tirto.id - Dalam setiap konflik bersenjata yang melibatkan negara dan pembangkangnya, posisi negara hampir selalu unggul karena punya kekuasaan struktural, baik struktur politik ataupun militer.
Pendekatan represif lewat senjata untuk memerangi gerakan makar kerap jadi pilihan utama ketimbang pendekatan persuasif. Tapi alih-alih membuat lawan takluk dengan mudah, perang seringkali malah membuat konflik semakin panjang—selain tentu saja membuat korban jiwa berjatuhan. Presiden Kolombia Juan Manuel Santos paham akan hal ini . Dan kesadaran itu akhirnya membuat Santos diganjar nobel perdamaian tahun ini.
Di bawah pemerintahannya, Kolombia akhirnya berhasil berdamai dengan kelompok pemberontak FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia/Tentara Revolusioner Kolombia). Setelah kedua kubu berperang selama 50 tahun, konflik akhirnya terhenti.
Dalam artikel di tirto.id sebelumnya diceritakan bahwa usaha mencapai perdamaian ini memang dimulai dan digagas oleh Santos. Pada era pemerintahan sebelumnya, Alvaro Uribe, Kolombia lebih mentitikberatkan jalan pedang ketimbang diplomasi. Santos mengubahnya.
Dia selalu mengedepankan dialog. Pada 2008, saat menjabat Menteri Pertahanan, Santos terlibat aktif dalam penyelamatan politisi Ingrid Betancourt dan 14 sandera yang ditawan oleh FARC tanpa menggunakan operasi militer sama sekali.
Santos dan Perdamaian yang Diupayakannya
Santos berasal dari salah satu keluarga kaya. Orang Kolombia menyebutnya Kolombia Permanente. Pamannya, Eduardo, adalah presiden pada 1938-1942 dan sepupunya, Francisco, adalah wakil presiden dalam pemerintahan Uribe. Ayahnya adalah pemilik surat kabar nasional paling penting di Kolombia, El Tiempo, selama lebih dari 50 tahun.
Latar pendidikannya cukup bonafid. Dia sempat berkuliah di London School of Economic dan Harvard University. Setelah itu dia pulang ke tanah air dan menjadi wakil direktur surat kabar milik keluarganya. Orang yang tidak suka padanya menyebut Santos terlahir dengan sendok perak di mulutnya.
Pada 2005, Santos mendirikan dan memimpin Partai Sosial Nasional Persatuan untuk menjembatani hubungan buruk antara partai-partai liberal dan konservatif di Kolombia. Pada awalnya partai ini mendukung penuh Alvaro Uribe, dan Santos pun ditunjuk sebagai menteri pertahanan.
Namun pada Mei 2009, Santos mengundurkan diri dan memilih maju pada pemilu presiden dengan dukungan Alvaro Uribe. Kombinasi status sosial dan dukungan presiden yang sedang dalam jabatan membuat Santos menang mutlak: 69 persen berbanding 27,5 persen suara.
Kedekatannya dengan Uribe membuat banyak pihak memprediksi pola kekerasan yang sama akan digunakan oleh Santos. Tapi kenyataannya malah bertolak belakang. Pada 2012, pemerintah Kolombia memulai perundingan perdamaian dengan para gerilyawan untuk ketiga kalinya dalam sejarah, pembicaraan dilakukan di Oslo, Norwegia kemudian Havana, Kuba.
Pembicaraan berlanjut ke tahun 2013 dan 2014. Popularitasnya sempat turun akibat upaya gencatan senjata ini sehingga pada Pilpres 2014 dia hanya berhasil menang tipis 50,95% suara. Tapi kegigihannya mengupayakan perdamaian akhirnya tercapai bulan September lalu.
Santos bukanlah orang Amerika Latin pertama yang menerima hadiah Nobel Perdamaian. Sebelumnya ada politisi Carlos Saavedra Lamas dan aktivis HAM, Adolfo Pérez Esquivel dari Argentina, serta aktivis hak-hak tanah adat Rigoberto Menchu dari Guatemala. Santos sendiri adalah orang Kolombia kedua yang menjadi dianugerahi Hadiah Nobel setelah penulis Gabriel Garcia Marquez, pemenang Nobel Sastra 1982.
Santos telah memenangkan nobel. Perjanjian rekonsiliasi antara dua kubu telah ditandatangani, namun apakah perdamaian akan terwujud di Kolombia? Jawabnya mungkin tidak.
Sebelum diberlakukannya kesepakatan damai, Rakyat Kolombia berhak meratifikasi kebijakan itu lewat sebuah referendum yang digelar pada 3 Oktober lalu. Tapi hasilnya amat mengejutkan: rakyat di Kolombia menolak perjanjian damai tersebut. Hasil referendum menunjukkan kaum yang menolak dan menerima hanya berselisih tipis, yakni 50,24 persen dengan 49,76 persen–selisihnya kurang dari 63.000 suara dari total 13 juta surat suara.
Hasil referendum ini membuat proses perdamaian diselimuti ketidakpastian. “Saya tidak akan menyerah. Saya akan melanjutkan upaya mencari cara untuk berdamai hingga mandat saya terakhir,” ucap Santos.
Di luar negeri, Santos menuai pujian. Barrack Obama hingga Paus Fransiskus mengangkat jempol untuknya. Namun di dalam negeri, dia mendapati serangan bertubi-tubi. Serangan itu dilakukan oleh sang mentor, mantan presiden, Alvaro Uribe. Sosok inilah yang jadi dalang dibalik penolakan berdamai dengan FARC. Uribe bahkan mengatakan bahwa "Santos adalah penyusup FARC dalam pemerintahannya dulu."
Kolumnis ternama di Kolombia, Héctor Abad dalam kolomnya di Observer menyebut pertentangan pendapat ini tak lepas dari urusan pribadi. Uribe amat mendendam pada FARC yang telah menculik dan membunuh ayahnya pada 1983. Dia selalu menolak gerakan Santos yang dianggapnya terlalu lunak pada FARC.
Dalam upaya rekonsialisi, Santos akan akan memberikan jatah di Kongres Kolombia untuk perwakilan FARC hingga 2018. Mereka punya hak membicarakan piagam perdamaian, namun tidak memiliki hak suara. FARC pun akan diperbolehkan ikut dipilih dalam pemilu dan jaminan jatah perwakilan minimum jika suara mereka tidak cukup.
Di sisi lain, Santos juga menjajikan pengampunan dan impunitas bagi bekas anggota FARC. Ini jadi dilema tersendiri, karena dalam banyak kasus, FARC sering melakukan melakukan pelanggaran HAM berat. Elemen inilah yang jadi alat menyerang Santos.
Cesar Rodriguez Garavito, direktur Dejusticia, lembaga analisis politik di Kolombia, mengatakan Santos saat ini sedang kebingungan. Awalnya dia memprediksikan 66 persen rakyat akan mendukungnya. Santos sama sekali tidak membuat Plan-B.
Hari jumat lalu (7/10), untuk kali pertama setelah lima tahun jadi Presiden dia mengundang Alvaro Uribe. Dalam pertemuan selama tiga jam itu, Santos mempertimbangkan kehendak Uribe untuk mengganti kebijakan yang dinilai terlalu banyak memberi konsesi kepada militan FARC.
Uribe menekankan perlunya penyesuaian proposal untuk memastikan tercakupnya semua kepentingan masyarakat Kolombia. Usulan ini mencakup soal impunitas dan hak berpolitik pada mantan FARC.
Dan bola liar ini pada ujungnya akan dikembalikan pada FARC. Beberapa tindakan positif memang telah FARC lakukan, mulai dari pembersihan ranjau darat, pencarian orang yang dihilangkan secara paksa dalam konflik, juga proyek percontohan untuk mengganti tanaman koka ilegal dan penyerahan para tentara anak kepada pemerintah. Namun untuk soal impunitas dan hak berpolitik, tampaknya mereka tetap kukuh dengan kesepakatan awal.
Di tengah kebuntuan ini, secara mendadak pekan lalu Santos mengatakan bahwa batas gencatan senjata antara pemerintah dan FARC akan berakhir 31 Oktober nanti. Hal ini membuat para gerilyawan menafsirkan ini sebagai "ultimatum" dari pemerintah. FARC pun siaga namun meminta pasukannya agar tidak terprovokasi.
“Semua unit kami harus mulai bergerak ke zona aman untuk menghindari provokasi," tulis komandan FARC Pastor Alape di Twitter, tak lama setelah pengumuman.
Negosiator FARC, Carlos Antonio Lozada, mengundang warga sipil untuk berjaga di kamp-kamp FARC pada 31 Oktober untuk menahan kemungkinan pemboman. "Kami mengundang semua orang yang ingin Kolombia tanpa perang untuk datang ke kamp-kamp kami," katanya dalam sebuah twit.
Dari dua cuitan itu kita bisa menangkap kegelisahan FARC. Mungkinkah FARC akan menerima tawaran dari Santos dengan menumbalkan petinggi-petinggi mereka diserahkan ke pengadilan demi perdamaian? Sepertinya itu sukar terjadi.
Jika pimpinan FARC tak mau menerima prasyarat pemerintah untuk menyerahkan diri, maka kedua pihak akan kembali berperang ketika gencatan senjata berakhir. Itu berarti Presiden Kolombia hanya menerima Nobel Perdamaian semata sebagai plakat tanpa benar-benar terjadi perdamaian.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani