Menuju konten utama

Nasib PK Ahok di Tangan Artidjo Alkostar

Hakim Agung Artidjo kerap memvonis koruptor dengan hukuman berat. 

Nasib PK Ahok di Tangan Artidjo Alkostar
Hakim Agung Artijo Alkostar saat berbicara pada seminar nasional bertajuk “Konsep dan Implementasi Hukum Negara Pancasila dalam Mengatasi Permasalahan Hukum Nasional", Jawa Tengah, Sabtu (30/9/2017). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Hakim Agung Artidjo Alkostar ditunjuk Mahkamah Agung (MA) sebagai pemimpin majelis pemeriksa berkas perkara Peninjauan Kembali (PK) terpidana penista agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Berkas PK Ahok telah diterima Kepaniteraan Pidana MA pada Rabu (7/3/2018) dengan nomor registrasi 11 PK/Pid/2018. Selain Artidjo, hakim yang ditunjuk untuk memeriksa PK Ahok adalah Salman Luthan dan Sumardiyatmo.

"Berkas perkara dikirim ke Majelis Pemeriksa Perkara tanggal 13 Maret 2018. Selanjutnya kita tunggu perkembangan pemeriksaan majelis," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah kepada Tirto, Kamis (15/3/2018).

Artidjo Alkostar memiliki reputasi baik sebagai hakim. Ia dikenal jujur, bersih, dan kerap memberi hukuman berat bagi para koruptor. Komitmen dan sikap Artidjo terhadap pemberantasan korupsi sudah tak terbantahkan dari putusan-putusannya yang membuat koruptor keder.

Pria yang ikut membidani lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini dijuluki si “Hakim Gila” karena putusan-putusannya yang memberatkan koruptor.

Misalnya, Angelina Sondakh dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun, Lutfi Hasan Ishaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara, Anas Urbaningrum dari 8 tahun menjadi 14 tahun penjara, dan masih banyak putusan lainnya yang dianggap berani dan kontroversial.

Artidjo berani dan tanpa kompromi memberikan hukuman berat bagai para koruptor, meskipun ada sebagian pihak yang mempersoalkan putusan Artidjo tersebut.

Selama menggeluti dunia advokasi, penyandang gelar LL.M di bidang Hukum Internasional tentang HAM dari North Western University, Chicago ini telah terbiasa dengan ancaman.

Ketika menjadi pembela kasus Santa Cruz di Dili pada 1992, ia pernah diintai oleh intelijen hingga diancam supir taksi. Tak hanya itu, sewaktu membela korban penembakan misterius muncul kabar bahwa ada tim yang sudah mengincar Artidjo. Ia akan ditembak ketika kembali ke Yogyakarta.

Ancaman juga datang ketika ia berbeda pendapat saat memutuskan perkara. Salah satunya, kala menjadi Hakim Agung yang menangani perkara korupsi yayasan dengan terdakwa Presiden Kedua Indonesia Soeharto. Saat dua hakim lainnya menginginkan perkara tersebut dihentikan, Artidjo justru sebaliknya.

Artidjo juga tercatat sebagai satu-satunya hakim yang memberikan opini berbeda saat memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra. Ketika kedua koleganya setuju membebaskan terdakwa, Artidjo menolak kesepakatan itu. Ia bersikeras agar opini penolakannya masuk dalam putusan.

Melihat sepak terjangnya, pria berdarah Madura ini dikenal sebagai sosok kontroversial di MA. Namun, para aktivis antikorupsi seolah lega dengan hadirnya Artidjo yang berjuang mengangkat nama baik institusi MA sebagai lembaga yang “agung”.

Kini nasib dikabulkan tidaknya PK Ahok ada di tangan Artidjo, sebagaimana dikatakan Ketua Majelis Hakim Sidang PK Ahok, Mulyadi. "PK dikabulkan atau tidak hanya di tangan MA. Majelis tidak berkewenangan memutus dan hanya memeriksa bukti formil," kata Mulyadi, Senin (26/2/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Ahok, melalui kuasa hukumnya yaitu Josefina A. Syukur dan Fifi Lity Indra pada Jumat, 2 Februari 2018 mengajukan PK terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ia divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas pernyataannya soal Surat Al-Maidah Ayat 51. Basuki pun tidak mengajukan banding dan mulai menjalani hukuman penjara di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat sejak Mei 2017.

Baca juga artikel terkait SIDANG PK AHOK atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra