Menuju konten utama

Nicky Barnes: Bos Gangster yang 'Tak Tersentuh' Penguasa New York

Kisah Nicky Barnes. Lari dari rumah, keluar-masuk penjara, lalu jadi bos narkoba.

Nicky Barnes: Bos Gangster yang 'Tak Tersentuh' Penguasa New York
Ilustrasi Nicky Barnes. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebelum The Notorious B.I.G. merapalkan lirik “Don’t you know bad boys move in silence and violence” dalam lagunya yang monumental, "The Ten Crack Commandments", Leroy "Nicky" Barnes sudah melakoni hari-harinya mempersetankan segala aturan. Pria yang dijuluki “Mr. Untouchable” ini adalah pentolan The Council, sindikat pengendar heroin penguasa Harlem, New York, AS pada era 1970-an.

Lahir dari keluarga Afrika-Amerika pada 15 Oktober 1933, di New York City, Barnes semula adalah pemuda yang lurus-lurus saja semasa di sekolah. Namun, ia kemudian memutuskan pergi dari rumah untuk melarikan diri dari ayahnya yang seorang alkoholik yang kerap memukuli Barnes dan ibunya. Untuk menyambung hidup, Barnes pun mulai bergaul dengan pengedar narkoba di jalanan.

Barnes berulang kali dipenjara karena aktivitas ilegalnya tersebut. Pada 1965, ketika usianya 32, ia kembali masuk bui Barnes akibat kasus yang sama: perdagangan narkoba tingkat rendah. Namun, kali ini kisahnya berbeda. Di penjara, ia bertemu dengan Joe “Crazy” Gallo, seorang anggota keluarga mafia Colombo, dan Matthew Madonna, seorang pengedar heroin yang bekerja untuk keluarga Lucchi.

Kepada Barnes, Gallo mengatakan ingin mengedarkan heroinnya dalam skala lebih besar ke wilayah Harlem, namun hal itu tidak dapat dilakukannya lantaran tak punya personel untuk berurusan di wilayah yang didominasi Afrika-Amerika tersebut. Gallo pun mengajak Barnes bekerja sama sekaligus mengajarinya tentang manajemen sindikat mafia. Dari situ, Gallo lalu meminta Barnes untuk mencari personel lain untuk menjalankan bisnis mereka setelah ia bebas.

Barnes kemudian membentuk sindikatnya sendiri berbekal ilmu dan koneksi dari Gallo. The Council, nama sindikat tersebut, beranggotakan tujuh petinggi: Joseph "Jazz" Hayden, Wallace Rice, Thomas "Gaps" Foreman, Ismail Muhammad, Frank James, Guy Fisher, dan Barnes sendiri. Sindikat tersebut sengaja dibuat kecil dan juga mengadopsi sistem managerial mafia Italia-Amerika.

Tugas Barnes sendiri selayaknya capo: menyelesaikan perselisihan di antara para penjahat, menangani masalah distribusi, dan membereskan masalah terkait perdagangan lainnya. Untuk menghadapi persoalan serius yang kemungkinan besar dapat berujung kematian atau menargetkan seseorang untuk dihabisi, The Council memiliki seorang pembunuh bayaran bernama Robert Young alias Willie Sanchez beserta tim kecilnya.

Dengan pola yang digunakan tersebut, ekspansi bisnis The Council kian lama kian masif. Pada tahun 1976, perdagangan heroin mereka telah menyebar ke seluruh New York, lalu ke Pennsylvania, dan akhirnya Kanada. Menurut catatan Drug Enforcement Administration (DEA), masing-masing tujuh petinggi The Council mengendalikan selusin distributor tingkat menengah yang memasok lebih dari 40 dealer di tiap area. The Council kemudian memutuskan tidak lagi bekerja sama dengan pihak mafia Italia karena telah lebih mapan di wilayahnya.

Seiring melesatnya The Council, Barnes lantas mendirikan berbagai perusahaan fiktif untuk melindungi sebagian asetnya, misalnya bisnis dealer mobil. Namun, DEA akhirnya menemukan kepemilikan sebenarnya dari perusahaan tersebut dan menyita berbagai mobil mewah milik Barnes. Mulai dari Bentley, Citroen SM, Maserati, Mercedes-Benz, Volvo, Cadillac, Lincoln Continentals, hingga Ford Thunderbirds.

Kekayaan bersih Barnes mencapai lebih dari US$50 juta di puncak kariernya. Uangnya acap kali dibelanjakan untuk membeli ratusan jas, sepatu, mantel, perhiasan Italia, yang semuanya didesain secara khusus.

Rivalitas dengan Frank Lucas

Selayaknya bisnis pada umumnya, Barnes bukannya tak punya kompetitor. Sosok yang menjadi rivalnya nyaris sepanjang hidup adalah Frank Lucas. Jika Anda pernah menonton film American Gangster, Lucas diperankan dengan sangat ciamik oleh Denzel Washington.

Barnes dan Lucas adalah dua orang yang bertanggung jawab menjadikan Harlem gudang pengedar sekaligus pengguna obat bius pada masanya. Keduanya amat berambisi untuk meminimalisir pengaruh distributor Italia yang telah mengendalikan jalur obat bius di Harlem selama beberapa dekade. Kendati demikian, baik Barnes dan Lucas juga punya caranya masing-masing untuk menjadi drug kingpin di wilayah tersebut.

Barnes, misalnya, menggunakan cara yang culas, yaitu memotong uang mahar yang semula telah disepakati jumlahnya bersama kelompok mafia, setelah The Council mapan dan memiliki ratusan ribu pelanggan yang tersebar di New York hingga Kanada. Sedangkan Lucas memilih cara yang konfrontatif namun sekaligus luar biasa tak terduga: menyelundupkan heroin lewat peti mati langsung dari lokasi negara produsen.

Lucas memang memilih jalan yang sama sekali berbeda dengan Barnes dalam membangun imperium bisnisnya. Alih-alih berkonco dengan mafia Italia, ia memanfaatkan koneksi militer AS di Asia Tenggara lalu terbang langsung ke sumber produsen heroin di Segitiga Emas: Myanmar, Vietnam dan Thailand. Setelah itu, Lucas kemudian meminta temannya agar membuat peti mati dengan desain khusus bagi tentara AS yang gugur dalam Perang Vietnam. Lewat peti mati itulah ia menyelundupkan heroin murni yang dinamakannya 'Blue Magic'—kategori yang amat langka di AS saat itu.

Dengan cara tersebut, Lucas menangguk untung US$ 1 juta atau sekitar Rp9,4 miliar per hari. Kekayaannya begitu melambung dan banyak tersimpan di Bank Cayman Island. Dia pun turut membeli properti di Chicago, Detroit, Miami, North Carolina, hingga Puerto Rico. Namun, pada Januari 1975, rumah Lucas di Teaneck, New Jersey, digerebek oleh DEA dan kepolisian New York Police Department (NYPD). Dia kemudian didakwa atas kasus penyalahgunaan narkoba dan dituntut 10 tahun penjara.

Infografik Nicky Barnes

Infografik Nicky Barnes. tirto.id/Sabit

Pada tahun 2007, Mark Jacobson dari New York Magazine memiliki ide gila untuk mengajak Barnes dan Lucas berbincang bersama melalui sambungan telepon. Dalam laporannya yang diberi judul “Lords of Dopetown” itu, Jacobson mengaku sempat khawatir jika dua mantan bos besar yang tidak pernah berkomunikasi selama kurang lebih 30 tahun itu akan saling mengamuk satu sama lain. Terutama jika melihat masa silam keduanya, di mana Barnes kerap mengolok-olok Lucas sebagai ‘anak desa kurang berpendidikan’, sedangkan rivalnya itu selama ini dikenal sebagai pribadi yang tempramental.

Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, Barnes dan Lucas justru memperlihatkan keakraban bak dua kawan lama yang baru kembali berjumpa. Atau, setidaknya, sikap mereka bisa diartikan semacam upaya saling menghormati sebagai sesama (mantan) taipan. Hal tersebut tampak, salah satunya, ketika Jacobson menanyakan siapa di antara mereka yang memiliki “barang” terbaik.

MJ: Siapa di antara kalian yang memiliki obat bius terbaik?

FL: Mark, ayolah, enggak usah bercanda. Saya punya obat bius terbaik di dunia, 98 hingga 100 persen murni.

NB: Frank punya paket yang bagus, tidak diragukan lagi. Saya harus mengambil pena dan buku tulis dan meninjau kembali barang yang saya jual. Tapi, kalau Anda berbicara soal lain, barang saya lebih beragam.

Lalu ketika Jacobson kembali bertanya siapa yang lebih korup, pengedar obat bius atau polisi, keduanya menjawab kompak: polisi.

FL: Polisi lebih korup. Jika Anda berjabat tangan dengan pengedar narkoba, Anda dapat memegang kata-kata mereka. Jika mereka tidak melakukan apa yang mereka katakan, mereka akan mati. Semua orang tahu itu.

NB: Ya, ya, saya setuju.

FL: Seorang pengedar narkoba akan hidup sesuai kata-katanya. Saya tidak berbicara tentang pecandu. Saya berbicara tentang laki-laki seperti Frank Lucas atau Nicky Barnes.

Menjadi Informan Polisi

Pada 5 Juni 1977, New York Times Magazine merilis edisi khusus tentang Barnes berjudul "Mr. Untouchable" dengan sampul fotonya yang dipotret melalui cara mugshot: teknik foto close-up yang digunakan oleh kepolisian terhadap seseorang yang ditangkap.

Presiden AS Jimmy Carter, begitu kesal dengan isi majalah tersebut. Ia menganggap Barnes telah menghina konstitusi AS. Maka Carter pun memerintahkan Jaksa Agung Griffin Bell untuk mengadili Barnes dengan hukuman seberat-beratnya. Barnes pun dijatuhi hukuman seumur hidup atas kejahatan terkait narkoba tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat pada 19 Januari 1978.

Ketika di penjara, Barnes mendapati bahwa segala asetnya tidak ada yang dipertahankan. The Council juga telah berhenti membayar biaya pengacaranya. Tak selesai sampai di situ, ia juga mengetahui bahwa salah satu anggota The Council, Guy Fisher, telah berselingkuh dengan istrinya. Merasa dikhianati, terutama karena The Council memiliki peraturan bahwa tidak ada anggota mereka yang akan tidur dengan istri atau selir anggota lainnya, Barnes memutuskan untuk menjadi informan polisi.

Sebanyak 109 nama anggota The Council ia bocorkan kepada aparat, lima di antaranya merupakan sosok petinggi, dan semua orang yang ia ketahui terlibat perdagangan heroin dengan organisasinya. Bahkan nama istrinya sekalipun juga ia sodorkan kepada kepolisian. Dari seluruh nama tersebut, 44 nama turut didakwa kasus perdagangan manusia. Namun demikian, Barnes juga mengakui terlibat dalam delapan kasus pembunuhan selama menjadi bos The Council.

Setelah bekerja sama, walikota New York saat itu membantu mengurangi hukuman penjara Barnes dari seumur hidup menjadi 35 tahun minus dua bulan. Ia dibebaskan pada Agustus 1998 ketika usianya 65 tahun. Barnes meninggal kanker pada 2012, namun karena statusnya masih berada di bawah perlindungan saksi, kematiannya tidak dipublikasikan. Minggu 9 Juni 2019 lalu, kabar kematiannya baru mulai diumumkan ke publik.

Baca juga artikel terkait MAFIA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf