tirto.id - Karwayan di sektor perbankan patut dilema. Sebab, perkembangan teknologi saat ini bukan lagi jadi perangkat penunjang, tetapi bisa dengan mudah mengganti pekerjaan mereka.
Ketua Umum Serikat Pekerja PT Bank Danamon Indonesia yang juga perwakilan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Indonesia (Jarkom SP Perbankan) Abdoel Mujib mengatakan, sudah ada ribuan karyawan bank yang di-PHK akibat digantikan dengan sistem digital.
Meskipun bank cukup kooperatif dalam memberikan hak berupa pesangon dan bayaran lainnya, kata dia, tapi kepastian jenjang karier di sektor perbankan cukup membuat mereka gelisah.
“Bank cukup kooperatif dalam masalah itu [pesangon]. Meskipun ada satu dua kasus [soal hak-hak karyawan], tapi tidak banyak. Yang jadi masalah adalah banyaknya karyawan kontrak itu,” kata Abdoel kepada reporter Tirto.
Dalam banyak kasus, kata Abdoel, biasanya karyawan kontrak yang baru bekerja satu sampai dua tahun diputus begitu saja.
“Beda dengan Danamon yang dulu pernah di-record, mungkin soal perjuangan kami dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Jadi anak-anak kontrak maupun itu kami perjuangkan, dan dulu 6.070 itu akhirnya menjadi karyawan tetap,” kata dia.
Secara esensi, kata Abdoel, menjadi dilema karena karyawan kontrak memang tidak punya hak apapun kecuali yang tertuang dalam surat kontrak berdurasi yang bisa setiap saat diputus.
“Secara undang-undang, karyawan kontrak tidak punya hak apapun kecuali sebesar yang tertuang dalam kontrak. Artinya tidak ada pesangon yang wajib dibayarkan. Kalau bank kebanyakan paham soal pesangon enggak pernah ada masalah,” kata dia.
Dari ribuan pekerja bank yang di-PHK, kata dia, merupakan karyawan organik. “Paling banyak itu posisi marketing, teller sama cosutumer service. Ada juga penutupan branch ke cabang-cabang mikro itu banyak ditutup karena dianggap enggak efisien,” kata dia.
Berdasarkan data Jarkom, kata Abdoel, dalam tiga tahun terakhir tercatat ada lebih dari 50.000 pekerja bank yang terkena kebijakan efisiensi.
“Bisa jadi lebih banyak, data ini dari 2016 karena hitungan saya gini, di serikat pekerja Danamon sendiri tercatat 21.000 (karyawan yang dipecat/diputus kontrak), di BTPN 8.500 sampai 10.000, di beberapa bank kecil anggota kami yang sudah melaporkan ada di kisaran 1.000-2.000 [orang]. Sedangkan anggota kami itu ada 20 bank,” kata Abdoel.
Di sisi lain, efisiensi merupakan hal yang wajar dalam industri perbankan. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira menyatakan karena bank lebih mengembangkan digitalisasi.
"Jadi terjadi perubahan teknologi. Di mana bank lebih mengembangkan digital. Berinvestasinya dialihkan dari pembukaan kantor-kantor cabang, misalnya satu kantor cabang itu bisa menghabiskan Rp5 miliar untuk membuka kantor cabang. Jadi danannya lebih banyak dialokasikan untuk upgrading IT,” kata Bhima kepada reporter Tirto.
Menurut Bhima, hal itu sebagai tuntutan sektor perbankan untuk menekan biaya operasional. Sebab, kata Bima, pendapatan di sektor perbankan 80% nya digunakan untuk biaya tersebut.
“Pendapatan operasional bank itu masih 80%. Itu mengindikasikan bank harus mulai mengurangi beban operasionalnya. Kalau biaya operasionalnya besar otomatis pendapatannya [bank] semakin kecil. Itu yang buat bank labanya bisa tergerus. Jadi bank harus memotong pengeluaran untuk biaya operasional,” kata dia.
Selain posisi teller, costumer service, dan divisi manajemen, beberapa pekerjaan lain juga rawan diganti oleh mesin.
Bima mengatakan, saat ini sudah banyak negara-negara yang melakukan digitalisasi di sektor perbankan. Alasannya, dianggap lebih cerdas, sistem dan robot ini juga bisa membuat biaya operasional lebih murah.
Reporter Tirto berusaha menghubungi sejumlah bank, mulai dari Danamon, BRI, BCA, BNI, hingga Bank Mandiri. Namun, hingga artikel ini dibuat, belum ada satu pun yang meresponsnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz