tirto.id - Unai Emery, pelatih Arsenal, meyakini bahwa adaptasi merupakan hal penting untuk tetap kompetitif. Itu sebabnya, Emery menyukai Pep Guardiola dan Diego Simeone, dua pelatih dengan kutub yang amat berseberangan.
Suatu waktu Emery ingin timnya tampil dominan ala Guardiola, tapi di waktu lain ia juga ingin timnya mampu tampil solid dalam bertahan layaknya Atletico Madrid di bawah arahan Simeone. Tujuannya satu: menang.
“Tim saya mempunyai dua prinsip dasar: menguasai bola dan pressing,” ujar Emery kepada Marti Perarnau, penulis buku “Pep Confidential”, dalam sebuah wawancara di France Football.
Namun, ia lantas menambahkan, “Dan seperti apa yang pernah dikatakan Guardiola, jika tim Anda harus menang dengan bola panjang dari penjaga gawang ke arah penyerang depan sehingga penyerang itu mampu mencetak gol dengan pantat, itu tak masalah!”
Berdasarkan prinsipnya itu, Emery lantas mengotak-atik formasi Arsenal--dari bermain dengan formasi 4-2-3-1, 4-4-2 flat dan berlian, hingga memasang tiga bek sejajar--agar Meriam London mampu bermain adaptif. Namun karena Arsenal kekurangan bek berkualitas, mereka bisa dibilang gagal bermain sesuai dengan keinginan mantan pelatih Sevilla itu.
Arsenal boleh-boleh saja tampil trengginas dalam menyerang di mana mereka mampu 73 gol di Premier League musim 2018-2019, hanya kalah dari Manchester City (95 gol) dan Liverpool (89 gol). Hanya saja, ketika Emery ingin Arsenal bermain bertahan, pendekatan Emery ternyata berantakan.
Selain karena minim bek berkualitas, masalah lain mengapa Arsenal gagal bermain bertahan pun terang belaka: mereka tidak punya pemain sayap yang bisa didesain khusus melakukan serangan balik cepat. Tak heran gawang Arsenal kebobolan sebanyak 51 kali di Premier League musim 2018-2019. Whoscored juga mencatat bahwa anak asuh Emery tersebut ternyata hanya mampu mencetak 3 gol melalui serangan balik cepat.
Dari sana, agar Arsenal mampu bermain sesuai dengan keinginannya pada musim depan, Emery kemudian menyodorkan satu nama untuk didatangkan: Nicolas Pepe, pemain sayap Lille. Tak main-main, untuk memenuhi keinginan pelatihnya tersebut, Arsenal bahkan sudah bersiap mengeluarkan uang sebesar 72 juta paun sebagai tebusan.
“Pepe adalah pemain yang luar biasa bagus, dan kami memang hanya memikirkan pemain yang benar-benar mampu meningkatkan skuat sekaligus mampu memberi kami beberapa opsi untuk meningkatkan penampilan kami,” kata Emery soal pemain bidikannya itu.
Kualitas Pepe
Menurut Marcelo Bielsa, pelatih legendaris asal Argentina, sepakbola hanya mengenal empat hal: menyerang, bertahan, transisi menyerang, dan transisi bertahan. Dan ketika ia melihat aksi Nicolas Pepe pada 2017, Bielsa ternyata langsung jatuh cinta. Baginya, Pepe amat cocok dengan gaya sepakbolanya yang vertikal: Pepe mampu meledak secepat kilat ke depan dan ke belakang.
Sekitar dua tahun setelah kejadian itu, tepatnya pada akhir musim 2018-2019, Bielsa memang sudah tak lagi menangani Pepe. Ia dipecat hanya beberapa bulan setelah Lille mendatangkan Pepe. Namun, siapa mengira jika pemain temuannya itu lantas menjadi kunci kebangkitan Lille.
“Dengan 22 gol dan 11 assist dalam 38 pertandingan, Nicolas Pepe hampir terlibat dalam 50% gol Lille (68 gol) pada musim ini. Karena pengaruhnya itu, Lille, yang musim lalu hampir terjerumus ke jurang degradasi, berhasil finis di peringkat kedua pada musim ini ‘hanya’ tertinggal 16 angka dari PSG yang ada di peringkat pertama,” tulis Sophie Serbini di The Athletic.
Salah satu kunci keberhasilan Lille pada musim 2018-2019 adalah permainan vertikal warisan Bielsa. Namun, karena Lille tidak punya pemain-pemain yang mumpuni untuk bermain ala Bilesa, Christoper Galtier, pengganti Bielsa, lantas sedikit memodifikasi gaya Bielsa. Meski tetap bermain vertikal, Galtier membuat Lille bermain lebih bertahan.
Dari sana, agar pendekatannya itu berjalan maksimal, Galtier pun tak luput mengubah peran dan posisi pemainnya. Salah satunya adalah posisi Pepe: daripada memainkannya sebagai penyerang tengah, Galtier lebih senang memainkan Pepe sebagai pemain sayap kanan.
Galtier lantas memberikan dua pendekatan khusus terhadap Pepe di posisi barunya itu. Pertama, saat timnya dalam fase bertahan, ia bisa tetap berada di depan untuk kemudian melakukan cutting-inside segera setelah Lille melakukan serangan balasan. Kedua, ia juga bisa ikut bertahan secara mendalam untuk kemudian menjadi pusat transisi serangan timnya.
Alhasil dibantu dengan visi permainan mumpuni serta ketenangannya saat berada di depan gawang lawan, kecepatan Pepe pun tak sia-sia: ia bisa menjadi penuntas sekaligus kreator serangan dalam waktu bersamaan. Maka, meski Lille banyak bertahan, Pepe pun bisa menjadi pembeda.
Yang menarik, kehebatan Pepe ternyata tak berhenti hanya sampai di situ. James Gheerbrant dari The Times juga menulis, “keberhasilan Pepe sejauh ini juga didukung oleh pergerakan tanpa bola dan penempatan posisi yang amat cerdas. Saat expectedgoal Pepe musim lalu mencapai 21,14 kali, itu tentu berawal dari fondasi yang amat kokoh.”
Cocok untuk Arsenal
Menurut JJ Bull, analis sepakbola di The Telegraph, kemampuan Pepe dalam mengancam gawang lawan tersebut akan sangat berguna bagi Arsenal. Meski Arsenal mampu mencetak 73 gol pada musim lalu, Arsenal ternyata hanya melakukan 467 percobaan tembakan ke arah gawang, hanya berada di peringkat ke-10 di antara tim-tim Premier League lainnya.
Hal ini sendiri, masih menurut Bull, tak terlepas dari minimnya dukungan dari lini kedua, terutama dari sektor sayap kanan.
“Henrikh Mkhitaryan, Mesut Ozil, dan Alex Iwobi [tiga pemain Arsenal yang sering dimainkan di sisi kanan] ialah pemain-pemain berkualitas, tetapi sayangnya mereka tidak mempunyai kualitas untuk melakukan tembakan ke arah gawang. Mereka lebih senang terlibat dalam mengkreasi serangan, bukan untuk menuntaskan sebuah serangan,” tulis Bull.
Jika ditarik lebih jauh lagi, ketidakmampuan ketiga pemain tersebut dalam mengancam gawang tentu juga menjadi salah satu alasan mengapa Arsenal kesulitan bermain adaptif. Karena hanya memiliki Pierre Emerick-Aubameyang atau Alexandre Lacazette, yang bisa bermain sebagai penyerang depan atau penyerang sayap kiri, opsi Arsenal dalam melakukan serangan cepat pun menjadi terbatas.
Akibatnya Arsenal memang mampu bermain apik saat lawan memilih bertahan secara mendalam, tetapi saat lawan --terutama tim-tim besar – memaksa Arsenal untuk bermain bertahan, mereka tidak mempunyai senjata untuk melakukan hantaman balik secara mematikan.
Dari sana, selain bisa menjadi tambahan mesiu bagi Meriam London di lini depan, Pepe jelas bisa menawarkan banyak alternatif taktik bagi Emery.
Dengan tujuan tertentu, pemain berusia 24 tahun tersebut bisa bermain sebagai sayap kanan maupun penyerang depan dalam formasi 4-2-3-1, 4-4-2, maupun 4-3-3. Dan yang paling penting, kemampuannya itu juga bisa membantu Arsenal bermain adaptif sesuai dengan keinginan Emery.
Editor: Abdul Aziz