tirto.id - Dalam Indonesian Diary, yang belakangan terangkum dalam arsip Kedutaan Amerika di Jakarta 1964-1967 alias Jakarta Embassy Files (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 31, Folder 10 TP 15 trade and investment opportunities 1967), Elliot Haynes mencatat seorang penerbit bernama Oejeng Soewargana. Oejeng dimasukkan sebagai salah satu peserta pertemuan meja bundar yang akan dihadiri para pengusaha dan pejabat di awal Orde Baru.
Tercatat dalam arsip, pada 1967 Oejeng beralamat di Jalan Garut nomor 18, Jakarta. Nomor teleponnya: 51660. Dia bertemu Haynes pada 5 Desember 1967 antara pukul 10.50 hingga 12.10. Haynes mencatat, ketika bertemu dengannya, Oejeng—yang doyan melakukan studi soal komunis itu—sedang menjalani puasa Ramadan.
Dalam pertemuan, Haynes merekomendasikan buku-buku seperti The Communist Party of Indonesia 1951-1963 (Donald Hindley, 1964), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Herbert Feith, 1962), dan The Communist Revolution in Asia (Robert Scalapino, 1965).
Penulis dan Guru Anti-Komunis
Sebagai penulis buku pelajaran sejarah, Oejeng Soewargana termasuk penulis yang dipinggirkan pada 1960-an. Menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 345), bukunya dilarang karena ia tidak mau mengubah sebutan “Pemberontakan Madiun” menjadi “Peristiwa atau Affair” yang melekat pada Partai Komunis Indonesia (PKI). “Perkataan 'pemberontakan' tidak diperbolehkan. Kata 'pemberontakan' harus diganti dengan 'peristiwa' (affair),” tulis Poeze. Di dunia perbukuan, Oejeng dikenal sebagai tokoh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Menulis buku pelajaran jelas terkait dengan latar belakang pendidikan Oejeng. Seperti Abdul Haris Nasution, ia juga pernah belajar di sekolah guru. Dari Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) Bandung, Oejeng lulus tahun 1938.
Bagi Nasution, Oejeng Soewargana lebih dari teman sekelas. Nasution mengaku dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990: 35), Oejeng seperti “saudara kandung sendiri sampai akhir hayatnya.”
Meski ada yang menyebut Oejeng sempat masuk pendidikan perwira cadangan Belanda, Corps Opleiding tot Reserve Officieren (CORO), Nasution tak menyinggung masuk atau tidaknya Oejeng ke korps itu. Hanya disebut Oejeng sempat berdinas di TNI dengan pangkat akhir mayor pada 1950.
“Setelah berhenti dari dinas ketentaraan, lalu bekerja di percetakan AC Nix, di Jalan Gereja No. 3, Bandung,” tulis Tatang Sumarsono & Erna Garnasih Pirous dalam Membela Kehormatan Angklung: Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna (2007: 139). Di situ Oejeng banyak menulis buku teks untuk sekolah-sekolah yang diterbitkan oleh A.C. Nix.
“Bukunya sukses karena dibeli oleh pemerintah untuk digunakan di sekolah-sekolah. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, A.C. Nix dibeli oleh Oejeng dan perusahaan itu berubah nama menjadi Ganaco,” tulis Ajip Rosidi dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan Otobiografi Ajip Rosidi (2008: 352).
Menurut catatan Tatang Sumarsono & Erna Garnasih Pirous, perusahaan ini pernah berjaya cukup lama dan dikenal sebagai penerbit buku-buku pelajaran dan umum, juga mencetak media massa. Abangnya, maestro angklung Daeng Soetigna, punya andil dalam membesarkan Ganaco. Isterinya bahkan tercatat sebagai komisaris utama dan pemegang 40 persen saham (hlm. 144).
“Di samping Ganaco, Oejeng kemudian mendirikan penerbit Masa Baru yang bukunya tidak selalu merupakan buku teks [...] Kemudian juga Oejeng mendirikan penerbit Sanggabuana dan yang lainnya,” tulis Ajip (hlm. 252).
Jika buku ajar biasa diterbitkan Ganaco atau Masa Baru, maka penerbit-penerbit miliknya menerbitkan buku-buku khusus, sering kali bersifat politis dan anti-komunis. Ketika para mahasiswa berdemonstrasi untuk menjatuhkan Sukarno, menurut Ajip, “nampak sekali Oejeng sangat antusias memberikan bantuannya. Banyak pemimpin Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang datang menemuinya.”
Seorang Agen CIA?
Ajip Rosidi pernah mendengar desas-desus jika Oejeng adalah agen CIA. “Dia mempunyai hubungan yang erat dengan pihak Amerika, mungkin dengan sepengetahuan sahabatnya, Kepala Staf Angkatan Darat (Abdul Haris Nasution), sehingga beredar desas-desus yang mengatakan bahwa Oejeng mempunyai hubungan dengan CIA. Tentu saja hal demikian sulit dibuktikan kebenarannya atau ketidakbenarannya.”
Baik Nasution dan Oejeng, yang sudah akrab sejak muda di Bandung, bukan saja dikenal sebagai sesama pendiri partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Keduanya juga anti-PKI. Willem Oltmans dalam buku Bung Karno Sahabatku (2001: 316) menyebut bahwa Nasution berhubungan dengan CIA melalui Oejeng.
“Sejak 1961 saya tahu betul mengenai hubungannya dengan CIA lewat Ujeng Suwargana dalam persiapannya mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno,” tuduh Oltmans.
Di halaman lain, Oltmans mengingat bagaimana Oejeng—yang menurutnya sering keluyuran ke Eropa Barat dan Amerika Serikat—pernah berkata dalam pertemuan mereka, “Kami akan mengisolasi Sukarno dan membiarkannya mati seperti sekuntum bunga yang tidak diberi air” (hlm. 169).
Oejeng Soewargana disangka bernama Oey Eng Soe dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 282) yang disusun Sam Setyautama. Sementara menurut Helius Sjamsuddin & Hidayat Winitasasmita (hlm. 4) dan Tatang Sumarsono & Erna Garnasih (hlm. 8), Oejeng adalah anak dari mantri guru bernama Mas Kartaatmadja dengan perempuan bernama Endah.
Meski tak selamanya bersama kapur tulis di hadapan siswa layaknya seorang guru, Oejeng yang banyak terlibat di dunia kepenulisan dan penerbitan, telah menjadi guru bagi ribuan pembaca bahan ajar yang dibuatnya. Setidaknya Oejeng Soewargana adalah guru yang anti-komunis. Sebagai mantan guru kelas yang punya pemikiran luas, Oejeng dikenal sebagai orang yang menolak matematika modern diajarkan di sekolah tingkat rendah, karena anak-anak belum mampu berpikir abstrak.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan