tirto.id - Pencalonan Trump awalnya hanya menjadi bahan bakar banyolan dan meme di media sosial. Rata-rata netizen menertawakan pernyataan-pernyataan, latar belakang selebritas, hingga model rambut Trump. Kini, Trump sudah resmi menjadi kandidat presiden dari partai Republik. Ia mengalahkan rival-rivalnya dengan perolehan suara cukup telak dalam konvensi partai berlambang gajah tersebut.
Sementara itu, kandidat presiden dari partai Demokrat, Hillary Clinton, juga memiliki banyak kelemahan. Hillary memang mendapatkan dukungan secara penuh oleh mesin politik partai Demokrat, presiden Barack Obama serta rivalnya, Bernie Sanders. Namun, ia juga memiliki banyak catatan hitam yang dapat menodai citranya. Rival utama Trump ini berpotensi tersandung beberapa kasus seperti penggunaan email pribadi untuk urusan negara saat menjadi menteri luar negeri, hingga sumirnya pengelolaan dana Clinton Foundation yang didirikannya bersama sang suami, Bill Clinton.
Beberapa jajak pendapat menunjukkan tren bahwa marjin popularitas Hillary dan Trump kian menipis setelah sebelumnya sempat lebar. New York Times merilis data jajak pendapat online per 1 Agustus 2016 yang menunjukkan, Hillary meraih 43 persen pemilih, sedangkan Trump bertahan di angka 41 persen. Jajak pendapat online Ipsos/Reuters pada 25-29 Juli menunjukkan, Hillary membukukan 40 persen pemilih dan Trump mendapatkan 35% dari 1.050 responden.
Beberapa polling lain menunjukkan hasil berbeda. Dalam jajak pendapat via telepon oleh CNN pada 22-24 Juli 2016, Hillary memperoleh 45 persen suara berbanding 48 persen milik Trump dari total 882 responden. Jajak pendapat telepon oleh CBS pada kurun waktu yang sama juga menampilkan kemenangan Trump, dengan perolehan 44 persen suara berbanding 43 persen dari 1.118 responden.
Berbagai jajak pendapat di atas menunjukkan, selisih antara Trump dan Hillary tidak pernah melebihi satu digit. Dalam kondisi polling seperti itu, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Trump masih punya peluang untuk menyalip popularitas Hillary.
Beragam anekdot muncul saat membayangkan kemenangan Trump. Mulai dari bayangan AS akan menyerupai negara otoriter Panem dalam film Hunger Games, rencana imigrasi warga AS ke Kanada, hingga kemungkinan Kanada harus membuat tembok perbatasan—seperti yang ingin dibuat Trump di Mexico-- untuk mencegah imigran gelap berdatangan dari AS versi Trump.
Sementara itu, bagaimana dunia internasional akan menerima Trump?
Trump di Mata Kawan
Belum lagi terpilih, Trump sudah rajin menebar kontroversi. Ia menyatakan bahwa dirinya akan membangun tembok besar di perbatasan dengan Meksiko dan menyuruh negara tersebut untuk membayar biayanya. Trump beralasan, para imigran dari Meksiko hanya membawa masalah kepada AS dengan menyebut mereka sebagai “pemerkosa” dan “pengedar narkoba”.
Trump seakan mengabaikan fakta bahwa Meksiko merupakan salah satu negara kontributor terbesar bagi perekonomian AS. Dalam laporan yang dilansir Bloomberg, Meksiko pada 2015 menempati peringkat ketiga dalam daftar mitra dagang terbesar AS dengan nilai perdagangan sebesar 500 miliar dolar AS. Angka ini hanya kalah dari Cina di peringkat pertama (sekitar 630 miliar dolar AS) dan Kanada (sekitar 540 miliar dolar AS).
Meksiko dikenal sebagai penyuplai tenaga kerja murah di AS. Negara tetangga AS ini sekaligus menjadi tempat perusahaan-perusahaan AS—seperti Ford dan General Motors—mendirikan pabriknya. Meksiko juga menjadi sekutu setia AS dalam zona pasar bebas seperti NAFTA (North American Free Trade Area) dan TPP (Trans Pacific Partnership). Tak heran, negara ini bereaksi cukup keras terhadap rencana Trump. “Saya tidak akan membayar untuk tembok sialan itu!,” kecam mantan presiden Meksiko, Vicente Fox. “Siapapun yang berbicara buruk tentang Mexico berarti tidak tahu apapun tentang negara ini,” ujar presiden Meksiko, Enrique Pena Nieto.
Trump juga berusaha memantik bara dengan Cina, negara mitra dagang utama mereka. Ia mencantumkan reformasi perjanjian perdagangan dengan Cina sebagai salah satu dari tujuh program pokok kampanye. Tak tanggung-tanggung, Trump melancarkan tiga tuduhan terhadap Cina : pemanipulasi kurs, pelanggar hak cipta, dan kerap memberikan subsidi ilegal untuk memenangkan produknya.
Trump mengaku, dirinya adalah orang yang tepat untuk memimpin AS dalam menghadapi negosiasi perdagangan dengan Cina. Ia menyatakan, dirinya punya ketegasan, keahlian negosiasi, serta kelihaian yang dibutuhkan. “Kapan terakhir kali kita melihat orang-orang menyaksikan kemenangan kita atas, misalnya, Cina dalam perjanjian perdagangan? Mereka [Cina] membunuh kita! Saya selalu sukses mengalahkan Cina. Dalam setiap kesempatan!,” beber Trump dalam pidato pengumuman pencalonannya.
Pemberlakuan tarif perdagangan yang besar merupakan salah satu program utama Trump. Ia menuding, maraknya barang-barang impor yang masuk ke AS merupakan salah satu pangkal masalah dalam perekonomian negara itu. Barang impor berharga murah telah mengalahkan produk buatan AS sehingga pabrik-pabrik tutup dan menimbulkan pengangguran. Negara yang akan diincar melalui program ini antara lain Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Meksiko.
Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Lawrence Summers dalam Financial Times, memperingatkan Trump akan dampak kebijakan tarif tersebut. Ia menyatakan, dalam dunia yang ekonominya makin terintegrasi, langkah Trump akan sangat kontraproduktif. Kebijakan tarif Trump dikhawatirkan akan memicu langkah balasan dari negara lain sehingga menimbulkan apa yang disebut Summers sebagai “perang tarif terbesar yang pernah dialami dunia sejak Depresi Malaise 1929”.
Dibenci kawan, disukai lawan
Trump mungkin saja mendapat kecaman dari banyak musuh politiknya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Korea Utara. Negara totaliter yang menjadi salah satu musuh terbesar AS ini justru mendukung sepenuhnya pencalonan Trump.
Seperti dilansir The Guardian edisi Juni 2016, media milik pemerintah Korea Utara, DPRK Today, menyebut Trump sebagai “politisi yang bijak” dan “memiliki pandangan jauh ke depan”. Media itu menganggap Trump dapat membantu unifikasi Korea. Mereka juga sangat mengapresiasi pernyataan Trump yang akan membuka dialog dengan pimpinan tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un.
Dukungan Korea Utara terhadap Trump kemungkinan dipicu oleh sikapnya yang tidak memiliki kebijakan luar negeri agresif terkait permasalahan di Semenanjung Korea. Trump menyatakan, bila terpilih sebagai presiden, ia akan fokus dalam menggempur ISIS dan lawan-lawan politik mereka di Timur Tengah. Ia selama ini tidak pernah membeberkan rencana “petualangan militer” AS di kawasan-kawasan rawan lainnya seperti Asia maupun Eropa.
Alih-alih melakukan petualangan militer, Trump justru mengungkapkan keinginan untuk menarik kekuatan militer AS di Asia dan wilayah-wilayah lainnya. Ia memilih untuk fokus pada upaya menggempur ISIS di Suriah dan Irak, sekaligus mengamankan wilayah AS sendiri. seperti diungkapkan dalam pidato peresmian pencalonannya.
Trump mengaku ingin mengurangi aktivitas AS di NATO, khususnya di perbatasan dengan Rusia. Trump menegaskan bahwa AS hanya akan membantu sekutu-sekutu yang “telah memenuhi kewajiban mereka”, seperti dikutip dari Bloomberg edisi Juli 2016. Ia mengacu kepada anggota-anggota NATO yang tidak menyisihkan 2 persen PDB mereka untuk anggaran pertahanan. Negara-negara tersebut dianggapnya hanya akan membebani AS.
Sekeras apapun komentar Trump kepada seorang tokoh politik, tetapi ia tidak pernah menyerang presiden Rusia, Vladimir Putin. Sebagai salah satu pemimpin terkuat de facto di dunia, Trump tentu saja harus berhati-hati dalam menghadapi mantan agen dinas rahasia era Soviet yang sangat piawai dalam manuver politik. Di sisi lain, Trump percaya bahwa ia dan Putin sebenarnya bisa bekerja sama.
Pertama, keduanya cenderung sepakat untuk menghancurkan ISIS di Suriah dan Irak. Trump memandang, kerja samanya dengan Rusia dalam menghancurkan ISIS akan memudahkan kerja AS. Kedua, ia dan Putin sama-sama berseberangan dengan Hillary. Hillary adalah pemimpin yang sepakat dengan Obama dan sebagian besar pemimpin di Eropa bahwa pengaruh Putin wajib dibendung. Trump bahkan mengimbau kepada pemerintah Rusia untuk membantu melacak email-email Hillary yang dihapus dari server pribadinya.
Bagaimana jika Donald Trump benar-benar terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-45?
Wah, ngeri-ngeri sedap!
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti