancis juga memiliki kue Mont Saint-Michel yang populer dan memiliki tujuan sama dengan omiyage, namun ini adalah pengecualian,” tambah Yuichiro Suzuki. “Jumlah omiyage makanan di toko suvenir Barat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan toko-toko di Jepang.”

Infografik Jangan Lupa minta oleh oleh

Oleh-Oleh Kartu Pos

Lain Jepang, lain pula Jerman. Tidak ada omiyage di Jerman, namun ada budaya mengirim kartu pos dari tujuan melancong.

Pada 1865, Heinrich von Stephan yang saat itu mengemban jabatan direktur jenderal pos Kekaisaran Jerman mengajukan gagasan “mailing card”. Gagasan von Stephan ditolak karena beberapa pihak merasa privasinya tidak aman dengan cara ini, mengingat pesan yang tertulis dalam kartu bisa dibaca oleh siapa saja. [link]

Ditolak di Jerman, gagasan Von Stephan diterima di Austria pada 1896 dengan sebutan Correspondenz-Karte (kartu korespondensi). Setahun berselang, negara bagian Bayern, Wurttember, dan Baden mulai terbuka kepada kartu pos. Jerman kemudian menjadi pemuka dalam produksi kartu pos.

Dalam prosesnya, kartu pos semakin populer dan para seniman mulai tertarik masuk ke bisnis kartu pos. Kartu pos dicetak secara hukum dan diberi nomor seri, dan pada akhirnya memiliki nilai yang tinggi di antara para kolektor.

Kartu pos terus bertahan hingga saat ini. Budaya berkirim kartu pos memang perlahan terkikis karena kemajuan teknologi, namun mengirim Postkarte kepada kawan dan keluarga masih menjadi pilihan favorit, yang murah meriah tetapi mampu memenuhi tujuan menunjukkan perhatian.

Kartu pos atau omiyage, gantungan kunci atau magnet, sebagai oleh-oleh untuk orang lain atau sebagai suvenir untuk diri sendiri, pada akhirnya, kembali kepada masing-masing pelancong. Tidak sama sekali pun rasanya tidak apa-apa. Mengenai meminta, itu juga kembali kepada masing-masing dari kita. Walau, tentu akan lebih menyenangkan kalau diingat tanpa meminta. Bukankah begitu?

Baca juga artikel terkait TRADISIONAL atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Humaniora
Reporter: Taufiq Nur Shiddiq
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Zen RS