Menuju konten utama

OJK Sebut Mayoritas Pidana Perbankan Masih Terjadi di BPR

Data OJK menyebutkan mencatat kasus tindak pidana perbankan sepanjang 2014-2016 paling banyak masih terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). 

OJK Sebut Mayoritas Pidana Perbankan Masih Terjadi di BPR
(Ilustrasi) Petugas melayani keluhan masyarakat melalui Layanan Konsumen "Sigap" di kantor Finansial Customer Care Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Kamis (17/11/2016). ANTARA FOTO/Septianda Perdana.

tirto.id - Direktur Investigasi Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendra Jaya Suleman mencatat kasus tindak pidana perbankan sepanjang 2014-2016 paling banyak masih terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Hendra menyatakan pada 2016 OJK mencatat ada sebanyak 21 kasus tindak pidana perbankan di BPR yang dilimpahkan oleh penyidik di seluruh Indonesia. Jumlah ini relatif lebih banyak dibandingkan kasus pidana perbankan di bank swasta yang hanya nol dan BPRS hanya empat kasus.

"BPR yang paling banyak," kata dia di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (5/4/2017) seperti dilansir Antara.

Hendra memerinci kasus tindak pidana perbankan di BPR tercatat paling banyak terjadi pada 2014 yaitu sebanyak 50 kasus. Kemudian di tahun 2015 sempat turun hingga 15 kasus. Jumlah itu naik kembali pada 2016 menjadi sebanyak 21 kasus.

Menurut Hendra, data OJK juga mencatat, pada 2016, penyimpangan yang terjadi di BPR dan BPRS, mayoritas terjadi saat proses pendanaan yaitu sebanyak 13 kasus dengan nominal Rp48,483 miliar, disusul penyimpangan perkreditan sebanyak 12 kasus senilai Rp46,969 miliar.

Sepanjang OJK berdiri, Hendra melanjutkan, sudah menutup sejumlah BPR yang 88 persen di antaranya karena alasan fraud.

"Kesengajaan nyata, dalam upaya memperkaya diri sendiri, oleh komisaris, pengurus dan lainnya," kata Hendra.

Dia menjelaskan modus tindak pidana perbankan tersebut antara lain tidak mencatatkan dana yang ditabung oleh nasabah. Selain itu dengan memanfaatkan permohonan kredit fiktif, yang menggunakan data nasalah lama yang sudah melunasi kredit, atau memakai data debitur yang permohonannya tidak disetujui.

Menurut Hendra, ada beberapa alasan tindak pidana perbankan lebih banyak terjadi di BPR. Menurut dia, sebabnya ialah sulitnya mendapatkan sumber daya manusia yang baik, perangkat manajemen yang relatif sedikit dibanding bank umum, dan kurangnya pengawasan dari otoritas.

"Sulit mencari orang-orang yang mau bekerja di BPR, mungkin karena lokasi jauh. Pengawasannya juga belum ketat," kata dia.

Di tempat yang sama, Investigator Eksekutif OJK, Syahrial Aziz menyatakan banyaknya kasus pidana perbankan di BPR karena kurangnya pengawasan pimpinan bank. Semestinya, pimpinan bank memperhatikan dan mengawasi pola kerja pegawainya secara ketat.

"Harus dada kontrol ketat di internal," kata dia.

Baru-baru ini kasus tindak pidana perbankan besar yang menyita perhatian OJK ialah pemalsuan bilyet deposito yang merugikan lima nasabah Bank Tabungan Negara (BTN) hingga senilai Rp256 miliar. BTN mengklaim telah menyelamatkan dana nasabahnya sebesar Rp140 miliar di penanganan kasus ini. Pidana perbankan ini diduga melibatkan dua kepala kantor kas BTN.

Baca juga artikel terkait OJK atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom