tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mendalami adanya potensi maladministrasi dalam polemik penggerebekan gudang beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago milik PT Indo Beras Utama (PT IBU), anak perusahaan dari PT Tiga Pilar Sejahtera Food, TBK (TPSF).
Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih menyatakan pihaknya menduga terdapat tiga potensi maladministrasi dalam polemik penjualan beras yang melibatkan PT IBU tersebut. Pertama, tentang pemberian informasi kepada para penegak hukum dan masyarakat yang tidak valid dan berpotensi menyesatkan. Kedua fungsi pengawasan dari lembaga yang ada, apakah berjalan atau tidak.
“Itu yang akan kami cek, bagaimana mekanismenya. Ketiga, proses pembuatan regulasi yang ada di sini perubahan-perubahan cepat ini, apakah ada maladministrasi, atau tidak motifnya apa. Apakah sesuai prosedur,” kata Alamsyah, di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/7/2017).
Baca juga:
- Terungkapnya Dugaan Kasus Beras Oplosan Versi Polisi
- Nyawa Bisnis Tiga Pilar Ada di Beras Maknyuss Cs
Terkait pemberian informasi yang tidak valid itu, kata Alamsyah, menyebabkan keresahan dan spekulasi di masyarakat yang akhirnya merugikan PT IBU dan menghambat proses penyidikan oleh Polri.
“Itu kan ada instansi-instansi yang menyebut kerugian Rp10 triliun karena kasus ini. Kami akan selidiki itu, apakah informasinya valid atau tidak. Informasi-informasi ini yang diterima penegak hukum. Ini bisa menghambat penyidikan. Kalau memang tidak valid, kami meminta instansi-instansi tersebut untuk membenahi proses olah informasi mereka," kata Alamsyah.
Sementara terkait fungsi pengawasan, Alamsyah menilai tidak ada early warning system dari instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Sehingga, menurutnya, ini menimbulkan polemik ketika telah terjadi kasus.
“Hasil pembicaraan kami, mereka sudah bersedia untuk membenahi early warning system-nya untuk mencegah hal-hal seperti ini tidak terulang," kata Alamsyah.
Selanjutnya soal regulasi, Alamsyah menilai adanya perubahan regulasi dari Inpres No 5 tahun 2015, lalu Permendag No 27 tahun 2017 yang dikeluarkan pada Mei, kemudian Permendag No 47 tahun 2017 yang dikeluarkan bulan Juli telah menyebabkan perbedaan persepsi di antara instansi.
“Kementan bilangnya harga acuan itu ya untuk diacu saja. Sedangkan, Polri masih mengacu kepada peraturan [Permendag] No 27, tapi sudah ada lagi no 47. Dan peraturan itu mengacu kepada Harga Ecerab Tertinggi (HET) 9 ribu rupiah. Ini yang kita dalami, pas atau tidak segitu," kata Alamsyah.
Tiga hal tersebut, kata Alam, akan disusun oleh pihaknya lalu disampaikan ke Presiden dan DPR untuk ditindaklanjuti dalam langkah korektif.
Sementara itu, Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Aridono Sukmanto yang diundang oleh ORI menyatakan bahwa kasus beras tidak hanya soal PT IBU saja di Indonesia."Kasus pangan khususnya yang dikendalikan itu untuk jenis beras ini komoditi beras yang banyak masalah ada sekitar 41 kasus beras dengan berbagai modus oplos kemudian kapur putih, ada berbagai macam kasus,” kata Aridono.
Sampai saat ini, dirinya menyatakan Satgas Pangan Polri juga masih melakukan penyelidikan. Untuk itu, ia menyayangkan adanya spekulasi yang terlalu dini dari berbagai pihak.
"Kan udah dijawab. Kan kita meneliti. Ada perbuatan pidana. Mencari bukti, melengkapi bukti. Selanjutnya kalau pidana jelas dan nyata memang ada siapa yg harus bertanggung jawab nanti setelah kita lakukan gelar perkara,” katanya.
Aridono menyatakan penyidik menduga terdapat tindak pidana dalam proses produksi dan distribusi beras yang dilakukan PT IBU sebagaimana diatur dalam pasal 382 Bis KUHP dan pasal 141 UU 18 tahun 2012 tentang Pangan serta pasal 62 UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku bisa diancam hukuman 5 tahun penjara.
Baca juga:
- Maknyuss & Ayam Jago, 2 Merek Beken Tersandung Kasus Oplosan
- Dua Tudingan Pelanggaran oleh Produsen Beras Maknyuss
Dalam bahan paparan publik yang diterima Tirto, Selasa (25/7/2017), juru bicara PT IBU, Jo Tjong Seng mengklarifikasi beberapa hal terkait temuan Satgas Pangan Polri tersebut.
Salah satunya, kata Jo Tjong Seng, pihaknya membantah tuduhan menimbun beras sebanyak 1.161 ton di gudang mereka yang berlokasi di Bekasi. Menurutnya, beras tersebut merupakan stok penjualan satu minggu ke depan.
Pihaknya juga menepis anggapan bahwa PT IBU berusaha mematikan pelaku usaha lain dengan membeli gabah pada petani dengan harga yang sangat tinggi, yakni Rp4.900. Menurutnya, petani berhak untuk menjual dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kepada Bulog, atau harga yang lebih tinggi kepada penggilingan manapun.
Menurut Jo Tjong Seng, PT IBU membayar gabah bersih dan bernas dari kelompok tani yang diterima di gudang PT IBU. Harga yang dibayar oleh PT IBU sudah termasuk insentif bagi petani yang memenuhi parameter mutu PT IBU.
Sebelumnya, Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi menyebutkan PT IBU membeli gabah dengan harga Rp4.900 per kilogram dari petani, padahal harga yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebesar Rp3.700 per kilogram. Dampaknya para perusahaan beras lain tidak bisa membeli harga tersebut dari petani karena terlalu tinggi.
Di sisi lain, PT IBU juga menjual beras dengan harga kelas premium pada harga Rp13.700 - 20.400 per kilogram di pasar ritel dan umum. Sementara dari segi kualitas, beras yang diklaim sebagai beras premium itu, ternyata rata-rata hanya berjenis IR 64 yang merupakan beras jenis medium yang proses produksinya mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz