Menuju konten utama

Patrice Evra, Pesepakbola Korban Rasisme yang Tahan Banting

Patrice Evra resmi gantung sepatu dari karier sepakbola profesional, namun perlawanannya terhadap rasisme dan semangatnya menyatukan skuat MU akan jadi sesuatu yang sulit dilupakan.

Patrice Evra, Pesepakbola Korban Rasisme yang Tahan Banting
Patrice Evra dari Manchester United selama pertandingan sepak bola Liga Primer Inggris antara West Bromwich Albion dan Manchester United di The Hawthorns Stadium di West Bromwich, Inggris, Sabtu, 8 Maret 2014. Rui Vieira/AP

tirto.id - Per Senin (29/7/2019) malam waktu Indonesia, Patrice Evra resmi meninggalkan ingar bingar sepakbola profesional di usia 38 tahun. Kepada surat kabar Italia, La Gazetta dello Sport, Evra mengatakan akan memulai lembaran baru dengan menyelesaikan lisensi kepelatihan dalam tenggat 18 bulan ke depan.

“Karier saya sebagai pemain telah resmi berakhir. Saya memulai belajar lisensi kepelatihan UEFA B pada 2013, sekarang saya ingin menyelesaikannya dan kemudian mencari lisensi UEFA A,” tutur bek kiri berpaspor Prancis tersebut.

Menurut data Opta, Evra termasuk golongan pemain langka. Cuma Evra dan Clarence Seedorf (mantan pemain AC Milan) yang pernah bermain di final Liga Champions bersama tiga klub berbeda. Evra melakukan itu dengan kostum Manchester United, Juventus, dan AS Monaco.

Namun tak seperti Seedorf, atau nama-nama moncer lain macam Francesco Totti, Evra pensiun tanpa diiringi gegap gempita suporter di tribun stadion. Sejak kedapatan menendang seorang fans klubnya sendiri, Marseille, pada 2017, stigma negatif terhadap Evra tak terbendung.

Kejadian itu juga bikin Evra mengalami masa sulit. Dia dijatuhi hukuman larangan bermain di Eropa selama tujuh bulan, didenda 10 ribu euro, dan kontraknya diputus sepihak oleh Marseille. Namun atas kejadian yang bikin kariernya berjalan tak begitu menyenangkan, Evra merasa tak perlu meminta maaf.

Menendang Rasisme dengan Berbagai Cara

Kemarahan Evra pada 2017 lalu bermula ketika seorang fans Marseille menyindirnya setelah gagal menendang bola ke gawang saat sesi pemanasan sebelum pertandingan Liga Eropa melawan Vitoria de Guimaraes.

Evra menolak menceritakan cemoohan apa yang dilontarkan suporter tersebut. Namun, seorang suporter bernama William, saksi mata yang dekat dengan kejadian mengatakan kalimat itu vulgar.

“Saya tidak akan menceritakannya karena itu sedikit vulgar, tapi dia [Evra] merespons kalimat itu dengan mengatai balik fans tersebut, jadi secara alami kami pun sempat ikut terpancing,” jelasnya kepada RMC.

Di sisi lain, bagi Evra, tendangannya adalah sesuatu yang layak didapat suporter tersebut. Evra tak bisa berdiam diri ketika seseorang merendahkannya, apalagi dengan sentimen rasis. Dan kasusnya dengan suporter Marseille bukanlah sesuatu yang baru.

Pada 15 Oktober 2011, saat masih berseragam Manchester United, Evra sempat terlibat pertikaian besar dengan mantan penggawa Liverpool, Luis Suarez. Dalam sebuah laga antara Liverpool vs MU di Anfield, kedua pemain beradu fisik setelah beberapa kali terlibat perang argumen.

“Di pertandingan itu ada kamera, Anda bisa melihat pada rekaman ulang bahwa dia [Suarez] mengatakan kalimat kejam kepada saya setidaknya 10 kali,” ujar Evra dalam wawancara dengan Canal Plus TV setelah pertandingan.

Di sisi lain Suarez membantah tudingan itu. “Tidak ada bukti saya mengatakan sesuatu yang rasis kepada dia. Saya tidak mengatakan hal seperti itu,” ujar Suarez.

Federasi sepakbola Inggris, FA akhirnya memberikan sanksi larangan tampil delapan pertandingan untuk Suarez karena dinilai terbukti berbuat rasis terhadap Evra. Sanksi ini bikin konflik kedua pemain berkepanjangan. Saat kedua tim bertanding di Old Trafford Februari 2012, Suarez bahkan menolak bersalaman dengan Evra sebelum pertandingan.

Baru sekitar 2016, kedua pemain mendeklarasikan diri sudah berdamai. Saat Suarez meraih penghargaan sepatu emas La Liga pada 2016, Evra bahkan memberikan ucapan selamat lewat akun Instagram resminya.

“Anda adalah pemain hebat, dan nomor sembilan terbaik. Selamat untuk Luis Suarez,” tulis Evra sambil menyertakan foto Suarez.

Namun fakta bahwa Evra memaafkan Suarez bukan berarti dia juga memaafkan praktik rasisme dalam sepakbola.

Saat memasuki periode akhir kariernya, Evra menjadikan media sosial sebagai sarana kampanye anti-rasisme. Salah satu unggahannya yang mendapat banyak pujian adalah ketika si pemain menari memakai kostum panda pada Oktober 2016.

“Jadilah seperti panda. [Tak peduli] apakah saya hitam, putih, orang Asia. Katakan tidak pada rasisme,” ucap Evra di akhir video.

Pada April 2019 kemarin, saat pemain Juventus, Moise Kean mendapat perlakuan rasis dari para suporter Cagliari, Evra menjadi salah satu atlet yang paling depan melindungi Kean.

“Perlakuan seperti ini tak bisa diterima dalam sepakbola atau di tempat mana pun di dunia. Pembuktikan yang bagus Kean, untuk terus berdiri dan mengatakan kepada mereka siapa bosnya. Dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik jika kita semua saling mencintai tak peduli apapun yang terjadi,” tulis Evra lewat akun Twitternya.

Pemain Tahan Banting

Menurut hitung-hitungan Squawka, sepanjang karier profesionalnya Evra melakoni 699 laga kompetitif, baik dengan kostum Marsla, Monza, Nice, AS Monaco, Manchester United, Juventus, Marseille, West Ham United, Timnas Perancis U-21, hingga Perancis senior.

Di level klub, berbagai gelar telah diraihnya. Mulai dari Liga Champions, Piala Dunia Antarklub, Liga Inggris (lima kali), Piala Liga (tiga kali), Serie A (tiga kali), Coppa Italia (dua kali), Supercoppa Italia, Liga Perancis, hingga Piala Perancis.

Dari sekian banyak klub yang pernah dibelanya, Manchester United jelas merupakan tim yang paling identik dengan Evra. Total delapan musim Evra memperkuat klub berjuluk Setan Merah tersebut.

Fakta bahwa Evra pernah menyumbang lima trofi EPL untuk MU merupakan bukti sahih kalau dia sosok bukan main-main di Old Trafford. Di bawah pelatih Sir Alex Ferguson, Evra adalah penghuni tetap untuk pos bek kiri.

Namun posisi tersebut tak didapat Evra dengan mudah. Datang dari AS Monaco pada Januari 2006, Evra mulanya terlihat berantakan. Dalam debutnya di pertandingan MU vs Manchester City Evra tampil buruk. Timnya kalah telak 3-1.

“Saya sangat sedih setelah pertandingan itu, dan saya belajar banyak dari momen tersebut. Mungkin saat itu saya berpikir bahwa bermain untuk MU akan mudah. Saya akhirnya justru merasa seperti ditampar oleh laga debut saya sendiri,” kenang Evra dalam sebuah wawancara seperti dilansir SkySports.

Sir Alex Ferguson, dalam autobiografinya bahkan menyebut penampilan Evra pada pertandingan debutnya itu sebagai sebuah bencana besar.

“Anda bisa melihat dari matanya [Evra], dia seperti berpikir, mengapa saya berada di sini?,” tulis Fergie.

Fergie sendiri tak menampik sempat ragu dengan Evra sejak setengah musim awal. Namun di musim berikutnya (2006/2007), keraguan itu tak berbekas. Evra membuktikan dirinya layak menjadi bagian dari salah satu skuat terbaik di dunia. Dia terus tampil konsisten, mendapat tempat reguler, dan membawa MU menjuarai EPL pada musim yang sama.

Sebagai seorang bek kiri, Evra bukan tipikal pemain konservatif. Dia tidak akan segan membantu tim menyerang dari sisi lapangan dan mengirim umpan presisi yang bisa jadi senjata empuk bagi barisan lini depan Setan Merah.

Hingga musim 2010/2011, saat MU mampu meraih empat gelar EPL dalam kurun lima tahun terakhir, Evra menjadi salah satu pemain paling berkontribusi. Dia bermain lebih banyak ketimbang pemain lain yang tersisa.

Bukan cuma di atas lapangan, di ruang ganti Evra juga punya peranan penting bikin skuat MU makin kompak. Legenda hidup MU, Garry Neville, dalam sebuah wawancara dengan SkySports menyebut Evra sebagai lem yang merekatkan pemain MU. Kemampuannya berbicara dalam lima bahasa bikin Evra menjadi sosok penting yang membantu para pendatang baru beradaptasi di Old Trafford.

Sementara rekan Neville, Paul Scholes menyebut MU di era akhir Alex Ferguson tak mungkin meraih banyak gelar jika bukan karena karisma yang dimiliki Evra.

"Ketika Patrice [Evra] pertama datang, kami sempat bertanya-tanya, mengapa pelatih [Ferguson] mendatangkan seorang joki untuk sebuah klub sepakbola," kenang Scholes dalam wawancara dengan Manchester Evening News.

"Tapi, kepribadian aslinya muncul perlahan. Dia adalah pemain yang tangguh, yang bertekad tidak akan tersingkir dari skuat dan terlupakan. Dia selalu membusungkan dada dan menghadapi semuanya dengan berani," sambung Scholes.

Dan bisa ditebak, sejak kepergian Evra ke Juventus pada medio 2014, performa Setan Merah anjlok drastis. Tak cuma kehilangan lem di ruang gantinya, MU nyaris tak punya lagi sosok bek sayap karismatik yang tampil konsisten dari satu pertandingan ke pertandingan lain.

Luke Shaw, Antonio Valencia, Daley Blind, Mateo Darmian, bahkan Ashley Young, semua pernah dijajal sebagai pengganti Evra dan tak satu pun layak dicap sepadan.

Kini, bukan cuma MU yang akan kehilangan bek kiri andalannya, sepakbola profesional resmi kehilangan salah satu atlet terbaiknya.

Baca juga artikel terkait MANCHESTER UNITED atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan