Menuju konten utama

Obsessive Love Disorder, Ketika Cinta Mewujud Jadi Pengekangan

Hati-hati jika pasangan Anda mulai mengontrol hidup Anda. Atau, Anda sendiri yang seperti itu?

Obsessive Love Disorder, Ketika Cinta Mewujud Jadi Pengekangan
Ilustrasi pacaran obsesif. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sekar, bukan nama sebenarnya, masih kesal jika mengingat hubungannya dengan sang mantan delapan tahun silam. Menurut perempuan berusia 27 tahun ini, saat itu hidupnya selalu di bawah pengawasan pacar.

“Awal-awal, sih, biasa saja, tapi lama-lama dikit-dikit sms, ngecek lagi di mana. Kalau enggak langsung balas, pasti sudah telepon terus. Kan ngeselin,” kata Sekar.

Saking kesalnya, Sekar pernah berbohong kepada sang mantan, tapi sayang tak berjalan mulus. “Waktu itu dia nanya, aku lagi di mana, kubilang aja asal. Ternyata dia ngecek kesitu, dan aku nggak ada di lokasi,” ujar Sekar.

Perilaku seperti itu berulang hampir setiap hari. Tak jarang Sekar dibuntuti sampai ke kampus dan tempatnya bekerja, juga ingin bertemu setiap hari.

“Sering banget ngelarang aku nongkrong bareng temenku, kalo nongkrong harus jelas sama siapa dan ke mana, terus cowoknya berapa, ceweknya berapa. Kalo misal nebeng teman, harus kasih tahu nebeng siapa, cewek atau cowok. Kalau cowok, hampir pasti enggak boleh,” beber Sekar.

Suatu kali, Sekar diizinkan pergi bersama teman-temannya, tapi ternyata persetujuan itu jadi celah bagi sang mantan untuk protes ketika Sekar menolak ajakan bertemu. “Pasti buntutnya, ‘Oh, jadi kamu lebih suka main sama teman-temanmu?’ Pokoknya [dia] nuntut [untuk dijadikan] prioritas,” ujarnya.

Sekar kemudian mengungkapkan ketidaknyamanannya, tetapi sikap sang pacar tak juga berubah. Alih-alih meminta maaf, ia malah memukul. Sejak itulah Sekar segera mengubah status si pacar menjadi mantan.

Obsessive Love Disorder

Menurut situsweb Healthline, kondisi yang terjadi pada bekas pacar Sekar disebut Obsessive Love Disorder (OLD), yakni kondisi saat seseorang terobsesi pada orang yang mereka cintai. Obsesi itu membuat mereka merasa selalu ingin melindungi orang yang dicintai, sehingga merasa memiliki kendali atas pasangannya. Namun, gejala ini tidak termasuk dalam golongan gangguan kejiwaan.

Susan Forward dan Craig Buck dalam buku berjudul Obsessive Love: When It Hurts Too Much To Let Go (1991:9) mengatakan obsesi terhadap pasangan tidak muncul secara instan. Biasanya, di awal hubungan, dua sejoli masih dimabuk asmara, asyik wira-wiri sebagai “pasangan baru”, hingga terlena dan tak bisa mengatasinya.

Kekasih yang obsesif terlalu hanyut dalam jalinan kasih mereka, sehingga mengabaikan keluarga, teman, bahkan rutinitas hariannya karena sibuk memberi perhatian pada sang pacar. Akhirnya, dunia mereka menjadi sempit dan menjadi tergantung pada kekasihnya.

Bagi orang yang obsesif, kekasih mereka bagaikan dewa-dewi penyelamat hidup: seseorang yang mampu membuat bahagia, satu-satunya penyemangat di setiap masalah, dan menyebabkan candu. Perasaan itu akhirnya membuat mereka “memaksa” pasangannya untuk merasakan hal yang sama.

Pola Asuh dan Pembentukan Sikap Obsesif

Vahid Ahmadi bersama dengan empat orang koleganya pernah melakukan sebuah penelitian berjudul “Prevalence of Obsessive Love and Its Association with Attachment Styles” (2013) (PDF). Riset tersebut melibatkan 290 orang siswa di Shahid Chamran University, terdiri dari 117 responden perempuan dan 173 laki-laki.

Studi itu dilakukan karena menurut Ahmadi, dkk. cinta obsesif dapat berasal dari proses pembelajaran sosial dan efek budaya. Menurut mereka, pola asuh pada masa awal setelah kelahiran bisa mempengaruhi pola hubungan seseorang ketika dewasa.

Dari studi tersebut, mereka menemukan adanya hubungan antara cinta obsesif dan gaya kelekatan seseorang di setiap ikatan emosional yang pernah mereka jalani. Mereka yang dibesarkan dalam hubungan yang stabil, justru menjadi orang mandiri ketika dewasa dan tidak memiliki kecenderungan obsesif. Mereka bisa menganggap diri sendiri berharga.

Sebaliknya, mereka yang dibesarkan pada keluarga dengan kondisi saling tidak percaya akan menjadi orang yang mudah menaruh curiga pada orang lain, termasuk kepada pasangannya.

Lucinda Mitchell dalam artikelnya yang berjudul “Attachment to the Missing Object: Infidelity and Obsessive Love” (2000) (PDF) menguatkan riset tersebut. Perasan cinta yang obsesif itu bisa muncul akibat trauma masa lalu, misalnya perselingkuhan. Orang-orang yang obsesif khawatir jika perasaan mereka dikhianati oleh pasangannya.

Selain itu, rasa kesepian mendalam juga bisa menjadi penyebab munculnya cinta obsesif. Ketika mereka menemukan kekasih, mereka merasa telah menemukan bagian yang hilang di dirinya.

Misalnya, si obsesif tidak dibesarkan dengan perhatian utuh dari kedua orangtuanya, maka saat memiliki pasangan yang perhatian, ia merasa bahwa kerinduannya sedikit terobati, meski tak sepenuhnya bisa menggantikan perhatian tersebut.

Bagaimana Ciri Pasangan Obsesif

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasangan obsesif tak langsung terlihat di awal hubungan. Healthline menulis bahwa pasangan yang obsesif memiliki tingkat percaya diri yang rendah. Akibatnya, mereka sering menganggap bahwa diri mereka tak memiliki arti bagi orang lain.

Tak heran jika mereka terlibat dalam sebuah hubungan, mereka akan menjadi orang dengan rasa cemburu ekstrem. Hal itu membuat mereka terus memantau pasangannya, baik lewat pesan teks, email, maupun telepon. Mereka ingin memastikan pasangannya tak akan pergi.

Obsesi terhadap pasangan itu bisa membuat mereka semakin sulit mempertahankan pertemanannya, bahkan merusak hubungan dengan keluarga karena terlalu asyik memantau kehidupan seseorang.

Infografik Obsessive Love Disorder

undefined

Mengatasi Cinta Obsesif

Dalam artikel yang dimuat di Business Insider, Jonathan Marshall, seorang psikolog dan pakar asmara, menganggap cinta buta di awal kisah asmara adalah hal yang wajar. Namun, jika perasaan itu mengambil seluruh fokus utama seseorang, artinya dia telah terobsesi.

Ketika hal ini terjadi, pasangan kekasih harus saling bicara hingga bisa memahami bahwa hubungan yang baik akan membiarkan setiap pihak dalam hubungan untuk punya ruangnya masing-masing.

Obsessive Love Disorder memang tak masuk dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) yang disusun American Psychological Association, tapi jika sikap itu berpotensi membikin stres bahkan depresi, tak ada salahnya menghubungi konselor kejiwaan atau psikolog.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani