Menuju konten utama

Lebih dari 100 Juta Pekerja Indonesia akan Disingkirkan Mesin

Tak mau tersingkir dari lapangan pekerjaan? Jadilah guru TK dan SD. Menurut penelitian ILO, pekerjaan itu tak termasuk ke dalam daftar profesi yang berisiko tinggi digantikan mesin yang dilakoni 107,6 juta orang Indonesia. Studi ILO ini, secara umum, memperkirakan jumlah pekerja di ASEAN-5 yang bisa terkena gelombang otomasi: lebih dari separuhnya.

Lebih dari 100 Juta Pekerja Indonesia akan Disingkirkan Mesin
Seorang petugas humas berfoto dengan Pepper, robot humanoid pertama yang bisa mengenali emosi manusia dan beradaptasi menurut kebiasaannya. Antara Foto/Reuters/Hannah McKay

tirto.id - Apa yang terjadi di Cina saat Foxconn—produsen iPhone—mengumumkan akan menggunakan robot untuk 70 persen bagian perakitan pada 2018, akan terjadi juga di ASEAN. Menurut laporan International Labour Organization (ILO) terbaru, 242,2 juta buruh (56 persen) di lima negara kawasan ini, termasuk di Indonesia, akan disingkirkan oleh mesin. Jumlah itu meliputi buruh di pasar lapangan kerja Vietnam, Kamboja, Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Namun, meski jumlah terbesarnya ada di Indonesia, sebanyak 107,6 juta, persentase ketersingkiran tenaga manusia terbesar ada di Vietnam. Jika di Indonesia angkanya bisa mencapai 56 persen keseluruhan pekerja, di Vietnam kemungkinannya sebesar 70 persen. Pekerja di negeri Ho Chi Minh ini besar risikonya karena pekerja pertanian termasuk berisiko tinggi, selain buruh bidang garmen.

Di Indonesia, pekerja yang paling tinggi risikonya di antaranya adalah pramuniaga di pasar dan toko yang jumlahnya mencapai 14 juta. Ada juga pegawai kantor, semacam bagian administrasi, jumlahnya hampir 1,7 juta. Buruh bangunan dan penjahit pakaian pun termasuk. Angkanya masing-masing 2,1 juta dan 1,1 juta orang.

Penelitian yang diprakarsai ILO ini didasarkan pada penelitian Michael A. Osborne dan Carl Benedikt Frey dari Oxford University, yang tiga tahun lalu menganalisis masa depan pekerjaan manusia di hadapan perkembangan teknologi informasi. Mereka menyimpulkan ada banyak pekerjaan yang kelak digantikan komputer atau mesin atau otomaton.

Penelitian mereka sesuai dengan perkembangan terbaru, di mana mobil nirsopir bisa segera menjadi kenyataan. CEO produsen mobil listrik Tesla, Elon Musk, mengatakan urusan mobil otonom sudah selesai. Tesla sedang mewujudkannya.

“Kami akan berujung pada [mobil yang] benar-benar otonom, dan kurasa kami akan mempunyainya sekitar dua tahun lagi,” Elon Musk mengatakannya dengan enteng pada Fortune, akhir 2015 lalu.

“Kami sudah punya semua bagian-bagian [mobil] dan hanya perlu menyempurnakannya, meletakkan dalam posisinya masing-masing, lalu memastikan semuanya bisa bekerja di lingkungan yang berbeda-beda—maka selesai,” katanya.

Bersama profesi sopir yang akan disingkirkan oleh teknologi mobil nirsopir, Osborne dan Frey menyatakan hampir separuh dari 702 pekerjaan di Amerika Serikat, tepatnya 47 persennya, akan tergantikan oleh mesin dalam waktu 20 tahun.

Ini semua bisa terjadi karena komputer bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita secara efisien. “Algoritma menawarkan keputusan-keputusan yang bebas dari heuristika dan bias manusia,” tulis Osborne dan Frey.

Duo peneliti ini memberi contoh soal bias manusia dengan penelitian Danziger (2011). Menurut Danziger, hakim-hakim Israel lebih murah hati dalam memutus perkara pada persidangan-persidangan yang digelar setelah istirahat makan siang.

Algoritma dapat dirancang untuk mengeksekusi tugas tanpa ampun. Bandingkan dengan manusia yang harus memenuhi hal-hal di luar pekerjaannya, misalnya tidur, yang membuat kita tak bisa bekerja terus-menerus tanpa henti. Belum lagi jika seorang pekerja mengalami kendala emosional.

Selain terhindar dari bias, komputer juga tak membutuhkan banyak tempat. Sepuluh prosesor menghabiskan tempat jauh lebih sedikit dibanding sepuluh orang pegawai.

Akurasi kerja algoritma dan hal-hal yang pendukung efisiensi inilah yang membuat banyak pekerjaan, tak sebatas sopir, secara bertahap diambil alih komputer.

Lalu, apa pekerjaan yang berumur panjang?

Kuncinya, kata Osborne dan Frey, ada tiga: kreativitas, kecerdasan sosial, serta manipulasi. Tentu akan lebih baik lagi jika Anda bisa menunggangi gelombang revolusi informasi. Anda, misalnya, bisa menjadi pengembang aplikasi telepon pintar. Anda juga bisa bekerja jadi pengelola akun media sosial. Contohnya mengelola akun pesohor Facebook macam Jonru.

Jika punya anak yang cenderung geek, ia bisa diarahkan untuk mempelajari ilmu data. Di bidang inilah Einstein-Einstein masa depan akan bermunculan. Suka seni desain? Arahkan ke bidang rancang UI (user interface) dan UX (user experience) pada dunia rancang websitus.

Atau, nyemplung ke dunia kreatif sekalian. Pekerjaan koreografer amat kecil kemungkinannya diambil alih komputer. Juga pekerjaan fisikal. Pelatih zumba dan fitness misalnya. Jadi atlet akan lebih baik lagi.

Di lima negara ASEAN, secara keseluruhan, sektor yang risiko otomasinya rendah adalah pendidikan dan pelatihan, juga bidang kesehatan manusia dan kerja-kerja sosial. Maka, di Indonesia, pekerja yang sulit tergantikan adalah guru-guru TK, SD, dan SMP. Pekerja level tinggi, general manager, juga akan susah digeser.

Faktor lain yang sangat berpengaruh: tingkat pendidikan. Pekerjaan yang membutuhkan skill tinggi sulit digantikan komputer. Seorang sarjana, karenanya, secara umum akan lebih aman. Di sinilah situasi Indonesia agak mengkhawatirkan. Pekerja lulusan perguruan tinggi, menurut data BPS Agustus 2015, hanya mencakup 8,32 persen dari angka seluruh pekerja (9,6 juta dari 114,8 juta). Artinya, hanya sedikit pekerjaan yang sulit tergantikan oleh komputer.

Meski studi ILO mendukung kesimpulan Osborne dan Frey, studi terbaru dari Gregory Arntz dan U. Zierahn (2016) patut juga disimak. Menurut mereka, pekerja yang berisiko digantikan oleh teknologi dan otomasi tingkat tinggi hanya sekitar 9 persen. Itu angka untuk lapangan kerja di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang rata-rata lebih maju dan lebih dulu mengaplikasikan teknologi dibandingkan Indonesia.

Mengapa hanya 9 persen? Sebab, menurut Arntz dan Zierahn, banyak pekerjaan masih memerlukan pertemuan antar-manusia. Pekerja bidang pembukuan, akuntansi, dan audit, yang potensi otomasinya tinggi, bisa dijadikan contoh. Dari seluruh pekerja ketiga bidang itu, hanya 24 persen yang bekerja tanpa interaksi dengan manusia lain sama sekali. Ini tentu cukup melegakan.

Walau demikian, tak ada salahnya mencegah diri sendiri menjadi salah satu dari 107,6 juta yang akan tersingkir menurut ILO.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti