tirto.id - Nyadran menjadi tradisi rutin yang dilakukan masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Ritual ini umumnya dilaksanakan di musala, masjid setempat, dan kuburan. Nyadran diadakan untuk mengirim doa-doa kepada leluhur.
Masyarakat Jawa yang menggelar tradisi Nyadran tersebar di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Komunitas masyarakat Jawa di pulau lain juga ikut menghelat tradisi ini, seperti di Kabupaten Lampung Selatan.
Kendati begitu, pelaksanaan tradisi Nyadran oleh masyarakat Jawa cenderung berbeda-beda di setiap wilayah. Selain mengirim doa, kegiatan tersebut juga bisa berupa bersih-bersih desa, makam, ziarah, selamatan, hingga sedekah bumi.
Kapan Pelaksanaan Nyadran Tahun 2024?
Apabila merujuk pada kalender Hijriyah yang dirilis Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, tanggal 1 bulan Ramadan 1445 H bakal jatuh pada hari Selasa, 12 Maret 2024 dalam kalender Masehi.
Sementara itu, organisasi Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1445 H bertepatan dengan hari Senin, 11 Maret 2024 Masehi. Hal itu telah ditetapkan sejak Januari 2024.
Tradisi Nyadran biasanya dilakukan sebelum puasa Ramadan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tanggal 15, 20, dan 23 Ruwah dalam kalender Jawa atau Syaban dalam kalender Hijriyah.
Meski waktu pelaksanaan Nyadran berbeda-beda, tetapi tradisi Nyadran umumnya dilakukan di bulan Ruwah atau Syaban. Saat ini, bulan Syaban 1445 H/2024 telah jatuh pada 11 Februari 2024.
Bulan Syaban 1445 H berlangsung selama 30 hari atau berakhir pada 11 Maret 2024 mendatang. Dengan demikian, masyarakat yang ingin menggelar tradisi Nyadran bisa melakukannya pada kurun waktu tersebut.
Apa Makna dan Tradisi Nyadran?
Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Jogja, kata Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "Sraddha" yang berarti keyanikan. Nyadran menjadi momentum menggelar rangkaian upacara adat yang bertujuan mendoakan roh leluhur.
Nyadran juga dapat dimaknai sebagai salah satu jalan untuk mengingatkan diri pada kematian. Sifat kegiatan Nyadran yang melibatkan banyak orang menjadi sarana untuk menjaga kerukunan dan kehangatan persaudaraan.
Pelaksanaan Nyadran sebenarnya tak sekadar berziarah ke makam leluhur yang sudah meninggal. Namun, unsur-unsur sosial seperti gotong royong juga terlihat dalam tradisi Nyadran.
Meski pada praktiknya tradisi Nyadran sangat beragam di setiap wilayah, tetapi masyrakat Jawa umumnya menjalani ritual sebelum Ramadan itu dengan kegiatan-kegiatan berikut:
1. Bersih-bersih dan ziarah makam
Kegiatan bersih-bersih dan ziarah di makam terdekat maupun makam leluhur merupakan aktivitas yang biasa diadakan ketika Nyadran. Masyarakat juga membawa sejumlah hasil bumi untuk ditinggal ke area pemakaman. Sejumlah uang juga bisa ditinggalkan untuk biaya pengelolaan makan.
2. Doa bersama
Doa bersama umumnya menjadi kegiatan yang dilakukan usai pembersihan makam. Kegiatan ini biasa diadakan di hari yang sama atau satu hari setelah bersih-bersih makam selesai.
Kegiatan ini bertujuan untuk memanjatkan puji syukur kepada Sang Pencipta sekaligus mendoakan leluhur. Nyadran kerap dimanfaatkan untuk bermaaf-maafan sebelum pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadan.
3. Makan bersama
Makan bersama juga dilaksanakan jika kegiatan doa bersama selesai. Seluruh warga setempat bakal diundang untuk mengikuti makan bersama. Ini bertujuan untuk memperkuat tali persaudaraan dan persatuan.
Ketika Nyadran, makanan yang disajikan berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan masyarakat dan hasil bumi di wilayah setempat. Penyembelihan hewan ternak juga biasa dilaksanakan dalam prosesi ini. Daging hewan ternak dibagi-bagi ke masyarakat atau dihidangkan bersama.
4. Perayaan atau kenduri
Kenduri cenderung menjadi kegiatan yang opsional. Artinya, bisa dilaksanakan atau tidak. Kegiatan kebudayaan lain juga bisa diisi saat Nyadran dengan pertunjukkan wayang kulit atau pelantunan shalawat.
Penulis: Ahmad Yasin
Editor: Fitra Firdaus