tirto.id - Revolusi transportasi di Dhaka, Bangladesh dimulai 2016. Layanan ride-sharing, konsep transportasi online berbasis aplikasi smartphone masuk ke sana. Pada April, SAM, startup yang berarti “share a motorcycle" muncul di Bangladesh.
Setelah itu bermunculan startup ride-sharing lain seperti Shohoz, Cholo, hingga Amar Bike. Baru baru ini, pada November 2018, Bangladesh kedatangan Uber.
Kehadiran transportasi online disambut gembira masyarakat Bangladesh. Salah satu alasannya, ride-sharing diyakini bisa mengatasi masalah kemacetan, khususnya di ibu kota Dhaka. Di pusat Bangladesh tersebut ada lebih dari 300 ribu mobil pribadi yang lalu-lalang di jalanan tiap harinya. Ini membikin jalanan sumpek. Layanan ride-sharing yang hadir di Bangladesh mayoritas berkonsep sepeda motor, termasuk Uber dengan menghadirkan UberMoto. Konsep ride-sharing yang mudah menembus kemacetan.
SAM merupakan ride-sharing berbasis sepeda motor. Imtiaz Kashem, si pendiri, mengatakan sebelum SAM meluncur, ride-sharing adalah konsep baru di Bangladesh. Sehingga mereka terlebih dahulu meminta restu pada pemerintah Bangladesh via Road Transport Authority (BRTA) beserta beberapa kementerian terkait.
Sayangnya, otoritas Bangladesh bergeming seperti kebanyakan pemerintah di dunia menghadapi jasa transportasi online. Dilaporkan bdnews24.com, otoritas Bangladesh membalas permintaan SAM dengan "pil pahit". Pemerintah mengeluarkan ketentuan pelarangan beroperasinya ride-sharing di media massa. Uber memperoleh stempel “ilegal.” Revolusi transportasi di Bangladesh terancam gagal.
Apa yang terjadi di Bangladesh tak mengherankan. Di banyak negara terjadi gejolak persoalan legalitas operasional ride-sharing. Apalagi jika ride-sharing yang dimaksud berkonsep sepeda motor. Di Malaysia, sebagaimana diwartakan Malaysia Kini, melalui The Road Transport Department (RTD), Malaysia melarang keras penggunaan motor sebagai alat transportasi umum. Padahal, terdapat 6.000 motor yang telah diregistrasi pada Dego Ride, startup ride-sharing berbasis motor ala Malaysia.
Dego Ride cukup diminati di Malaysia. Dengan hanya 2,5 ringgit, pengguna bisa bepergian sejauh 3 kilometer. Lebih dari jarak itu, pengguna hanya dikenakan tambahan biaya sebesar 0,6 ringgit per kilometer.
Sayangnya, kenikmatan warga Malaysia itu mesti sirna. Pemerintah Malaysia tak segan untuk menyita motor yang digunakan driver ojek online. Valluvan Veloo, Direktur Divisi Penegakan RTD, mengatakan “saya mengeluarkan peringatan kali ini bahwa kami tidak akan melakukan panggilan, tetapi akan langsung merebut sepeda motor mereka.”
Otoritas Bangladesh akhirnya melakukan sesuatu yang berbeda dengan di Malaysia. Di 2016, Bangladesh memang melarang, tetapi pada 2017 otoritas mengeluarkan regulasi bernama “The Ridesharing Service Policy.” Aturan berisi delapan bagian yang mengatur dunia ride-sharing di negeri itu, bukan hanya untuk ride-sharing berbasis mobil, tetapi juga motor.
Regulasi The Ridesharing Service Policy merupakan hasil kerja Bangladesh Road Transport Authority (BRTA), otoritas pemegang kuasa transportasi publik di Bangladesh. Pada Februari 2017, mereka mengirim draf regulasi pada parlemen setempat. Pada Juni tahun yang sama, draf dikirimkan ke Kementerian Perhubungan. Per tanggal 15 Januari 2018, regulasi itu akhirnya resmi berkekuatan hukum tetap untuk mengatur dunia ride-sharing Bangladesh.
Beberapa poin kunci dari The Ridesharing Service Policy ialah para pengemudi wajib memiliki “Ridesharing Service Provider Enlistment Certificate,” semacam SIM khusus untuk bisa membuat masyarakat umum menarik penumpang. SIM tersebut, jika diperoleh, berlaku hanya untuk 3 tahun dan harus diperpanjang kembali jika si pemilik hendak melanjutkan profesinya sebagai pengemudi ride-sharing. Untuk membuat SIM, pengemudi wajib menyetor uang sebesar 500 Taka untuk motor atau 1.000 Taka untuk mobil atau sekitar Rp80-170 ribu.
Bagi startup, ada patokan tarif yang mesti mereka patuhi. Layanan ride-sharing berbasis mobil tarifnya tidak boleh melebihi jumlah yang disebutkan dalam “Taxicab Service Guideline,” aturan tentang taksi konvensional yang diterbitkan pada 2010. Sementara itu, regulasi tak mengatur soal tarif ride-sharing berbasis motor.
The Ridesharing Service Policy tak sempurna terutama dari kaca mata pengelola aplikasi ride-sharing. Salah satu yang dikritisi ole antara lain soal aturan pengemudi ride-sharing dilarang bekerja untuk lebih dari satu aplikasi.
Imtiaz Kashem pendiri SAM menyebut bahwa aturan tersebut menjadikan pengemudi sebagai “pegawai” startup alih-alih mitra. Kritikan lainnya tertuju soal murahnya biaya yang mesti disetorkan startup untuk bisa beroperasi, angkanya hanya 100.000 Taka sekitar Rp17 juta. Nilai yang terlampau kecil dengan pasar ride-sharing.
Adanya regulasi resmi soal ride-sharing, khususnya juga mengatur ride-sharing berkonsep motor, Bangladesh boleh jadi yang terdepan. Negara-negara di kawasan Asia lainnya masih bergeming untuk mengatur ride-sharing berkonsep motor, alasannya karena motor sangat riskan terkait keselamatan. Misalnya terjadi di Singapura, Filipina, hingga Thailand. Di Indonesia saat menteri perhubungan dipegang Ignasius Jonan, sempat melarang motor untuk keperluan ojek online karena bertentangan dengan UU lalu lintas, meski pada akhirnya dibatalkan.
Di Singapura, selain tak melahirkan regulasi soal ride-sharing berbasis motor, pemerintah membatasi umur kendaraan beroda dua. Tujuannya, pemerintah ingin moda transportasi itu perlahan lenyap dari jalanan. Kebijakan itu ialah memberikan ganjaran uang insentif hingga $3.500 jika para pemilik motor yang memiliki motor yang diregistrasi sebelum 1 Juli 2003 dan melakukan deregistrasi kepemilikan motor mereka. Menurut perkiraan, ada sekitar 27 ribu motor di Singapura yang masuk kriteria memperoleh insentif kebijakan deregistrasi.
Di Filipina, tak adanya regulasi ride-sharing berbasis motor karena adanya aturan yang bertentangan. Rambo Talabong, jurnalis Rappler, dalam salah satu artikelnya, menyebutkan layanan ride-sharing motor adalah ilegal di Filipina. Mengutip aturan di Filipina, Republic Act 4136 menyebutkan sepeda motor merupakan kendaraan pribadi, dan oleh karenanya tidak bisa digunakan untuk membawa penumpang dalam kerangka mencari keuntungan.
“Kendaraan pribadi hanya bisa digunakan oleh pemiliknya, dan tidak bisa digunakan untuk mengantar pihak asing dengan maksud mencari uang,” tulis Talabong.
Sementara di Thailand, tak adanya aturan soal ride-sharing berbasis motor karena negeri itu telah lebih dahulu merangkul ojek motor secara informal. Di Thailand, ada 100 ribu tukang ojek terdaftar. Diakui sebagai kerja informal, tetapi tak dibuatkan regulasi khusus.
Bila melihat kasus Bangladesh, aturan main ojek online memang masih banyak celah dan kontroversi. Bagaimana dengan di Indonesia? kita tunggu awal 2019.
Editor: Suhendra