tirto.id - Rapat pleno pengurus Partai Golkar kemarin (18/7/2017) memandatkan Ketua Harian Nurdin Golkar Halid dan Sekjen Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana fungsi dan tugas partai selama proses hukum Setya Novanto setelah ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi E-KTP, Senin (17/7/2017).
Mengenai hal itu, Nurdin membantah pemandatan dirinya bersama Idrus adalah upaya membekukan Setya Novanto sebagai Ketua Umum. Langkah itu menurutnya, itu untuk memberi ruang bagi Novanto menjalani proses hukum di KPK dan agar roda kinerja partai tetap berlanjut.
"O, tidak ada itu. Ini mekanisme biasa. Tentu kami masih menjunjung asas praduga tidak bersalah, sehingga organisasi ini tidak boleh menzalimi ketua umumnya. Biarkan ketua umum konsentrasi melakukan proses hukumnya. Tapi selama itu proses kinerja organisasi harus tetap berlanjut," kata Nurdin di kediaman Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie, Menteng, Jakarta Pusat (18/7).
Nurdin pun menyatakan pemandatan tersebut merupakan hal yang normatif belaka yang menjadi bagian dari sistem partai Golkar yang telah disepakati.
"Jadi ini normatif saja kalau ketua umum, bukan berhalangan ya, kalau memang sedang ada gangguan dan tidak bisa fokus, secara umum normatifnya ya ketua harian dan sekjen yang melakukan fungsi-fungsi itu," katanya.
Bahkan, Nurdin mengaku penunjukan tersebut adalah inisiatif dari Setya Novanto selaku ketua umum agar roda kinerja partai tetap berjalan yang disebutnya sebagai kebesaran hati seorang pemimpin partai.
"Nah, tadi dengan penuh kesadaran yang tinggi dari ketua umum menyadari bahwa pasti ada hambatan karena beliau juga harus fokus mengambil langkah-langkah sesuai dengan proses hukum yang dilakukan oleh KPK, sehingga beliau dengan sadar betul punya ide sendiri untuk menunjuk saya sebagai ketua harian dan sekjen untuk mengendalikan organisasi dalam keseharian," ujar Nurdin.
"Ini adalah sebuah kesadaran seorang pemimpin dan ini adalah normatif. Karena memang jabatan ketua harian itu adalah orang nomor dua setelah ketua umum. Jadi tidak ada yang spesial dan normatif saja," tambahnya.
Untuk itu, Nurdin mengaku pemandatan ini bukanlah manuver politik dan bukan untuk menghindar dari sangkaan masyarakat bahwa Golkar mempunyai ketua yang tersandung korupsi, yang dapat mempengaruhi perolehan suara partai dalam pemilu.
"Tidak ada itu. Tidak ada. Sekali lagi ini normatif saja," kata Nurdin.
Mantan ketua PSSI itu pun menyatakan dalam masa pemandatan ini tidak ada yang berbeda dalam hal pengambilan keputusan, yakni secara kolektif kolegial dengan hak prerogatif pada ketua umum.
"Di Golkar itu keputusannya kolektif kolegial. Sekalipun ada hak prerogatif dari ketum. Tapi hak itu tetap dalam sistem. Jadi seperti tadi ketua umum memutuskan untuk menunjuk saya dan sekjen sebagai pelaksana, itu diputuskan dalam rapat pleno," kata Nurdin.
"Pleno itu hierarki ketiga dalam pengambilan keputusan partai. Setelah Munas, Rapimnas, baru kemudian pleno," sambungnya.
Selain itu, kata Nurdin, pemandatan tersebut menunjukkan bahwa Golkar bukanlah sebuah partai yang terpaku pada sosok pemimpin, melainkan partai yang tunduk dan berjalan sesuai dengan sistem yang telah diatur dalam AD/ART partai.
"Kami memang terletak dalam AD/ART pasal 19 bahwa DPP adalah lembaga eksekutif tertinggi yang melaksanakan kebijakan partai dengan kolektif kolegial," katanya.
Dalam pemandatan ini, menurut Nurdin, akan berlaku selama Novanto menjalani proses hukum di KPK hingga pengadilan memutuskan inkrah dalam perkara yang tengah menjerat Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
"Ya ini tentu sampai keputusan bersifat inkrah dari pengadilan. Dan tentunya kami dari partai Golkar berdoa agar ketua umum bisa tabah dan tawakal dalam menghadapi persoalan ini dan tentunya agar beliau bisa lolos dari perkara ini dan diizinkan oleh Allah swt agar diberi pertolongan. Sehingga secara pribadi beliau bisa selamat dan partai golkar bisa melakukan fungsinya dengan baik," katanya.
Senada dengan Nurdin, Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie pun menyatakan pemandatan ini tidak bermaksud untuk membekukan Novanto secara halus sebagai ketua Golkar.
"Kan tetap berkoordinasi dengan ketua umum," kata Aburizal di rumahnya, Menteng, Jakarta Pusat (18/7).
Lebih lugas lagi, Ketua Koordinator Bidang Politik Golkar Yoris Raweyai menyatakan pemandatan Nurdin dan Idrus bukanlah sebagai pelaksana tugas (Plt) yang menggantikan Novanto.
"Tidak ada Plt. Mana ada Plt. Dia (Novanto) masih ketua umum. Jangan salah," kata Yoris di rumah Aburizal Bakrie, Menteng, Jakarta Pusat (18/7/2017).
Yoris pun menyatakan Golkar tidak sedang dalam posisi membahas pergantian Novanto sebagai ketua umum, melainkan dalam rangka konsolidasi internal partai.
"Kita di DPP tidak berpikir untuk membicarakan itu. Konsolidasi dulu," katanya.
Dirinya pun tidak mau berandai-andai Novanto akan ditahan dalam kasus korupsi e-KTP dan akhirnya harus diganti dari jabatannya sebagai ketua umum.
"Jangan berandai andai dulu. Ada yang tersangka tapi sampai sekarang belum ditahan. Ada mekanisme," kata Yoris.
Meski begitu, Yoris menyatakan tetapnya Novanto sebagai ketua umum dengan status tersangka memberi efek pada kinerja politis Golkar dalam menghadapi Pemilu.
"Itu konsekuensi-konsekuensi itulah sudah kami pikirkan. Itulah yang kami rapatkan selalu. Bahwa ada implikasi politik terhadap elektabilitas, yes. Tapi kan tidak hanya dia. Banyak sekali kader kader Golkar yang kena masalah seperti sekarang ini. Itu sudah pasti," kata Yoris.
Ditanya hal serupa, Setya Novanto sendiri pun tidak merasa dirinya sedang berada dalam pusaran manuver politik untuk meminggirkan dirinya.
"Ah, itu kita kan semuanya sudah tersistem dan semuanya kebersamaan di Golkar yang selalu dijalankan," kata Novanto di rumah Aburizal Bakrie, Menteng, Jakarta Pusat, (18/7/2017).
Selain jabatan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto saat ini juga masih menjabat sebagai Ketua DPR meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan korupsi proyek e-KTP.
Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Setnov diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Setnov disangkakan melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia terancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri & Maulida Sri Handayani