tirto.id - Hidung Bety kebal dengan bau lembab yang menguar di ruang kerjanya. Kondisi seperti itu sudah terjadi sejak Rabu (1/1/2019) sore. Bau demek itu bersumber dari tumpukan pakaian basah yang mengantre untuk dicuci.
Bety tidak membuka jasa cuci pakaian basah secara khusus. Ia sedang kewalahan melayani para pelanggan yang terdampak banjir.
"Ini [pakaian-pakaian] datang dari mana saja. Kebanyakan warga sini," ujar wanita berusia 43 tahun itu, Selasa (7/1/2020).
Ia sudah bekerja dua tahun sebagai penatu Zona Laundry yang terletak di Jalan Squadron, Kampung Makasar, Jakarta Timur.
Sekitar 3 kilometer dari tempat Bety bekerja merupakan titik banjir terparah, dengan ketinggian mencapai 1,5 meter per 1 Januari 2020.
Letak tempat kerja Bety terbilang tinggi, sehingga tak terimbas banjir.
"Pakaian banyak sudah sejak hari pertama banjir," ujarnya.
Hari ini, ada pelanggan yang memasukkan 45 kilogram pakaian basah, jumlah yang relatif stabil dengan enam hari lalu. Sudah sejak pukul 11.00 WIB, ia diperintahkan bosnya untuk menghentikan pakaian yang datang. Seorang pemuda bahkan harus menahan kecewa lantaran buntelan pakaiannya ditolak Bety.
"Sudah enggak sanggup lagi saya. Maaf, maaf deh, kalau ditolak," celetuknya.
Bety hanya ditemani oleh Siska yang juga penatu. Mereka hanya kebagian tugas menerima pesanan, menimbang, dan mencuci. Sementara untuk menyetrika dialihkan kepada dua orang pegawai Zona Laundry lainnya yang bekerja di lain tempat.
Mengerjakan pakaian kotor milik korban terdampak banjir terasa cukup berat bagi Bety. Sebab ia tidak bisa langsung mencuci begitu saja. Bety harus menyikat pakaian-pakaian itu terlebih dahulu, memisahkan lumpur atau tanah merah yang masih tersisa.
Hal itu yang membikin pengerjaan bertambah makan waktu. Ia tidak bisa memastikan akan segera selesai dalam waktu dua hari.
"Tarif di sini Rp6 ribu per kilogram. Biasanya 2 hari selesai. Tapi kalau sekarang, nggak janji deh, tergantung pakaiannya," ujarnya.
Sudah memasuki tujuh hari, Bety tidak merasakan santai bekerja selayaknya hari biasa. Ia mengawali pekerjaan sedari pukul 09.00 WIB hingga 21.00 WIB. Bosnya tidak memberikan kompensasi lebih atas membludaknya pakaian yang harus dicuci. Ia hanya diberikan tambahan makan siang saja.
Padahal kalau hari-hari biasa, ia hanya mengerjakan tak lebih dari 20 kilogram pakaian kotor saja. Sedari pukul 18.00 WIB, ia sudah bisa leyeh-leyeh.
Ia mendaku cukup kewalahan sekaligus merasa terhormat. Sebab pakaian yang ia tangani ini milik para korban terdampak banjir. "Itung-itung beramal," katanya.
"Bos juga enggak mau aji mumpung, naikin tarif. Masa orang kesusahan kita ambil kesempatan sih," tambahnya.
Pakaian Basah Bikin Lembur
Lain Bety, lain pula cerita Tursinah terkait dampak banjir bagi para penatu ini. Selama dua bulan, ia bekerja sebagai penatu di Mentari Laundry, minggu ini merupakan fase pekerjaan yang terbilang berat baginya.
Nenek berusia 60 tahun itu lembur melulu sejak Kamis (2/1/2020). Lantaran pakaian yang mesti dicuci membeludak.
"Saya kerja mulai jam 9 pagi. Biasanya jam 5 sore juga sudah pulang. Tapi sekarang si ibu [pemilik penatu] minta saya lembur sampai jam 9 malam," ujarnya, Selasa.
Perintah lembur diberlakukan karena tempatnya bekerja menerima pakaian-pakaian dari para korban terdampak banjir. Tidak hanya korban yang berasal dari sekitar tempatnya bekerja saja (Kampung Makassar, Jakarta Timur). Bahkan, menurutnya, ada yang terjauh dari Kota Bekasi.
Ia juga heran bisa mendapatkan pelanggan jauh begitu.
"Pakaiannya banyak, saya timbang 49 kilogram. Pada tutup kali ya [penatu] di sana?" ujarnya.
Sejak Kamis (2/1/2020), ia sudah melayani rata-rata 40 sampai 50 kilogram pakaian kotor per hari. Jumlah tersebut untuk satu pegawai saja. Mentari Laundry memiliki tiga penatu sehingga kalau ditotal dalam sehari bisa mengerjakan 150 kilogram pakaian kotor per hari.
Padahal pada hari-hari biasa, ia hanya mengerjakan tak lebih dari 25 kilogram pakaian kotor per hari.
"Tangan saya sampai kapalan," celetuk Tursinah terkekeh.
Ia juga mendaku kewalahan mengerjakan pakaian kotor milik korban terdampak banjir sebab kondisi pakaian yang berlumpur.
Maka ia harus menyikat terlebih dahulu satu per satu pakaian, memastikan bebas lumpur saat hendak digiling dengan mesin agar mesin cuci juga tidak rusak.
Tursinah tinggal di kawasan Kramat Jati dan tidak terdampak banjir. Saat mendapat pekerjaan mencuci pakaian korban banjir ini, ia tak mengeluh meski lelah dan tak mendapat kompensasi tambahan dari pemilik penatu.
"Abisnya kasihan kalau enggak diterima. Saya mah ngebayangin kalau saya yang ada di posisi begitu," ujarnya.
Tarif pelayanan pun tidak sengaja dinaikkan. Semuanya normal seperti tarif hari biasa yakni Rp6 ribu per kilogram untuk pengerjaan dua hari.
Upah untuk setrika Rp5 ribu per kilogram untuk pengerjaan dua hari. Ada tarif kilat Rp8 ribu per kilogram untuk pengerjaan satu hari. Namun, layanan kilat ini tak diterapkan, lantaran mereka tidak sanggup mengerjakan.
"Reguler saja saya sampai lembur. Bagaimana yang kilat. Enggak sanggup deh," tukasnya.
Salah seorang pelanggan yang kebetulan hendak menitipkan pakaian kotor imbas dari banjir, Asti, mengaku beruntung masih ada penatu yang mau menerima pakaiannya.
Ibu rumah tangga berusia 34 tahun itu tinggal di Kampung Makassar dan nyaris sudah menjelajah sampai Condet, Jakarta Timur untuk sekedar mencuci pakaian miliknya, suami, dan dua anaknya.
"Kalau saya masih bisa bertahan dengan pakaian seadanya. Tapi anak-anak kan kasih. Saya terbantu banget sama laundry yang masih terima," ujarnya di Mentari Laundry, Selasa.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri