Menuju konten utama

Ngeri-ngeri Sedap Bisnis Presiden Donald Trump

"Saya sesungguhnya mampu menjalankan bisnis saya dan menjalankan pemerintahan pada saat yang sama," kata Donald Trump, Rabu (11/1/2017) ketika menggelar konferensi pers.

Ngeri-ngeri Sedap Bisnis Presiden Donald Trump
Donald Trump di dalam pesawat jet pribadinya. FOTO/Andrew Milligan

tirto.id - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump sering membuat pernyataan sensasional. Belum lama ini, Trump mengklaim mampu menjalankan tugasnya sebagai presiden AS dan sekaligus mengelola gurita bisnisnya.

"Saya sesungguhnya mampu menjalankan bisnis saya dan menjalankan pemerintahan pada saat yang sama," kata Trump, seperti dikutip dari Bloomberg. "Saya tidak menyukai bagaimana hal itu terlihat, tapi aku akan mampu melakukannya jika aku menginginkannya."

Penegasan Trump sebagai upayanya menjawab isu yang bergulir semenjak dirinya mengalahkan Hillary Clinton dalam Pemilu November tahun lalu. Pertanyaan yang terbesar adalah bagaimana nasib kerajaan bisnis Trump saat mulai aktif memimpin AS.

Pernyataan Trump semakin memperkuat anggapan bahwa ia tidak sungguh-sungguh melepaskan diri dari bisnisnya. Risiko besar sudah siap menanti, saat AS dipimpin oleh presiden yang rawan dengan konflik kepentingan. Trump memang akan meninggalkan sejumlah posisinya di perusahaan-perusahaan dalam jejaring Trump Organization, tapi tidak akan melakukan divestasi dari kepemilikan sahamnya.

Bisnis Trump memang menggurita di seluruh dunia--lebih dari 500 perusahaan dengan aset bernilai $3,6 miliar yang memiliki ikatan dengan lebih dari 20 negara. Bisnisnya dikelola oleh dua putranya, Eric dan Don Jr., beserta Allen Weisselberg yang menjabat sebagai kepala keuangan. Mereka akan membuat keputusan terkait bisnis tanpa berkonsultasi dengan Trump yang sudah menjabat sebagai presiden AS.

Tentunya ini tak lantas membuat publik puas, bahkan menimbulkan pertanyaan soal apakah Trump benar-benar bisa lepas dari isu konflik kepentingan, dari posisinya sebagai seorang presiden.

Penasihat Trump Sheri Dillon mengatakan bahwa Trump Organization tidak akan membuat kesepakatan bisnis baru di luar negeri ketika Trump menjabat presiden dan hanya akan melaksanakan proyek-proyek dalam negeri setelah penasihat etika perusahaan menyetujuinya. Namun, rincian bagaimana penasihat etika akan beroperasi, dan bagaimana mengaturnya masih belum jelas.

Sayangnya, bagi para ahli etika, hal itu tidak cukup. "Jalur yang ditempuh Trump akan memicu skandal dan korupsi," kata Norman Eisen mantan penasihat etika Gedung Putih di bawah Barack Obama, seperti dilaporkan Reuters.

Sementara Richard Painter, yang merupakan pengacara etika top Gedung Putih untuk George W. Bush mengatakan bahwa langkah yang diambil Trump tidak memecahkan masalah. "Jika dia memilikinya, ia memiliki konflik kepentingan," kata Painter yang menjadi profesor di University of Minnesota Law School, seperti dikutip dari Bloomberg.

Para ahli etika, termasuk Kantor Etika Pemerintahan AS, memang telah mendesak Trump untuk benar-benar melakukan divestasi atau mendirikan sebuah blind trust untuk aset usahanya. Dalam blind trust, pemilik tidak mengetahui bagaimana holding itu berjalan atau bagaimana asetnya yang dikelola.

Namun, bagi orang-orang Trump gagasan itu justru tak baik bagi Trump. Menurut Dillon, opsi divestasi bukan yang realistis untuk perusahaan keluarga, dan segala langkah divestasi akan merugikan Trump secara finansial.

Banyak kekayaan Trump berasal dari gedung perkantoran dan real estate lainnya yang tidak dapat dijual dengan mudah, serta penawaran lisensi yang mungkin sulit untuk dilepaskan. Bila embel-embel nama Trump dilucuti, aset-aset ini akan kehilangan banyak nilai.

"Presiden terpilih Trump seharusnya tidak diharapkan untuk menghancurkan perusahaan yang ia bangun," kata Dillon.

Penasihat Trump ini menepis kekhawatiran bahwa Trump dapat melanggar sebuah ketentuan anti-suap dalam Konstitusi AS, yang dikenal sebagai Klausul Honorarium (Emoluments Clause). Hal itu berlaku untuk hadiah pemberian, tapi tidak pada transaksi bisnis seperti menyewa kamar hotel. Sebagai catatan, perhotelan merupakan salah satu jejaring bisnis Trump.

infografik peta perusahaan trump

Merabah Masa Depan

Apabila prediksi para pakar etika tersebut benar, maka rakyat AS harus bersiap untuk menyaksikan berbagai skandal bisnis yang menyangkut nama Trump akan muncul di masa mendatang. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan bila berkaca dari pengalaman.

Pada November tahun lalu misalnya, The Washington Post melaporkan bahwa sekitar 100 diplomat dari berbagai negara, menggunakan Trump Internasional Hotel di Washinton DC sebagai cara mengakrabkan diri dengan Trump. "Percayalah, semua delegasi akan pergi ke sana," kata seorang diplomat Timur Tengah.

Beberapa diplomat yang diwawancara mengatakan bahwa menghabiskan uang di hotel milik Trump ini merupakan cara yang mudah, dan sikap yang ramah kepada presiden baru AS itu.

"Mengapa saya tidak bisa tinggal di hotel blok dari Gedung Putih, sehingga saya dapat memberitahu presiden baru, 'Saya menyukai hotel baru Anda!" Bukankah akan menjadi kasar apabila datang ke kotanya dan berkata, 'Saya tinggal di pesaing Anda? " kata seorang diplomat Asia.

Seperti dilaporkan Fortune, anak perempuan Trump, Ivanka juga pernah terlibat dalam pertemuan Trump dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Padahal saat itu, Ivanka tengah melakukan negosiasi final mengenai lisensi dari produk miliknya dengan perusahaan retail Jepang, Sanei International. Namun, tak ada laporan mengenai pertemuan tersebut menyebut upaya mengunci kesepakatan bisnis itu, tapi keberadaan Ivanka jelas tidak lazim.

Sementara itu, Time melaporkan terdapat sejumlah portofolio bisnis Trump di luar negeri juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mempersulit pemerintahan yang dipimpinnya, termasuk di Indonesia.

Pada 2015, Trump Hotels Collection mengumumkan sebuah kesepakatan dengan perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo, PT Media Nusantara Citra (MNC) sepakat mendirikan lapangan golf dan hotel mewah di Jawa Barat dan Bali. Padahal, Trump pernah mengatakan pada waktu kampanye akan melarang Muslim memasuki AS yang kemudian memicu protes di Indonesia.

Pada Senin lalu, Bloomberg melaporkan bahwa Hary Tanoe akan terbang ke New York pekan depan untuk melakukan pertemuan dengan anak-anak Trump terkait proyek tersebut, dan akan menyaksikan pengucapan sumpah Trump sebagai presiden di Washington D.C.

"Saya berurusan dengan mereka secara teratur, dengan dua anak yang menjalankan bisnisnya sekarang," kata Hary Tanoe.

Soal khawatiran konflik kepentingan, Trump bukannya tanpa antisipasi. Trump Organization telah menarik mundur sejumlah kontrak di negara-negara di mana kesepakatan yang terjalin berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan Trump. Namun, dengan catatan, kontrak-kontrak itu merupakan proyek bermasalah dan jika dikombinasikan pun hanya akan menghasilkan pendapatan sekitar $323.150, seperti dilaporkan Bloomberg.

"Ini hanya merupakan lip service terhadap gagasan bahwa Anda melakukan sesuatu tentang hal itu," komentar Norman Ornstein, seorang ilmuwan politik di American Enterprise Institute.

Sehingga ke depan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan AS di bawah pemimpinnya yang masih lekat dengan bisnisnya. Persoalan risiko konflik kepentingan, hanya salah satu yang menjadi isu soal Trump.

Persoalan lain juga menghinggapi Trump, ia telah menolak untuk merilis pajaknya. Ini tentu membuat publik AS akan menganggap mustahil bahwa konflik kepentingan akan benar-benar tak terjadi. Ini persis yang disampaikan oleh Sam Thielman dari The Guardian,yang meyakini Trump ketika menjabat menjadi presiden akan berdampak pada lini-lini bisnisnya di masa mendatang. Kita tunggu saja, apa yang akan terjadi dengan AS dan Trump.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara