Menuju konten utama

Nasib Kadis SDA yang Dibela Ahok dan Nyaris Terjungkal di Era Anies

Kepala Dinas SDA ini merasa, apa yang dilakukannya hanya mempertahankan tanah negara. Teguh hanya menjalankan tugas seperti yang diperintahkan Ahok.

Nasib Kadis SDA yang Dibela Ahok dan Nyaris Terjungkal di Era Anies
Teguh Hendrawan, Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta. Reza/beritajakarta.com

tirto.id - Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Teguh Hendrawan, ketiban pulung. Senin, 20 Agustus 2018, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Dia diduga melakukan tindak pidana merusak dan memasuki pekarangan tanpa Izin.

Kasus yang melilitnya itu terkait lahan seluas sekitar 25 hektar di Rawarorotan, Cilincing, Jakarta Timur. Rencananya lahan itu dijadikan Kawasan Situ Rawarorotan untuk meminimalisir dampak banjir Jakarta.

Teguh mengaku, dia hanya menjalankan mandat dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dia kekeuh mengamankan aset milik Pemprov DKI yang telah diperkuat Mahkamah Agung (MA), melalui putusan bernomor 1158K/PDT/2017 pada 19 Juli 2017.

“Kewajiban saya, mengamankan sekaligus ini perintah gubernur terdahulu untuk segera melakukan pengamanan aset,” kata Teguh di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (29/8/2018).

Majelis Hakim MA memang memperkuat putusan PN Jakarta Timur, dengan nomor putusan Nomor 552/Pdt.G/2010/PN Jkt.Tim pada Rabu 19 Juli 2017. Mereka menyatakan tanah objek sengketa seluas sekitar 25 hektar menjadi milik pemerintah daerah DKI Jakarta. Tanah itu masuk dalam daftar aset Pemprov DKI Jakarta dengan Nomor lnventaris 11.0.5.11.00.00.00.000.1996.

“Tanah kami [Pemprov DKI Jakarta], bukan tanah warga, kok saya dibilang melakukan perusakan masuk ke wilayah orang. Logikanya di mana?" tuturnya.

Teguh diangkat sebagai Kepala Dinas Sumber Daya Air pada masa kepemimpinan Ahok pada awal Desember 2015. Posisi itu dijabatnya setelah kepala dinas sebelumnya, Tri DJ Sri Margianto mengundurkan diri.

Salah satu alasan pengangkatan Teguh adalah latar belakangnya sebagai seorang Camat Pulogadung dan Wakadishubtrans DKI Jakarta. Alasan Ahok kala itu, orang yang tidak pernah bekerja di lingkungan Dinas maupun Sudin PU Tata Air lah yang berani membenahi instansi tersebut.

Namun, posisi Teguh sebagai Kepala Dinas SDA tidak selalu kokoh. Ketika Ahok mengambil cuti untuk Kampanye Pilkada DKI, Teguh terancam dicopot Plt Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono. Sebab latar belakang pendidikan Teguh bukan berasal dari jurusan teknik, melainkan sosial.

Meski begitu Ahok bersikukuh Teguh tetap menjabat sebagai kepala dinas. Mantan Bupati Belitung Timur itu sampai meminta bantuan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi agar Teguh tidak digeser karena kinerjanya dianggap baik.

"Sekarang sudah banyak pembangunan sheetpiles segala macam, kan kinerjnya bagus buat menangani banjir," ujar Ahok seperti dilansir Metrotvnews.com.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak banyak berkomentar terkait status Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Teguh Hendrawan sebagai tersangka. Menurut Anies, salah satu konsekuensi pemegang jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu terjerat masalah hukum.

"Saya ingin tegaskan pada ASN semua untuk konsentrasi menjalankan tugasnya dengan baik. Dan tuntutan, tantangan seperti ini adalah bagian dari sebuah amanat ketika menjalankan tugas ada tantangan seperti ini," ujar Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (30/8/2018).

Anies juga menyampaikan agar Teguh tak khawatir dengan penetapan tersangka yang menimpanya. Anies menjamin, di Pemprov DKI, status kepegawaian Teguh masih "aman". Terkait hal itu, Anies mengaku telah berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Daerah.

"Status beliau sendiri saat ini masih jadi kadis dan saya akan ikuti semuanya. Kalau ketentuannya bisa aktif maka aktif, kalau tidak ya tidak," kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Hal serupa juga disampaikan Ketua Komisi D DPRD DKI Iman Satria. Politikus Gerindra itu menyebut bahwa kasus ini merupakan konsekuensi yang harus dihadapi tiap pejabat Pemprov. Hingga saat ini, DPRD DKI juga belum bisa memberikan banyak komentar.

"Kita lihat saja prosesnya di kepolisian. Kalau secara hukum, kan jelas tidak ada intervensi," ucapnya saat dihubungi Tirto, Kamis (30/8/2018).

Menurut Iman, Teguh tak perlu mengkhawatirkan penetapan tersangka tersebut, jika memang dirinya menaati prosedur hukum dalam pembangunan waduk di Rawarorotan. Apalagi bukti putusan MA sudah ada di tangan Pemprov DKI dan bisa menguatkan dirinya atas perkara yang dituduhkan. "Sudah, lah. Proses hukum biar berjalan dulu," tegasnya.

Kronologi Sengketa Tanah Waduk Alam Rawarorotan

Sengketa lahan di waduk Alam Rawarorotan yang jadi pangkal kasus Teguh, melalui proses hukum yang panjang. Hal itu bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 45 Tentang Perubahan Batas Wilayah DKI Jakarta.

Dalam PP tersebut, kewenangan atas tanah Rawarorotan dimiliki Pemprov DKI Jakarta, dan bukan masuk ke wilayah Bekasi, Jawa Barat. Namun dalam Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat No. SK 1577/Dit.Pht/HM/1975, terdapat keputusan yang berseberangan. Disebutkan dalam SK Gubernur Jabar itu, pemerintah memberikan hak milik kepada Mana bin Main dengan 241 orang lainnya atas bidang tanah yang dikuasai oleh negara.

Akan tetapi, ada sarat dalam SK Gubernur Jabar itu. Mana sebagai penerima hak milik tanah tersebut, diwajibkan membayar atau menyetor kepada Bendahara Sub Direktorat Agraria Kabupaten Bekasi.

Setahun kemudian, SK Gubernur Provinsi Jawa Barat itu batal demi hukum karena Mana belum membayar uang pemasukan negara tersebut. Status tanah itu kembali menjadi milik negara.

Kemudian pada 6 Juni 1977, Pemprov DKI Jakarta menyatakan semua bukti tanda garapan tanah negara di Jakarta tidak berlaku dan menjadi milik negara, melalui SK DKI Jakarta Nomor 353/1977. Hal itu dipertegas oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.89/DJA/1983, pada 23 Mei 1983 yang menyatakan bahwa Mana belum memenuhi syarat-syarat pemberian hak milik.

Menurut Teguh, lahan di Rawarorotan jadi aset Pemprov DKI setelah diserahterimakan oleh PT Mitra Sindo Makmur, pengembang Jakarta Garden City. Perusahaan itu mulanya menggarap lahan Rawarorotan berdasarkan Kepgub DKI Nomor 1622/2009. Isi Kepgub itu berupa Izin Penunjukan Penggunaan Tanah seluas kurang lebih 1.661.069 meter persegi.

Pada 9 Januari 2012, Surat Pernyataan Nomor 71/-076.2 diterbitkan Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi (BPKD) DKI. Dalam surat itu disebutkan, rawa yang terletak di Jalan Kayu Tinggi atau Tambu Rengas seluas 25 hektar itu merupakan aset Pemda DKI Jakarta.

Infografik Ci Kasus Rorotan

Di tingkat kasasi, pada 19 Juli 2017, dalam keputusan bernomor 1158K/Pdt/2017, MA memenangkan Pemprov DKI Jakarta. Dinyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilih sah tanah yang akan digunakan sebagai Waduk Alami Rawarorotan itu. Permohonan kasasi ditolak dan MA hanya menguatkan keputusan banding PN Jakarta Timur.

Maka tak heran, rencana Pemprov DKI Jakarta membangun waduk sudah dimulai ketika keputusan itu belum inkracht di MA. Pada 24 Maret 2016, Dinas SDA menerbitkan surat bernomor 4281/-1.793.43 kepada Wali Kota Jakarta Timur. Isinya pemberitahuan pelaksanaan pembangunan Waduk atau Situ Rorotan.

Sebulan setelah inkracht, barulah Wali Kota Jakarta Timur mengeluarkan surat bernomor 11245/-076.2, pada 29 Agustus 2017. Surat itu berisi laporan penyegelan tanah aset milik Pemprov DKI Jakarta untuk pembangunan Waduk atau Situ Rorotan. Pembangunan waduk kemudian dilanjutkan atas kesanggupan PT Mitra Sindo Makmur selaku pengembang. Perintah eksekusi pembangunan itu dikuatkan akta notaris yang ditandatangani pada Bulan Januari dan Mei 2018.

Di saat yang hampir bersamaan itu lah, pelaporan atas Teguh oleh Felix Tirtawidjaja diproses di kepolisian. Ia dituduh melakukan perusakan dan atau memindahkan dan atau membuang barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP dan atau Pasal 406 KUHP dan atau Pasal 167 KUHP dan atau pasal 389 KUHP.

Baca juga artikel terkait DINAS SUMBER DAYA AIR DKI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana